Inventori
Carmen Maria Machado
Satu cewek. Kami berbaring bersisian di karpet apak di rubanah rumahnya. Orang tuanya di lantai atas; kami bilang kami sedang menonton Jurrasic Park. “Aku ayahnya dan kau ibunya,” ia berujar. Aku membuka kausku, ia membuka kausnya, dan kami hanya menatap lekat satu sama lain. Jantungku seolah-olah berdebar di bawah pusarku, tapi aku mencemaskan kaki panjang si ayah dan kemungkinan orang tuanya memergoki kami. Aku tak jadi menonton Jurrasic Park kala itu. Kini, kemungkinan besar aku tak akan pernah menontonnya.
Satu cowok, satu cewek. Kami minum anggur dingin curian di kamarku, sambil duduk-duduk di ranjangku yang luas. Kami tertawa dan berbincang dan memutar botol. “Apa yang kusuka darimu,” si cewek berkata, “adalah reaksimu. Kau menanggapi segala sesuatu dengan lucu. Seperti semuanya begitu intens.” Si cowok mengangguk setuju. Cewek itu membenamkan wajahnya ke leherku dan berkata “seperti ini” kepada kulitku. Aku tertawa. Aku gugup, pun bersemangat. Aku merasa seperti sebuah gitar dan seseorang sedang memutar-mutar pasak tuning sehingga dawaiku terasa lebih tegang. Mereka menempel-nempelkan bulu mata mereka ke kulitku dan mengembuskan napas ke telingaku. Aku mendesah dan menggeliat, lalu terombang-ambing di tepi puncak kenikmatan selama semenit penuh, meskipun tak ada yang menyentuhku di sana, bahkan diriku sendiri pun tidak.
Dua cowok, satu cewek. Salah satunya pacarku. Orang tua pacarku pergi keluar kota, jadi kami menggelar pesta di rumahnya. Kami minum limun campur vodka dan ia memintaku untuk bercumbu dengan pacar temannya. Kami berciuman beberapa menit, lantas berhenti. Para cowok mencumbu satu sama lain dan kami menonton sekian lama, bosan tapi terlalu mabuk untuk bangkit berdiri. Kami tertidur di kamar tamu. Saat aku terjaga, kandung kemihku terasa sekeras kepalan tangan. Aku melangkah gontai ke serambi dan melihat seseorang menumpahkan limun vodka di lantai. Aku berusaha membersihkannya. Minuman campuran itu mengikis permukaan marmer yang polos. Ibu pacarku menemukan pakaian dalamku di belakang ranjang seminggu kemudian dan, tanpa berkata-kata, menyerahkannya kepada pacarku, dalam kondisi bersih sehabis dicuci. Aneh, betapa aku sangat merindukan wangi bunga yang meruap dari pakaian bersih. Sekarang, semua yang mampu kupikirkan hanyalah pelembut pakaian.
