Islam Kaffah, Islam Substansi
Beberapa waktu lampau, ramai diberitakan bahwa abad ke-21 merupakan abad kebangkitan Islam. Agama ini, yang meliputi juga budaya dan peradaban, akan menyongsong masa-masa kejayaan—seperti yang pernah diraihnya dulu—setelah sekian lama terpuruk akibat—salah satunya—kolonialisasi di sebagian besar wilayah yang berpenduduk mayoritas muslim. Dan yang lebih membanggakan bagi kita—juga menurut berita tersebut—bahwa kebangkitan Islam itu akan dimulai dari Indonesia.
Memang, jika kita mengamati fenomena yang kasat mata di negeri kita, tampak seakan-akan kesadaran umat Islam untuk menjalankan ajaran agama mereka semakin marak. Ada semacam gerakan untuk kembali ke dalam Islam yang kaffah. Sebagai contoh, dulu perempuan muslimah yang memakai jilbab bisa dihitung jari. Dalam sebuah kumpulan kaum Hawa, mereka yang berjilbab mungkin hanya dua-tiga orang saja. Kini keadaan terbalik. Perempuan muslimah yang berjilbab tampak di mana-mana. Di instansi-instansi pemerintahan, memakai jilbab bagi pegawai perempuan seakan sudah biasa. Butik-butik yang menawarkan pakaian muslimah pun bertebaran di mana-mana.
Aktivitas-aktivitas keagamaan pun marak, terutama di lingkungan-lingkungan yang mayoritas penduduknya menganut Islam. Kegiatan-kegiatan pengajian kerap diadakan, dari mulai pengajian untuk anak-anak, remaja hingga orangtua. Terlebih lagi pada bulan Ramadhan, kegiatan tadarus diadakan baik oleh kelompok bapak-bapak maupun ibu-ibu, dan lengkap dengan pengeras suara. Sepertinya mereka merasa kurang afdhol kalau tadarusan ataupun pengajian tidak dilengkapi dengan pengeras suara, sehingga satu majis/majelis dengan masjid/majelis lain seolah-olah berlomba mengadu kualitas pengeras suara yang mereka miliki.
Mereka juga sepertinya berusaha menampakkan kesalehan dengan menggunakan atribut-atribut tertentu. Di masjid-masjid pun, sebagian laki-laki muslim tampak tidak sungkan-sungkan memakai jubah, dan bahkan lengkap dengan serbannya. Ada juga yang memanjangkan janggut, yang mereka yakini sebagai bagian dari sunnah, meski kadang ada yang tumbuhnya beberapa helai saja.
Memang sudah semestinya kita sebagai muslim berpenampilan sesuai dengan ajaran Islam. Agama kita adalah agama yang komprehensif, yang tidak hanya mengatur satu atau beberapa sektor kehidupan saja, tetapi semua sektor kehidupan kita ada aturannya dalam agama ini. Islam tidak hanya mengajarkan bagaimana kita beribadah, tetapi juga mengajarkan bagaimana kita mesti berpenampilan dan berpakaian.
Namun perlu diketahui, bahwa Islam tidak mengharuskan umatnya memakai jenis pakaian tertentu. Sebagai agama universal, Islam hanya memberikan kriteria bagaimana berpakaian yang benar, yaitu menutup seluruh aurat. Bagi laki-laki dan perempuan berbeda kriterianya, karena batasan aurat bagi keduanya tidak sama. Adapun seperti apa modelnya, hal itu tergantung pada budaya setempat. Asalkan kriteria berpakaian, yaitu menutup seluruh aurat, terpenuhi maka model apa pun tidak jadi soal. Meskipun tentu saja hal itu disesuaikan dengan kepatutan, kepantasan, dan kesopanan yang berlaku dalam masyarakat setempat.
Kita harus memisahkan antara Islam dan budaya setempat. Dalam filsafat ada istilah dzât atau substansi dan ‘aradh atau aksiden. Setiap benda pasti memiliki substansi dan aksiden. Apa substansi dan apa pula aksiden itu? Substansi adalah sesuatu menunjukkan dirinya sendiri dan tidak membutuhkan sesuatu yang lain, sedangkan aksiden adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri tetapi harus dihubungan dengan sesuatu yang lain yang berdri sendiri. Sebagai contoh, kita katakan “batu hitam”, artinya batu berwarna hitam. Batu adalah substansi dan hitam adalah aksiden. Batu itu akan tetap ada sebagai batu meskipun hitamnya tidak ada, seperti pada batu putih atau batu merah. Sebaliknya, “hitam” tidak akan menjadi ada jika batunya tidak ada. Hitam itu sendiri tidak memiliki wujud, dan ia akan menjadi berwujud ketika terhubung dengan suatu substansi, sehingga ada baju hitam, celana hitam, kayu hitam, dan sebagainya. Dengan kata lain, hitam itu sendiri wujudnya hanya ada dalam pikiran kita tetapi tidak ada wujudnya di dunia nyata. Tetapi ketika hitam itu kemudian terhubung dengan suatu substansi maka barulah kita dapat mengenali hitam itu sebagai sifat bagi substansi tersebut.
Dari analogi tadi, kita dapat memahami bahwa Islam adalah substansi, sedangkan budaya adalah aksiden. Ketika pertama kali diturunkan di Makkah yang penduduknya berbudaya Arab, Islam tidak mengubah seluruh budaya Arab tersebut. Hanya beberapa unsur budaya yang menjurus pada kemusyrikan yang dilarang untuk dipraktikkan, seperti penyembahan pada berhala, mengundi nasib dengan melempar anak panah, dan sebagainya. Sedangkan unsur-unsur budaya yang sejalan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam dibiarkan hidup dan tetap dipertahankan, termasuk dalam cara berpakaian. Nabi Muhammad Saw berpakaian jubah karena beliau hidup dalam budaya Arab, baik sebelum diutus menjadi nabi maupun sesudahnya, karena cara berpakaian seperti itu sudah memenuhi kriteria Islam.
Kemudian Islam tersebar ke berbagai wilayah di muka bumi ini dengan masyarakat dan budayanya yang berbeda-beda. Mengapa Islam bisa diterima di penjuru-penjuru bumi di luar Arab? Karena Islam yang datang ke sana adalah Islam substansi, dan budaya setempat dapat menjadi aksidennya. Maka kita mengenal ada Islam Indonesia, Islam Afrika, Islam Eropa, Islam Amerika, dan sebagainya. Tapi itu bukan berarti Islam di wilayah-wilayah tersebut berbeda-beda. Islamnya tetap sama, tetapi budaya setempat mewarnaninya sebagai aksiden.
Tentu saja di setiap tempat tersebut, sesuai dengan budaya yang berlaku di sana, punya gaya berpakaian tersendiri. Namun, selama gaya berpakaian tersebut memenuhi kriteria menutup aurat, tidak ada alasan untuk menggantinya dengan gaya berpakaian yang lain.
Kita yang terbiasa menutup aurat dengan pakaian kemeja plus celana panjang, atau baju koko plus sarung, atau setelan lainnya, tidak perlu merasa rendah diri dan apalagi merasa belum kaffah dalam berislam. Kaffah atau tidaknya seorang muslim tidak ditentukan oleh gaya apa ia berpakaian atau berpenampilan, tetapi oleh bagaimana ia memahami substansi Islam dan mengamalkannya sesuai kemampuan.[]