Fb. In. Tw.

Intensi Politik dalam NKCTHI

Lima menit setelah menonton, tidak ada yang berkesan dari film ini.

Film “Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini” karya Angga Dwimas Sasongko bercerita kisah tentang sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah (Donny Damara), Ibu (Susan Bachtiar), Angkasa (Rio Dewanto), Aurora (Sheila Dara), dan Awan (Rachel Amanda) kelas menengah atas yang tinggal di Jakarta. Ayah amat sayang dengan ketiga anaknya, khususnya Awan, si anak bungsu. Seluruh perhatian anggota keluarga itu tertuju pada Awan. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu konflik dalam keluarga itu selain rahasia yang disembunyikan oleh Ayah dan Ibu.

Cerita dalam film ini tampak biasa saja, bukan? Namun, tiga puluh menit setelah menonton film ini dan menyantap pecel lele, kesan itu mulai muncul.

Keluarga Urban dan Orba
Dominic Strinati, dalam buku Popular Culture (2016), menjelaskan karakteristik masyarakat urban. Menurutnya, masyarakat urban adalah masyarakat yang teratomisasi, teralienasi,  dan terisolasi. Hal ini terjadi karena kota adalah sebuah wilayah yang “tidak terlembaga”. Hal ini berbeda dengan desa. Di desa, institusi agama dan kemasyarakatan memegang peran dalam mengendalikan moral setiap individu. Dengan demikian, masyarakat perdesaan cenderung memiliki relasi yang kuat. Sementara itu, masyarakat urban—seperti yang dijelaskan Strinati—teratomisasi, teralienasi, dan terisolasi. Akhirnya, masyarakat urban adalah  masyarakat yang individualistis.

Karena individualistis, mereka cenderung memiliki cita-cita yang bersifat individualistis pula. Masing-masing individu memiliki kuasa atas dirinya. Ia berhak menentukan arah hidupnya. Hal itu tentu saja dipengaruhi oleh banyak hal, yakni ketidakhadiran lembaga penjaga moral, industrialisasi, dan media. Itulah yang terjadi dalam film ini.

Film ini menggambarkan kehidupan keluarga urban. Masing-masing individu, khususnya anak, memiliki gambaran tentang masa depan mereka. Angkasa ingin menikahi kekasihnya dan hidup dengan mandiri. Kemudian, Aurora ingin berfokus pada kariernya sebagai seniman dan kuliah di Inggris. Sementara itu, Awan ingin menjadi arsitek dan dapat menentukan sendiri jalan hidupnya.

Namun, keinginan-keinginan itu sulit untuk dicapai karena Ayah memproteksi mereka; mengikat mereka dalam sebuah lembaga, yakni keluarga. Dalam perspektif Ayah, keluarga adalah lembaga yang memiliki supremasi dalam menentukan arah masa depan setiap individunya. Dalam pada itu, Ayah menjadi pusat dan penentu kebijakan. Sedangkan, Ibu hanyalah sebagai pendidik anak-anak, pendukung karier suami, dan pelengkap dalam keluarga. Inilah keluarga khas orba.

Dalam film ini, peran Ayah, sebagai pemegang kuasa, terlihat jelas. Ia memberi doktrin-doktrin kepada anak-anaknya, khususnya Angkasa sebagai sulung. Ia menentukan kebijakan dan mendisiplinkan anggota keluarganya. Ia memproteksi mereka sehingga tidak ada kebebasan yang didapat. Sebagaimana orba, mereka terlihat baik-baik saja padahal tidak baik-baik saja. Bahkan, ada luka sejarah yang harus mereka tanggung.

Ibu dalam film ini—seperti yang telah dijelaskan—adalah wanita dalam term orde baru. Dialog, “Kebahagiaan Ayah adalah kebahagiaan Ibu juga,” memperlihatkan relasi kuasa antara keduanya. Ibu tidak dapat menentukan kebahagiaannya karena kebahagiaannya adalah kebahagiaan Ayah, padahal kebahagiaan bersifat personal. Dalam film, Ibu tidak banyak bicara, seperti dibungkam. Ia tidak mampu membuat kebijakan. Namun, pada akhir cerita, sebagaimana fungsinya, ia menjadi penyelamat keluarga—atau penyelamat Ayah? Ia berhasil menyatukan kembali keluarga yang sempat tercerai-berai.

Model keluarga urban dan orba berkelindan dalam film ini. Praktik-praktik orba tampak sudah tidak relevan lagi dalam kehidupan urban. Ibu dan Ayah sebagai generasi yang tumbuh di masa orba tidak mampu menghadapi generasi yang tumbuh setelah era reformasi; generasi yang demokratis. Ketika praktik-praktik orba itu diterapkan, hal yang terjadi adalah pemberontakan. Pemberontakan paling ekstrem adalah pengungkapan luka sejarah!

Konflik yang Aneh
Angga Dwimas Sasongko menghadirkan pendekatan konflik yang berbeda dalam film ini. Jika dibandingkan dengan film “Keluarga Cemara”, film “Keluarga Cemara” dapat langsung memberi kesan kepada penonton. Kenapa demikian? Karena konflik yang dihadirkan “Keluarga Cemara” adalah konflik fisik. Artinya, penonton dapat merasakan secara langsung konflik yang terjadi.

Berbeda dengan “Keluarga Cemara”, konflik dalam film ini, jauh lebih rumit. Film ini lebih dominan menggunakan konflik batin. Perasaan dan kenangan menjadi kata kunci konflik dalam film ini. Justru, konflik ini yang membuat penonton (khususnya saya sendiri) harus berpikir. Mengapa perasaan dan kenangan menjadi penting bagi masyarakat urban yang pragmatis itu? Barangkali, inilah yang hendak disampaikan film ini—sekaligus menarik penonton (urban) dari jurang alienasi. Kita, penonton, tentu perlu merasa; tidak boleh melewatkan momen demi momen begitu saja. Kita perlu melihat diri dan membuka sejarah kita. Barangkali di sana terdapat kesalahan. Cie…

Spoiler alert!

Memilih kematian salah satu bayi kembar sebagai trigger konflik adalah hal yang aneh, menurut saya. Mengapa konflik itu yang dipilih? Jadi, sebenarnya, Awan itu punya Saudara kembar. Namun, saudara kembarnya meninggal saat persalinan. Itulah yang kemudian menjadi rahasia keluarga yang dipendam selama 21 tahun. Kenapa dirahasiain? Meninggal mah meninggal wéh atuh biasa aja itu mah.

Kenapa gak begini? Sebenarnya, Awan adalah anak yang diadopsi untuk mengganti anak mereka yang meninggal. Lumayan, nanti ada lah sekuelnya: “Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini: Awan Mencari Ortunya”.

***

Dalam wawancaranya di Flik, saya melihat bahwa Angga Dwimas Sasongko memiliki pandangan politik. Hal ini membuat filmnya, khususnya film ini, memiliki intensi ke arah sana meski kemasannya adalah drama keluarga. Ini kerja bagus![]

KOMENTAR
You don't have permission to register