Satu lelaki. Ramping, tinggi. Begitu langsing sampai-sampai aku bisa melihat tulang panggulnya, yang anehnya, tampak seksi buatku. Bola mata kelabu. Senyum masam. Aku telah mengenalnya hampir setahun, sejak Oktober silam, ketika kami berjumpa di sebuah pesta Halloween. (Aku tak mengenakan kostum, ia berdandan sebagai Barbanella.) Kami minum-minum di apartemennya. Ia gugup dan memijatku. Aku pun gugup sehingga aku membiarkannya. Ia menggosok punggungku selama beberapa saat. Ia berujar, “Tanganku lelah.” Aku berkata, “Oh,” dan menoleh kepadanya. Ia menciumku. Dagunya kasar dipenuhi pangkal janggut. Tubuhnya beraroma ragi dan lapis atas kolonye mahal. Ia menindihku dan kami bercumbu sejenak. Semua organ dalamku berdenyar, nikmat. Ia bertanya apakah ia boleh menyentuh payudaraku, lalu aku menuntun tangannya untuk meremasnya. Aku membuka kausku dan merasa setetes air bergerak meluncur di tulang punggungku. Aku sadar semua itu akan terjadi, benar-benar terjadi. Kami berdua telanjang. Ia memasang kondom dan merayap ke atas tubuhku. Sakitnya melebihi apa pun. Ia orgasme dan aku tidak. Saat ia mencabut penisnya, kondom itu diselimuti darah. Ia melepaskan kondom dan membuangnya. Seluruh tubuhku bergetar. Kami tidur di ranjang yang terlalu sempit. Ia memaksa untuk mengantarkanku pulang ke asrama keesokan harinya. Di dalam kamar, aku melepaskan pakaian dan membungkus diriku dengan sebuah handuk. Tubuhku masih beraroma tubuhnya, seakan-akan kami masih menempel satu sama lain, dan aku menginginkannya lagi. Aku senang, seperti orang-orang dewasa yang kadang-kadang menikmati hubungan seks, dan merasa punya kehidupan. Teman sekamarku bertanya bagaimana rasanya, lalu memelukku.
Satu lelaki. Seorang kekasih. Tak suka kondom, bertanya kepadaku apakah aku memakai kontrasepsi, tapi akhirnya dicabut keluar juga. Sungguh berantakan.
Satu perempuan. Semacam kekasih putus-sambung. Teman sekelas di Organisasi Sistem Komputer. Rambut cokelat panjang sampai ke pantat. Ia lebih lembut dari yang kubayangkan. Aku ingin menciumi kelaminnya tapi ia terlalu gugup. Kami bercumbu dan ia menjulurkan lidahnya ke dalam mulutku dan setelah ia pulang, aku masturbasi dua kali di kamar apartemenku yang dingin. Dua tahun kemudian, kami bercinta di lantai beton atap kantorku. Empat lantai di bawah tubuh kami, kode-kode pemrogramanku terkompilasi di depan kursi kosong. Setelah kami selesai, aku mendongak dan menyadari seorang pria berjas tengah menyaksikan kami dari sebuah jendela gedung pencakar langit di dekat gedung kantorku, tangannya mengocok-ngocok isi celananya.
Satu perempuan. Kacamata bulat, rambut merah. Tak ingat kapan aku bertemu dengannya. Kami teler dan bersetubuh dan aku secara tak sengaja tertidur dengan jari masih di dalam tempiknya. Kami bangun sebelum fajar dan berjalan melintasi kota menuju restoran yang buka 24 jam. Saat itu gerimis dan ketika kami sampai di restoran itu, kaki kami yang hanya beralaskan sandal terasa kebas karena udara dingin. Kami makan panekuk. Mug kami segera kosong, dan saat kami menoleh mencari si pelayan, perempuan itu sedang menonton berita sela di televisi usang yang terpasang dengan besi dari langit-langit. Ia mengigit bibirnya, dan teko kopi yang digenggamnya miring sehingga titik-titik cokelat kecil jatuh menetes ke linoleum. Kami ikut menonton sampai si penyiar berita menghilang dari layar televisi, diganti infografis tentang daftar gejala dari paparan virus yang mewabah di negara bagian di utara California. Ketika si penyiar kembali muncul, ia mengulangi informasi bahwa pesawat-pesawat dilarang terbang, perbatasan negara bagian ditutup, dan virus itu tampaknya telah terisolasi. Saat si pelayan berjalan mendekat, ia tampak bingung. “Apa kau punya kerabat di sana?” tanyaku, dan ia mengangguk, matanya berkaca-kaca. Aku merasa bersalah telah bertanya.
