Fb. In. Tw.

(Ikan) Sastra dalam Aquarium Retak

Di sudut meja—tempat saya membaca dan menulis—ada aquarium mini. Aquarium yang semula tak pernah saya bayangkan untuk membeli apalagi memilikinya, tapi karena “kecalakaan” yang, pada mulanya saya bermaksud membeli ikan asin yang ternyata di tempat penjualan ikan itu tak menjual ikan asin terpaksalah saya membeli aquarium. Aquarium ini saya isi dengan aneka macam jenis ikan hias meski saya tak hapal satu persatu nama-nama ikan-ikan yang bergerak lincah ini. Lebih celaka lagi saya tak pernah bisa berpaling dari gerak ikan yang terdiri berbagai jenis namun antara jenis ikan yang satu dengan ikan lainnya tak sekalipun berebut makanan, semua, bergerak, kadang beriring, pelan dan sekaligus gesit.

Melihat gerakan ikan yang gesit sekaligus dinamis dalam aquarium yang tak terlalu besar buat “berebut” makanan saya jadi teringat aparatur negara, DPR, POLRI VS KPK yang tak kunjung rukun dan tak pernah bisa memanfaatkan tempat atau ruang (aquarium) yang justru jauh lebih luas untuk melakukan hal-hal yang indah dan menghibur sehingga –minimal– bernyanyi dan berjoget bersama, KPK menghibur anggota-anggota DPR, gubernur dan bupati yang kena kasus korupsi demikian juga dengan POLRI mereka bisa bernyanyi bersama, joging dan berenang —setidaknya— bisa melangsingkan “rekening” dan perut gendut koruptor, bukan?

Keindahan riap lampu dalam aquarium, gelembung-gelembung air serta gerakan gesit ikan-ikan yang menyelam dan menyusup ke sela-sela bebatuan karang, lokan dan kerang dengan bias cahaya lampu kuning-remang mengingatkan saya pada “Senja di Pelabuhan Kecil”-nya “pelaut teguh”, Chairil Anwar:

Senja di Pelabuhan Kecil

Ini kali tiada yang mencari cinta
di antara gedung, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghempas diri dalam mempercaya mau berpaut…

Selepas bermuka-muka dengan ikan-ikan di aquarium mini yang mampu mengantar saya bertamasya menikmati “Senja di Pelabuhan Kecil” bersama maestro penyair Indonesia, Chairil Anwar, tiba-tiba seorang maestro lain, Asrul Sani, datang dan menunjukkan “Elang Laut” kepada saya:

Elang Laut

Ada elang laut terbang
senja hari
antara jingga dan merah
surya tidak turun,
pergi ke sarangnya. 

Apakah ia tahu juga,
bahwa panggilan cinta
tiada ditahan kabut
yang menguap pagi hari?

 

Demikianlah suasana perjumpaan yang berlangsung sekejap sebelum akhirnya saya diajak melihat “Perahu” oleh Idrus Tintin, penyair Indonesia yang lahir dan besar di Renggat, Riau,10 November 1932.

Perahu

Perahuku kecil dan rapuh
Layarnya koyak dayungnya pendek
alat perabotnya tak kuat-kokoh
bekal airnya tanggung-tanggung
kayu dibawa renang tak cukup.

Ikan-ikan dalam aquarium masih saja menggelitik ingatan saya pada beberapa karya sastra lainnya. Dibawanya saya mendengarkan Senandung Ombak novelis Jepang, Yukio Mishimu, kemudian saya diajak melihat kerisauan pelaut tua dan kegigihan anak muda dalam novel Lelaki Tua dan Laut-nya Ernest Hemingway. Oleh dua novel yang sama-sama berlatar laut dengan tokoh lelaki yang beranjak remaja itu saya merasa seperti diajak berenang ke laut lepas berenang melawan arus “hidup” yang setiap saat siap menggerus “pelaut” yang lengah.

Saya tak kunjung paham kenapa sejumlah karya-karya sastra pendahulu baik puisi, novel maupun cerpen sanggup menghadirkan dan mempertemukan suatu peristiwa dengan teks-teks yang ditulisnya, barangkali, meminjam salah satu bait puisi Chairil Anwar, penuh seluruh! Setiap objek, peristiwa dan teks sastra terus bersanding. Atau, dalam istilah yang klise setiap karya sastra berbading lurus dengan zamannya. Atau, karya sastra yang baik tak pernah lekang ditelan zaman (?).

Jika benar demikian, mengapa saat ini kita begitu sulit bermuka-muka degan karya-karya yang mampu mengajak atau mencerminkan suatu situasi, semangat zaman, lingkungan, konflik sosial, dan remuk-redamnya negara yang terus ringsek oleh petinggi negara sendiri? Tak cukupkah bahan menulis dan mengemukakan suatu peristiwa yang kadang-kadang lebih fiktif dan imajinatif dari karya sastra itu sendiri?

