Jakarta oh Jakarta
Saya pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta sekitar tahun 1995. Saya ingat saat itu menjelang masuk TK, sambil mengisi waktu senggang, almarhum bapak mengajak saya mengunjungi salah satu keluarga di bilangan Jalan Pramuka, Matraman.
Pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, saya mendapat kesan bahwa Jakarta sungguh sangat menyenangkan—jauh dari kesan menyeramkan yang selama ini terpatri dalam sebuah ungkapan: ibu kota lebih kejam dari ibu tiri.
Kunjungan saya ke Jakarta berlangsung terus di tahun-tahun berikutnya, bahkan hingga saya berstatus mahasiswa. Dalam tiap kunjungan yang entah sudah berapa kali itu, meski mulai berkurang kadarnya, kesan saya terhadap Jakarta masih sama dengan kesan pertama tahun 1995 dulu: menyenangkan dan tiada hambatan—kecuali soal kemacetan jalanan.
Saya kira cukup wajar saya berkata demikian. Urusan saya ke Jakarta, berkali-kali setelah tahun 1995, tak lebih dari mengunjungi paman di belakang Pasar Raya Manggarai, naik kapal besar dari Tanjung Priuk, menjenguk kakak dan keponakan di Kemanggisan, menonton shooting Kick Andy di studio Metro TV, mencari buku bekas di Kwitang, mengikuti diskusi sastra di TIM dan Salihara, pacaran di kawasan Kota Tua, membawa rombongan wisata ke Ancol dan Kidzania, hingga menghadiri pesta pernikahan seorang kawan di Setu Babakan, Jakarta Selatan. Bagi saya, hal-hal semacam itu sungguh sangat menyenangkan.
Kehidupan terus bergerak. Demikian pula nasib. Lengannya yang gaib akhirnya menuntun saya ke Jakarta untuk keperluan yang sangat lazim bagi umumnya warga negara Indonesia: mencari pekerjaan. Di titik inilah saya benar-benar merasakan makna Jakarta sebagai Ibu Kota. Di titik ini pula saya merasa lebih utuh hidup menyandang gelar sarjana. Pun, di saat bersamaan saya juga merasa bahwa Jakarta pelan-pelan mulai menampakkan wajahnya yang asli: garang sekaligus bikin geli.
Kesan demikian saya dapati manakala sehabis mengikuti tes kerja di Cilincing, Jakarta Utara, saya naik Metromini jurusan Pasar Senen. Metromini yang saya naiki penuh sudah oleh penumpang. Tapi anehnya, Metromini itu malah maju-mundur terus di terminal. Duduk di bangku kedua dari belakang, sambil menunggu saya melamun, mengingat sebaris lagu dari Bang Iwan: dari sebelah warung/sebuah WC umum/irama Melayu terdengar/akrab mengalun…
Hanya, bukan irama lagu Melayu yang kemudian terdengar seketika. Melainkan umpatan seorang penumpang dari deretan bangku paling belakang.
“Heh! Cepetan maju! Mobil udah penuh gini malah keduluan sama yang kosong! Sopir niat kagak sih kerja?! Kalo kagak niat udah lu pulang aja sonoh! Diem deh di rumah!”
“Gila,” saya membatin, “Ini baru Jakarta!”
Seperti penumpang lain, rasanya saya kaget betul mendengar umpatan tadi, meski di sisi lain justru merasa terwakili. Dan ironisnya, hingga sekitar lima belas menit kemudian—penumpang di belakang masih terus melempar umpatan—Metromini yang saya tumpangi masih belum beranjak sama sekali. “Keras,” lagi-lagi saya membatin, “Penumpang dan sopir sama-sama keras kepala!”
Adegan berikutnya sungguh di luar dugaan. Masuk dari pintu belakang, seorang remaja—garis-garis wajahnya menunjukkan hasil tempaan kehidupan Ibu Kota—menagih ongkos ke tiap penumpang. Lelaki pengumpat tadi ditagih paling dulu. “Ongkosnya, Bang”. Sang pengumpat lantas menyodorkan selembar uang dua ribu.
“Kurang, dua ribu lagi”.
“Kagak ada, cuma ada segitu”.
“Ah sial lu! Tadi aja marah-marah minta cepet. Sekalinya diminta bayar malah kurang! Turun lu!”.
Sang pengumpat, umur kisaran empat puluhan, seketika memelas pada remaja usia belasan itu.
“Kagak ada, Bang. Asli. Duit gua cuma segitu…”
“Alah, alesan lu! Cepet turun sana. Pindah angkutan lain aja!”
“Maaf, Bang. Gua gak punya duit lagi”.
“Gua tabok juga lu! Kalau gak punya duit kagak usah bentak-bentak sopir segala. Nyuruh orang jalan cepet-cepet. Tinggal aja lu di rumah!”
Drama tragedi tadi diakhiri oleh seorang penumpang yang duduk tepat di pinggir si pengumpat. “Udah, Bang. Nih kurangnya”.
Menyaksikan adegan tersebut, pikiran saya mulai asyik berspekulasi. Pertama, si pengumpat sebetulnya sudah berkoordinasi dengan sopir dan kondektur Metromini: melakukan sedikit adegan teatrikal agar penumpang lain tidak merasa bosan. Kedua, si pengumpat benar-benar tidak punya uang, demi tetap bisa survive, dengan sengaja ia bentak sopir Metromini agar kemudian mendapat dukungan atau simpati. Jika benar demikian, hal itu terbukti berhasil. Ketiga, si pengumpat sebetulnya tengah menunjukkan kepada penumpang lain bagaimana umumnya para “jagoan” di negeri ini berperilaku: ia yang paling keras bicara mengkritik dan memperjuangkan sesuatu, adalah ia yang mesti diperjuangkan kebutuhannya terlebih dahulu.
Saya tidak tahu adakah seluruh spekulasi saya tepat atau tidak. Bisa saja hal yang sesungguhnya terjadi amat sangat sederhana, tafsir pikiran saya saja yang membuatnya begitu ribet dan penuh drama. Tapi, apa pun yang terjadi, demikianlah salah satu kehidupan nyata Ibu Kota.
Pergi ke Jakarta lazimnya hajat hidup orang Indonesia, mencari kerja, membuat Jakarta semakin jauh dari kesan saya di tahun 1995 lalu. Tak ada lagi hal-hal menyenangkan, mendapat pekerjaan pun susah. Hanya sedikit orang yang ramah, yakni teman saya dan teman-temannya. Selain mereka, sebagaimana Bang Iwan lagukan—beri senyum pun enggan.
Benar, bahwa hidup di Jakarta keras dan penuh persaingan. Menariknya, hal itu tidak menyurutkan niat orang-orang dari daerah berkunjung ke sana. Tunggulah aku di Jakartamu/tempat labuhan semua mimpimu…
Saat saya bertanya pada seorang teman yang lain perihal kehidupannya di Jakarta, jawabannya sederhana. “Betah sih enggak, tapi ya mau gimana, butuh…”
Dan ya, sekeras dan sekompetitif dan semenjengkelkan dan seabsurd apa pun Jakarta, bahkan dalam ungkapan Fikar W. Eda—lebih kejam dari Belanda—kita memang membutuhkannya.[]