Satu lelaki. Aku bersua dengannya di bar pojok jalan di sekitar rumahku. Kami bergumul di ranjangku. Ia tercium bagai anggur masam, meskipun sebenarnya ia minum vodka. Kami berhubungan seks, tapi ia bersikap lembut sepanjang setengah permainan. Kami berciuman lagi dan lagi. Ia mau memberiku seks oral, tapi aku tak ingin. Ia marah dan pergi, membanting pintu kasa begitu keras sampai-sampai rak bumbu dapurku berguncang, terlepas dari tembok, dan jatuh ke lantai. Anjingku menelan habis biji pala sehingga aku mesti mencekokinya dengan garam agar ia muntah. Dilecut adrenalin, aku membuat sebuah daftar yang berisi hewan-hewan peliharaan yang pernah kumiliki—tujuh, termasuk dua ikan cupang, yang mati berturut-turut dalam waktu seminggu ketika aku berumur sembilan tahun—dan sebuah daftar bumbu dalam sup asal Vietnam, pho. Cengkeh, kayu manis, bunga lawang, ketumbar, jahe, kapulaga.
Satu lelaki. Lima belas sentimeter lebih pendek dariku. Aku menjelaskan kepadanya bahwa situs tempatku bekerja telah kehilangan bisnisnya dengan cepat sebab tak seorang pun menginginkan tips fotografi yang aneh-aneh selama masa epidemi. Aku dipecat persis pagi itu. Ia mentraktirku makan malam. Kami bersanggama di mobil karena ia punya teman sekamar dan aku tak bisa mengajaknya ke rumahku waktu itu. Ia menyelipkan tangannya ke dalam braku dan tangannya sempurna, sungguh-sungguh sempurna, lalu kami main di bangku belakang mobil yang sempit. Aku mencapai puncak untuk pertama kali sejak dua bulan terakhir. Aku menelepon lelaki itu keesokan harinya, meninggalkan pesan suara, bilang kepadanya bahwa aku menikmati kebersamaan kami, dan aku ingin kembali bertemu, tapi ia tak pernah menelepon balik.
Satu lelaki. Pekerja kasar, tapi aku tak ingat persis apa bidang pekerjaannya. Ia memiliki sebuah tato bergambar ular boa pembelit dan frasa Latin yang salah eja di punggungnya. Ia kuat, mampu mengangkat dan menyandarkan tubuhku di dinding, lalu menggauliku tanpa ampun. Benar-benar sensasi paling menakjubkan yang pernah kurasakan. Kami memecahkan beberapa pigura. Ia aktif menggunakan tangannya dan aku liar mencakar punggungnya. Lantas ia bertanya apakah aku akan orgasme untuknya dan aku menjawab, “Ya, ya, aku akan orgasme untukmu, ya, aku mau.”
Satu perempuan. Rambut pirang, suara tajam. Teman dari seorang teman. Kami menikah. Aku masih tak yakin apakah aku hidup bersamanya karena aku menginginkannya atau karena aku takut pada apa yang terjadi dengan dunia di sekeliling kami. Dalam waktu setahun, pernikahan kami kacau. Kami berteriak satu sama lain lebih sering daripada kami bersetubuh, atau bahkan lebih sering daripada kami berbincang. Satu malam, kami bertengkar hebat sampai-sampai aku berlinang air mata. Setelahnya, ia bertanya apakah aku mau bercinta dan melucuti pakaianku sebelum aku bisa menjawab. Aku ingin melemparkannya keluar jendela. Kami berhubungan seks dan aku mulai menangis. Saat semua itu selesai dan ia pergi mandi, aku mengepak barang-barangku di sebuah koper, melangkah ke mobilku, dan pergi menjauh.
Satu lelaki. Enam bulan kemudian, dalam masa-masa kabur pascaperceraianku. Aku berjumpa dengannya di acara pemakaman anggota terakhir keluarganya. Aku sedang berduka, ia pun sedang berduka. Kami bercinta di rumah kosong yang dahulu milik dan dihuni oleh abangnya, istri abangnya, dan anak-anak mereka—semuanya kini telah tewas. Kami bersetubuh di setiap kamar, termasuk di lorong, tempat aku tak bisa melengkungkan punggung secara benar di lantai kayu. Aku mengocok penisnya di depan lemari linen. Di kamar tidur utama, aku melihat bayanganku di cermin rias saat aku menungganginya. Lampu kamar padam dan kulit kami tampak berkilau keperakan diterangi sinar rembulan. Saat ia menumpahkan air maninya di dalam vaginaku, ia berkata. “Maaf, maaf.” Ia meninggal dunia seminggu kemudian, bunuh diri. Aku pindah dari kota itu, pergi ke utara.
