Isola: M’Isolo E Vivo
Ada yang sempat terbaca di dinding gedung
seribu peristiwa yang diam-diam tenggelam
di kedalaman kolam di taman
seribu sejarah yang melepuh di dalam tanah
(Partere Sebuah Catatan, Nenden Lilis A.)
Barangkali Dominique Willem Berretty merasa cukup inferior kala itu, bagaimana tidak, ia mendirikan sebuah istana yang dinamainya Isola. Isola berasal dari kata isolo yang kurang lebih berarti terpencil. Bukan hanya sebatas nama, saat dibangunnya, istana itu dikelilingi oleh persawahan. Di dalam istana juga pernah terdapat plakat bertuliskan M’Isolo E Vivo yang kurang lebih berarti aku mengasingkan diriku dan hidup dalam kesendirian.
Istana megah beserta taman itu terletak di Bandung utara, Jawa Barat. Berretty sendiri adalah seorang hartawan dan pendiri ANETA (Algemeen Nieuws- en Telegraaf-Agentschap), sebuah lembaga persuratkabaran yang berada di Hindia Belanda. Istana Isola digunakan oleh Berretty untuk tinggal menyepi bersama keluarganya.
Istana Isola selesai dibangun pada tahun 1933 oleh arsitek berkebangsaan Belanda, Wolff Schoemaker. Desain Isola bergaya Art-Deco, sebuah aliran seni visual yang berasal dari Perancis setelah perang dunia pertama meletus. Pengaruh Art-Deco dapat dilihat pada Istana Isola yang memiliki bentuk geometri tegas dan ornamen-ornamen mewah. Sebelah utara Istana Isola menghadap gunung Tangkuban Perahu sedang sebelah selatan menghadap kota Bandung.
Nahas, Berrety hanya dapat tinggal beberapa bulan di istana pengasingannya sebelum kecelakaan pesawat terjadi pada tahun 1934. Istana Isola beralih fungsi menjadi hotel yang dikelola oleh badan perhotelan Savoy Homan setelah kematian Berrety. Saat okupasi Jepang di Indonesia, Istana Isola sempat menjadi markas besar pasukan Jepang sebelum akhirnya diambil alih oleh pemerintahan Indonesia selepas kemerdekaan Indonesia dan berganti nama menjadi gedung Bumi Siliwangi.
Istana Isola dialih fungsikan oleh menteri Pendidikan Mohammad Yamin pada tahun 1954 sebagai kantor kepala sebuah institusi pendidikan di kota Bandung. Institusi tersebut kini dinamakan Universitas Pendidikan Indonesia, sedang Istana Isola yang dahulu digunakan oleh Berretty beserta keluarganya untuk mengasingkan diri hingga sekarang, digunakan secara aktif sebagai kantor rektor Universitas Pendidikan Indonesia.
Wisatawan asing dan domestik hingga kini masih berdatangan untuk melihat kemegahan istana tersebut. Selain itu, Istana Isola juga merupakan bangunan bersejarah yang telah merekam banyak kejadian, hal ini menjadi daya tarik bagi wisatawan pecinta sejarah. Namun akses wisatawan untuk menjelajahi Istana Isola terbatas karena keaktifan gedung tersebut sebagai kantor rektor. Di luar pembatasan tersebut, wisatawan masih bisa mengakses taman yang berada di sekitar gedung Bumi Siliwangi.
Terdapat dua taman di antara gedung rektor, taman Partere terletak di sebelah utara dan taman Bareti terletak di sebelah selatan. Taman Partere merupakan pelataran asli dari Istana Isola yang mengalami beberapa kali revitalisasi, sedangkan taman bareti merupakan hasil dari program Isola Heritage yang selesai pada tahun 2011. Kedua taman ini dapat diakses secara penuh oleh masyarakat luas.
Di taman itu sering terlihat beberapa orang khususnya mahasiswa melakukan kegiatan atau sekadar berkumpul. Sedang beberapa yang lain sibuk mengasingkan diri, menikmati kesendirian sesuai dengan keinginan Berretty di tempat itu.
ah, tidak, sayang, tak ada lagi ratu isola
dan serdadu-serdadu, meski perang masih berjalan
(Partere Sebuah Catatan, Nenden Lilis A.)
Tentang Penulis
Adhimas Prasetyo. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Aktif sebagai Ketua Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI.