Ikut Nabi, Peduli Pada Sesama
Sudah menjadi watak manusia, ingin selalu hidup dalam kesenangan dan sukacita, dan jauh dari musibah dan penderitaan. Apabila ditimpa bencana atau sesuatu yang tidak menyenangkan, ia menggerutu dan berkeluh-kesah. Sebaliknya, apabila ia mendapatkan kesenangan, ia lupa daratan dan kikir; hanya mementingkan dirinya sendiri dan lupa pada jasa-jasa orang lain. Sifat seperti ini dalam Al-Quran disebut halû‘. Karena itulah, Allah Swt berfirman, Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir (halû‘); apabila ia ditimpa kesusahan maka ia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan maka ia amat kikir. (QS al-Ma‘ârij: 19-21).
Itulah sebabnya manusia selalu ingin mencari jalan aman; ingin selalu sehat, urusan selalu lancar, dan segalanya selalu beres sesuai yang diharapkan. Namun, harapan seperti itu dalam hidup ini hanyalah mimpi. Nyatanya, dalam hidup ini kita selalu dihadapkan pada masalah. Bahkan ketika satu masalah bisa kita tangani dan kita lewati, masalah lain siap menghadang. Maka apa pun upaya yang kita lakukan—andaikan itu bisa—untuk menghindar dari masalah akan menjadi sia-sia saja.
Karena itu, orang yang sukses dalam hidup ini bukan orang yang tidak punya masalah, tapi orang yang bisa melewati masalah, karena tidak akan ada kesuksesan tanpa ada masalah. Seseorang hanya akan disebut sukses bila ia berhasil mengatasi masalahnya.
Kehidupan di dunia ini tidak pernah sepi dari masalah. Kemunculan masalah bisa terjadi kapan saja, baik kita duga maupun tidak kita duga. Dan masalah bisa muncul karena akibat dari perbuatan kita sendiri ataupun dengan sebab yang di luar kuasa kita. Masalah yang muncul dari perbuatan kita sendiri, itu karena kelalaian dan kealpaan kita.
Meski demikian, hendaklah kita tidak patah arang dan apalagi terpuruk ke dalam keputus-asaan. Hakikatnya setiap masalah bisa kita hadapi, asalkan kita yakin kepada Allah, sabar, dan opitimis. Masalah yang mendera kita sejatinya merupakan ujian bagi kita. Tidak mungkin Allah memberikan ujian di luar kemampuan kita. Pendeknya, Allah memberikan ujian kepada kita secara terukur dan proporsional sesuai dengan kemampuan kita dan kapasitas yang kita miliki.
Di balik masalah-masalah yang kita hadapi dalam hidup ini: sakit, kesulitan hidup, sumpek, galau, dan sebagainya, terdapat faedah yang sangat besar. Tinggal bagaimana kita menghadapinya. Berikut ini tiga faedah dari masalah yang mungkin kita hadapi.
Meningkatkan derajat
Bagi mukmin sejati, setiap cobaan akan diserahkan dan dipasrahkan kepada Allah. Ia menghadapi masalah sebagai ujian untuk meningkatkan derajat di hadapan-Nya. Maka, alih-alih berkeluh-kesah dan menghindari masalah, ia menghadapinya dengan penuh keyakinan dan kepasrahan kepada Sang Khalik. Sikap seperti ini akan membuatnya naik tingkat.
Menghapus dosa
Setiap cobaan yang mendera orang yang beriman, jika tidak meningkatkan derajat, ya menghapuskan dosa. Cobalah bandingkan, dosa yang kita biarkan sehingga dihisab oleh Allah pada hari kiamat dan akibatnya kita harus dimasukkan ke dalam neraka selama setahun, misalnya, dengan sakit kepala yang kita rasakan selama satu malam dalam kehidupan di dunia ini—tetapi dapat menghapuskan dosa tersebut bila dihadapi dengan kesabaran. Silakan pilih, mau yang mana.
Memberi kesempatan pada orang lain untuk meraih pahala
Kekurangan dalam kehidupan seorang mukmin bisa menjadi peluang dan kesempatan bagi mukmin lain untuk meraih pahala. Ini disebut sikap berbagi atau peduli. Misalnya, seseorang mukmin mengalami kesulitan; Allah mengujinya dengan sakit atau kefakiran. Ini merupakan kesempatan bagi mukmin lain untuk meningkatkan amal ibadahnya kepada Allah Swt, yaitu dengan membantu atau memenuhi kebutuhan orang yang sedang mendapat cobaan tersebut. Ada banyak riwayat yang intinya menganjurkan kepada kita untuk peduli dan berempati atas kesulitan orang lain, serta berusaha memenuhi kebutuhannya.
Dalam sebuah riwayat dari Muhammad al-Baqir ra disebutkan bahwa Allah mewahyukan kepada Nabi Musa as, “Di antara hamba-hamba-Ku ada orang yang mendekat kepadaku dengan (berbuat) kebaikan, sehingga Aku memutuskan untuk memasukkannya ke dalam surga.” Nabi Musa bertanya, “Wahai Tuhanku, kebaikan apakah itu?” Allah menjawab, “Yaitu berjalan bersama saudaranya sesama mukmin untuk (berusaha) memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhannya itu terpenuhi maupun tidak.”
Dalam riwayat di atas, disebutkan “berjalan bersama”, bukan mengajak. Kalau mengajak, misalnya Anda mengajak seseorang, mungkin orang itu mau mendengar ajakan Anda atau mungkin juga tidak. Tetapi di sini ditegaskan “berjalan bersama” untuk berusaha memenuhi kebutuhan orang yang membutuhkan; bukan sekadar berempati, tapi berusaha bersama-sama menyelesaikan masalahnya. Perkara apakah kemudian kebutuhannya terpenuhi atau tidak, itu soal lain. Namun keduanya tetap mendapat pahala.
Atau, seperti yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Pada hari kiamat nanti, Allah berfirman, “Hai anak Adam, Aku sakit, mengapa kamu tidak menjenguk-Ku?” Anak Adam berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana mungkin aku menjenguk-Mu, sementara Engkau adalah Tuhan Pemilik alam semesta.” Allah berfirman, “Tidak tahukah kamu, sesungguhnya hamba-Ku si fulan sakit, tetapi mengapa kamu tidak menjenguknya? Tahukah kamu, sesungguhnya jika kamu menjenguknya maka kamu akan mendapati-Ku di sisinya.” Kemudian Allah berfirman, “Wahai anak Adam, Aku meminta makan kepadamu, tetapi kamu tidak memberi-Ku makan.” Anak Adam berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana mungkin aku memberi-Mu makan, sementara Engkau adalah Tuhan Pemilik alam semesta.” Allah berfirman, “Tidak tahukah kamu, sesungguhnya hamba-Ku si fulan meminta makan kepadamu tetapi kamu tidak memberinya makan. Tahukah kamu, sesungguhnya jika kamu memberinya makan maka kamu akan mendapati-Ku di sisinya.”[]