Satu lelaki. Si mata kelabu lagi. Aku tak pernah bertemu dengannya selama bertahun-tahun. Ia bertanya bagaimana keadaanku, lalu aku bercerita tentang beberapa hal dan menyembunyikan beberapa hal lain. Aku tak ingin menangis di depan laki-laki yang memperawaniku. Entahlah, tampaknya salah. Ia bertanya seberapa banyak aku kehilangan, dan aku menjawab, “Ibuku, teman sekamarku waktu kuliah.” Aku tak menyebutkan bagaimana aku menemukan ibuku mati, atau tiga hari setelahnya kuhabiskan bersama dokter yang cemas mengecek mataku untuk melihat ada tidaknya gejala-gejala awal, atau bagaimana akhirnya aku bisa melarikan diri dari zona karantina. “Saat aku bertemu denganmu,” ia berkata, “kau begitu belia.” Tubuhnya akrab dan asing sekaligus. Kini lebih baik, dan aku pun demikian. Saat ia menarik penisnya, aku hampir-hampir berharap melihat darah, tapi tentu saja tak ada darah. Ia menjadi lebih rupawan selama tahun-tahun yang lewat itu, lebih bijaksana. Aku mengejutkan diriku sendiri karena menangis saat berendam di kamar mandi. Aku membuka keran air agar ia tak bisa mendengarku.
Satu perempuan. Rambut cokelat. Mantan pegawai Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit. Aku berjumpa dengannya dalam sebuah pertemuan komunitas yang membahas cara menstok makanan dan bagaimana menangani wabah di lingkungan kami jika virus itu akhirnya berhasil melewati zona pembatas. Aku tak pernah tidur bersama seorang perempuan sejak istriku, tapi ketika ia membuka kausnya, aku sadar betapa aku merindukan payudara dan mulut yang lembut-basah. Ia menginginkan dildo dan aku patuh. Setelahnya, ia menelusuri lekuk kulitku untuk memeriksa tanda-tanda mencurigakan dan mengakui bahwa tak ada seorang pun yang berhasil mengembangkan vaksin. “Tapi virus sialan itu hanya menyebar melalui kontak fisik,” ujarnya. “Kalau saja orang-orang bisa saling menjauh—” Lantas ia membisu. Ia meringkuk di sisiku dan kami berusaha menahan kantuk. Saat aku terjaga, ia sedang memuaskan dirinya sendiri dengan dildo, lalu aku berpura-pura masih tertidur.
Satu lelaki. Ia memasak makan malam untukku di dapur. Tak banyak sisa sayur-mayur yang bisa dipanen di kebunku, tapi ia melakukan apa yang ia bisa. Ia berusaha menyuapiku dengan sebuah sendok, tapi aku mengambil sendok itu dari tangannya. Rasa masakannya tidak terlalu buruk. Listrik padam untuk keempat kali dalam minggu itu, sehingga kami makan dengan diterangi sinar lilin. Aku benci suasana romantis yang tak disengaja. Ia menyentuh wajahku saat kami bersetubuh dan berkata bahwa aku cantik, lalu aku sedikit menyentakkan wajahku untuk melonggarkan tekanan jemarinya. Ketika ia melakukan hal itu untuk kedua kalinya, aku menempelkan tanganku ke dagunya dan memberi tahu agar ia tutup mulut. Ia orgasme dengan cepat. Aku tak membalas panggilan teleponnya. Saat radio mengumumkan bahwa entah bagaimana virus telah mencapai Nebraska, aku sadar aku mesti bergerak ke timur. Aku pun pergi. Kutinggalkan kebun, kapling tempat anjingku dikuburkan, meja kayu pinus tempat aku was-was membuat begitu banyak daftar—pepohonan yang dimulai dengan huruf m: mapel, mimosa, mahoni, mulberi, magnolia, mangrove, myrtus; negara-negara bagian yang pernah kutinggali: Iowa, Indiana, Pennsylvania, Virginia, New York—sehingga corat-coret aksara memenuhi permukaan kayu yang lembut itu. Aku mengambil tabunganku dan menyewa sebuah pondok di dekat laut. Setelah beberapa bulan, si pemilik bangunan, yang tinggal di Kansas, berhenti menerima cek pembayaranku.
