Janji
Rabu (13/4/2016) petang, di seberang Istana Negara Republik Indonesia, sembilan petani perempuan yang melakukan aksi protes pembangunan pabrik semen di Jawa Tengah melepaskan belenggu cor semen yang memasung kaki mereka sejak sehari sebelumnya.
Mereka menyudahi aksi mengecor kaki dengan semen di seberang Istana Negara tersebut setelah dijanjikan akan dipertemukan dengan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Janji itu disampaikan oleh Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki ketika menemui Surani, Deni, Sukinah, Ngadinah, Karsupi, Ambarwati, Giyem, Murtini, dan Sutini; sembilan petani perempuan yang dijuluki “Kartini Kendeng” di seberang tempat kerjanya.
Seperti dilansir Kompas.com, Rabu (13/4/2016) pukul 19.58 WIB, Teten mengatakan bahwa Presiden sudah mengetahui aksi protes dan tuntutan yang diajukan oleh petani-petani di Pegunungan Kendeng. Teten juga menjanjikan akan mengatur pertemuan Kartini Kendeng dengan Presiden RI. Namun, karena minggu ini Presiden masih di Eropa, maka ia mengatur pertemuan itu.
Sangat penting bagi kita mengawal janji yang disampaikan oleh Kepala Staf Kepresidenan ini. Jangan sampai janji itu sekadar isapan jempol semata. Sebab, jika janji itu sampai tak terlaksana tentu akan sangat melukai Kartini Kendeng. Seharusnya seluruh rakyat Indonesia.
Kenapa janji itu perlu dikawal, sebab besok lusa bisa jadi wilayah pertanian di daerah Anda yang akan “diserobot” Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan dalih demi kepentingan rakyat.
Namun begitu, janji itu setidaknya menjadi angin segar di tengah ancaman polusi dan hancurnya lahan pertanian jika pabrik semen benar-benar jadi dibangun di wilayah pegunungan Kendeng. Janji itu juga memberikan harapan akan aspirasi Kartini Kendeng yang mengkhawatirkan masa depan generasi masa depan di pegunungan Kendeng yang selama ini mengandalkan sektor pertanian.
Janji itu pula menjadi semacam penawar pahitnya komentar Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang tak sedikit pun menunjukkan simpati atas aksi Kartini Kendeng. Alih-alih bersimpati terhadap aksi warga asal daerah yang dipimpinnya, ia malah berkomentar nyinyir mengenai siapa pembuat belenggu untuk aksi tersebut.
“Saya sayangkan, kenapa (kakinya) disemen, itu kan menyakiti. Saya bicara dengan teman-teman, siapa yang punya ide itu, siapa yang desain ya,” kata Ganjar ketika dimintai tanggapan seusai Musrenbang di Kabupaten Wonogiri, Kamis (14/4/2016), Kompas.com (14/4/2016) pukul 14.53 WIB.
Belum lagi tanggapan Ganjar berikutnya atas aksi itu, ia bersikukuh pada putusan Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN) Kabupaten Rembang yang menganggap gugatan mereka kadaluwarsa. Barangkali, jika dilihat dari sisi hukum seperti begitulah putusannya. Namun, saya kira tanggapan itu seakan-akan tanpa hati nurani.
Terlihat jelas keberpihakan Gubernur Jawa Tengah yang diusung partai PDI Perjuangan itu hanya mengutamakan kepentingan negara, notabene PT Semen Indonesia merupakan BUMN. Sementara rakyat yang hidup di wilayah yang akan dibangun pabrik semen menolak keras pembangunan pabrik tersebut. Pertanyaannya, akan adakah negara tanpa rakyat?
Bukankah negara adalah perwujudan dari rakyat. Kita seringkali lupa bahwa negara yang seharusnya melindungi hak dan kepentingan rakyat. Juga sumir membedakan mana kepentingan negara dan kepentingan penguasa. Biasanya kepentingan negara dekat dengan kepentingan penguasa. Bahkan, seringkali rakyat yang harus dikorbankan demi kepentingan negara. Dan, kita terkadang memakluminya. Seperti kisah penculikan para aktivis di masa lalu yang bertujuan untuk mengamankan eksistensi penguasa.
Sampai catatan ini selesai ditulis, janji pertemuan Kartini Kendeng dan Presiden masih belum ada kabar pasti kapan pertemuan itu akan dilaksanakan, setidaknya belum ada kabar resmi yang dirilis berbagai media massa. Kita mesti memastikan janji itu terlaksana. Sebagai dukungan terkecil atas jerih payah para petani Kendeng dalam memperjuangkan hak-haknya.[]