Dua perempuan. Pengungsi dari negara bagian di sebelah barat yang berkendara dan terus berkendara sampai mobil mereka mogok sekitar 1,5 kilometer dari pondokku. Mereka mengetuk pintuku dan tinggal bersamaku selama dua minggu, sementara kami mencari cara untuk memperbaiki mobil itu agar bisa kembali berjalan. Kami minum anggur suatu malam dan berbincang tentang karantina. Genset perlu dipanaskan dan dihidupkan, dan salah satu dari mereka menawarkan diri untuk melakukannya. Satu perempuan lain duduk di sebelahku dan mengelus-elus kakiku. Kami akhirnya berciuman dan masturbasi sendiri-sendiri. Perempuan kedua kembali dan kami semua tidur di satu ranjang. Sebenarnya, aku ingin mereka tinggal, tapi mereka bilang mereka hendak menuju Canada, yang konon situasinya lebih aman. Mereka menawariku untuk ikut serta, tapi aku berseloroh bahwa aku sedang menjaga benteng Amerika Serikat. “Di negera bagian mana kita berada?” salah seorang dari mereka bertanya, dan aku menjawab, “Maine.” Lantas mereka mencium keningku dan membaiatku sebagai pelindung Maine. Setelah mereka pergi, aku hanya sesekali menggunakan genset, lebih memilih menghabiskan waktu dalam keremangan cahaya lilin. Mantan pemilik pondok itu punya satu lemari yang dipenuhi lilin.
Satu lelaki. Anggota Garda Nasional. Ketika ia pertama kali muncul di undak-undakan depan pintuku, aku mengira ia datang untuk mengevakuasi diriku, tapi ternyata ia sedang melarikan diri dari posnya. Aku menawarinya untuk tinggal malam itu dan ia berterima kasih. Aku bangun dengan sebuah pisau di tenggorokanku dan satu tangan di payudaraku. Aku bilang kepadanya aku tak bisa berhubungan seks dengannya dengan posisi terbaring seperti itu. Ia membiarkanku berdiri, lalu dengan keras aku mendorongnya ke lemari buku dan memukulnya hingga ia tak sadar. Aku menyeret tubuhnya ke pantai dan menggulingkannya ke dalam ombak. Ia bangkit, terbatuk-batuk karena pasir di mulutnya. Aku mengarahkan pisau dan mengancam agar ia pergi dan terus berjalan—bahkan jika ia menoleh, aku akan menghabisinya. Ia menurut, dan aku mengawasinya sampai ia terlihat hanya sebagai titik gelap di garis kelabu pantai dan akhirnya lenyap dari pandangan. Ia adalah orang terakhir yang kulihat selama setahun itu.
Satu perempuan. Seorang pemimpin agama, dengan kawanan berjumlah lima puluh orang yang berjalan di belakangnya, semuanya berpakaian putih. Selama tiga hari, aku menahan mereka di tepi propertiku, dan setelah aku mengecek mata mereka, aku mengizinkan mereka untuk tinggal. Mereka semua berkemah di sekitar pondok: di halaman, di pantai. Mereka membawa sendiri perbekalan dan hanya membutuhkan tempat untuk menyandarkan kepala, kata si pemimpin. Ia mengenakan jubah yang membuatnya tampak seperti seorang penyihir. Malam tiba. Ia dan aku berjalan mengitari kemah dengan bertelanjang kaki, cahaya dari api unggun mengukir bayangan di wajahnya. Kami melangkah ke tepi pantai dan aku menunjuk ke kegelapan, ke arah pulau kecil yang tak bisa ia lihat. Ia menyentuh lembut tanganku. Aku membuatkan minuman untuknya—“Ya, kurang-lebih moonshine,” kataku saat mengulurkan tumbler kepadanya—dan kami duduk di sekitar meja. Di luar, terdengar suara orang-orang tertawa dan main musik, anak-anak bersenang-senang dengan ombak. Perempuan pemimpin itu tampak kelelahan. Aku tahu ia sebenarnya lebih muda dari yang terlihat, tapi memang pekerjaannya membuat ia menua lebih dini. Ia menyesap minuman itu, wajahnya meringis. “Kami telah berjalan teramat lama,” ia berkata. “Kami berhenti sejenak, di suatu tempat di dekat Pennsylvania, tapi virus itu menjangkiti kami ketika kami berpapasan jalan dengan kelompok lain. Dua belas nyawa melayang sebelum kami bisa menjauh dari paparan virus itu.” Kami berciuman dengan penuh perasaan cukup lama, jantungku berdentam-dentam di memekku. Ia terasa seperti rokok dan madu. Kelompok itu tinggal selama empat hari, sampai ia bangun dari sebuah mimpi dan berkata ia mendapat wangsit bahwa mereka mesti kembali bergerak. Ia mengajakku ikut rombongan. Aku membayangkan diriku bersamanya, kawanan itu mengikuti kami selayaknya anak-anak. Aku menolak. Ia meninggalkan hadiah di atas bantalku: sebuah kelinci dari bahan timah sebesar jempolku.
Satu lelaki. Usianya tak lebih dari dua puluh tahun, rambut cokelat tergerai. Ia telah berjalan kaki selama satu bulan. Ia terlihat seperti yang kauharapkan: senewen. Tanpa asa. Saat kami bersetubuh, ia takzim dan terlalu lembut. Setelah kami membersihkan diri, aku memberinya makan dengan sup kalengan. Ia bercerita tentang bagaimana ia berjalan melalui Chicago, benar-benar menembusnya, dan bagaimana orang-orang di sana akhirnya berhenti mengurusi jenazah-jenazah itu setelah sekian lama. Ia harus mengisi gelasnya kembali sebelum berkisah lebih lanjut. “Setelah itu,” ia berkata, “aku pergi memutari kota.” Aku bertanya seberapa jauh jarak virus itu sekarang dan ia menjawab bahwa ia tak tahu. “Sepi sekali di sini,” ia berujar, mengalihkan pokok pembicaraan. “Tak ada lalu lintas,” aku menjelaskan. “Tak ada turis.” Ia tersedu dan tersedu dan aku memeluknya sampai ia terlelap. Keesokan paginya, aku bangun dan ia telah pergi.
Satu perempuan. Jauh lebih tua dariku. Sementara menunggu selama tiga hari untuk masuk, ia bermeditasi di bukit pasir. Saat kuperiksa, kulihat matanya sehijau kaca laut. Rambut kelabunya menutupi kening dan cara ia tertawa membuat hatiku dipenuhi kebahagiaan. Kami duduk dalam cahaya temaram di depan jendela, sementara senja turun begitu perlahan. Ia membuka kakiku lebar-lebar, dan ketika ia menciumku, panorama di luar jendela menciut dan melengkung. Kami minum dan berjalan di sepanjang garis pantai, butir-butir pasir yang lembab mencetak halo yang pucat di kaki kami. Ia berkisah tentang masa kanak-kanaknya dahulu; terluka saat remaja, mesti merelakan kucingnya disuntik mati sehari setelah ia pindah ke kota baru. Aku bercerita tentang bagaimana aku menemukan jasad ibuku, jalur berbahaya sepanjang Vermont dan New Hampshire, gelombang pasang yang tak pernah jenak, dan mantan istriku. “Apa yang terjadi?” ia bertanya. “Memang tak bisa diselamatkan,” jawabku. Aku berkisah tentang lelaki yang tinggal di rumah kosong itu: bagaimana ia menangis, bagaimana maut seakan-akan berkelap-kelip di perutnya, dan bagaimana aku seperti bisa menyendok penuh penderitaan dari udara di rumah itu. Kami mengingat-ingat sejumlah lagu iklan populer di masa muda kami, termasuk lagu iklan milik jaringan restoran es krim Italia yang sering kukunjungi di penghujung musim panas, tempat aku menikmati gelato sambil terkantuk-kantuk di tengah udara gerah. Aku tak ingat kapan terakhir aku bisa tersenyum sedemikian meruah. Ia tinggal bersamaku. Lebih banyak pengungsi tersaring melalui pondok, melalui kami, tempat pemberhentian terakhir sebelum mereka mencapai perbatasan. Kami memberi mereka makan dan bermain bersama anak-anak mereka. Kami ceroboh. Satu hari aku terjaga dan udara berubah, aku sadar bahwa setelah sekian lama menunggu, saatnya akan tiba jua. Ia duduk di sofa. Ia bangun malam-malam dan membuat teh. Namun, cangkirnya terbalik dan tumpahan teh itu telah dingin. Aku mengenali gejala-gejala itu dari berita di televisi, lalu brosur-brosur, kemudian siaran radio, dan akhirnya suara bisik-bisik di sekitar api unggun. Timbul memar-memar ungu tua pada kulitnya, bagian putih matanya memerah, dan darah merembes dari kuku-kukunya yang putih-keruh. Tak ada waktu untuk berkabung. Kuperiksa wajahku di cermin, mataku masih jernih. Kurunut daftar barang-barang untuk keadaan darurat. Kusiapkan tas dan tenda, lantas kunaiki dan kudayung sampan kecil ke pulau, ke pulau ini, tempat aku telah menyimpan makanan sejak aku tiba di pondok. Kuminum air dan kudirikan tenda dan mulai kutulis daftar. Semua guru sejak PAUD. Semua pekerjaan yang pernah kujalani. Semua rumah yang pernah kutinggali. Semua orang yang pernah kucintai. Semua orang yang mungkin mencintaiku. Minggu depan, umurku akan genap tiga puluh. Butiran pasir tertiup masuk ke mulutku, menempel di rambutku, menerobos celah tengah buku catatanku. Laut berombak dan kelabu. Langgar laut, aku bisa melihat pondok itu, sebuah titik mungil di pantai seberang. Aku terus berpikir bahwa aku bisa melihat virus itu merekah di cakrawala serupa matahari terbit. Aku sadar dunia akan terus berputar, bahkan tanpa manusia di dalamnya. Barangkali akan berputar sedikit lebih cepat.
Tentang Penulis
Carmen Maria Machado menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya telah tersiar di sejumlah media dan jurnal ternama, antara lain New Yorker, Granta, NPR, Guernica, Tin House, dan Best Women’s Erotica. Cerpennya yang berjudul “The Husband Stitch” dinominasikan untuk Jackson and Nebula Award dan masuk daftar panjang James Tiptree Jr. Literary Award. Ia meraih gelar MFA dari Iowa Writer’s Workshop. Ia adalah artis mukim di Universitas Pennsylvania. Kini, ia tinggal di Philadelphia bersama istrinya.
Cerpen ini diterjemahkan dari cerpen berjudul “Inventory”, yang terhimpun dalam buku kumpulan cerpen Her Body and Other Parties (Greywolf Press, 2017)