Lebih aneh lagi mengapa sejumlah sastrawan lebih mengedepankan ego, kemarahan ketimbang ide kreatif. Hujat-menghujat, mencaci-maki yang lebih naifnya oleh kalangan sastrawan saling menghujat, mencaci-maki, mengatakan orang lain “anjing, bajingan” adalah hal biasa terjadi di kalangan sastrawan. Jika benar demikian, saya tidak yakin, Chairil Anwar, Asrul Sani, Sitor Situmorang, Umar Kayam, Goenawan Muhamad, A. Mustofa Bisri, Danarto dan sejumlah sastrawan kreatif lainnya adalah seorang sastrawan. Pastilah mereka akan lebih memilih menjadi karyawan, dosen dan pedagang.

***

Saya memang belum tertarik bertanya kepada ahli ikan atau setidak-tidaknya penjual ikan hias, bukan apa-apa, saya hanya hawatir ketika saya tahu nama dan fungsi ikan-ikan ini kekaguman dan keterpukauan saya pada ikan-ikan ini akan menyusut hingga akhirnya keinginan untuk memanjakan mata ketika melihat gerakan-gerakan ikan-ikan ini mulai berkurang. Saya tak mau hal ini terjadi pada diri saya, ya, sebagaimana saya tak mau berkenalan lebih jauh secara personal dengan sejumlah tokoh-tokoh sastra ketika bersua dalam satu event. Saya lebih suka menjauh dan merawat kekaguman saya.

Apa hubungannya ikan-ikan hias dalam aqurium mini dengan sejumlah tokoh-tokoh sastra yang saya kenal dan jumpai dalam event-event sastra? Satu di antara kehawatiran-kehawatiran itu ialah ketika saya mengenal lebih jauh jenis, nama-nama dan hingga pada akhirnya saya “jatuh cinta” dan tak ingin beranjak lebih jauh kecuali terus-terusan memandang penuh takjub kemudian menyentuhnya dan karena tak ingin berpisah maka setiap kali saya akan bepergian ikan-ikan juga aquarium mininya akan dibawa serta, dan celakanya saya akan abai dengan pekerjaan-pekerjaan lain, kewajiban membaca dan menulis.

Sebagaimana kehawatiran saya untuk mengagumi dan mengenal lebih jauh sosok sastrawan hingga ketika dalam satu event saya lupa menanyakan beberapa hal, proses kreatif misalnya, mendiskusikan satu karya, buku dan berbagi gagasan, misalnya. Saya hawatir akan memanfaatkan momen pertemuan dengan sejumlah tokoh sastra tersebut hanya berfoto ria, selfie dan bertukar akun twitter, facebook dan nomor handphone sebagaimana beberapa tahun belakangan marak terjadi. Sehingga lupa pada sebuah esensi pertemuan dan bahkan abai dengan “kewajiban” menghadiri event. Maka, maafkanlah ikan-ikan hias”ku” bila saya (mengutip puisi Warih Wisatsana, Ikan Terbang tak Berkawan); Tak peduli hanya jadi biduk lapuk// jadi ikan terbang tak berkawan.

Memandang aquarium mini, ikan-ikan dan karang-karang buatan, kerang, gelembung-gelembung air dan riap lampu yang sengaja saya setting seperti kilau mercusuar dan di atas permukaan itu sengaja saya pasang perahu-perahuan yang saya beli di pasar “maling”, sempurnalah aquarium mini serupa tempat paling nyaman buat bermain, “istana” bagi ikan-ikan di dalamnya. Sesakali saya sengaja memperdengarkan suara khas penyanyi klasik, Pavarroti. Ketekuan-ketukan pada musik balero, Spanyol, dan, nyanyian khas orang-orang pesisir Madura, Olle-Ollang.

Tidak bisa tidak, di meja ini, di samping aquarium mini dan aneka jenis ikan ini dengan iringan musik jazz, saya seperti di bawah menyelam oleh sastrawan terkemuka Perancis, Jules Verne lewat novelnya yang fenomenal, Vingt Mille Lienes Sous Les Mers. Sastrawan yang mengawali “karir” kesastrawanannya dengan menulis lakon dan sebuah novel “Lima Hari Naik Balon” ini.

Novel Vingt Mille Lienes Sous Les Mers sendiri bercerita tentang “makhluk raksasa” 20 mill di bawah laut, yang keberadaannya cukup membuat orang-orang tak percaya dan sekaligus meresahkan khalayak sastra dunia karena imajinasi, fantasi dan narasi yang sangat meyakinkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam dunia nyata. Dari novel ini juga betapa perairan dan terumbu-terumbu di Papua sanggup memanjakan mata satu hal yang belum saya dapatkan dalam karya-karya sastrawan kita, sastrawan yang lahir dan besar di negara Mairitim, Indonesia.

Aduhai, alangkah tak tertanggungkan keindahan dan kekayaan laut kita sehingga menjadi minat perompak dan pencari ikan dari negeri-negeri lain sebagaimana belakangan (sekejap) santer diberitakan tindakan tegas dewi laut, Susi Pudjiastuti, menteri kelautan, terhadap pencuri ikan yang, mohon maaf, di laut lepas tempat penulis lahir (Madura), bakar membakar perahu yang melanggar batas biasa dilakukan tanpa harus menunggu polisi kelautan atau jauh sebelum dewi Laut, Susi Pudjiastuti, menjabat menteri kelautan. Dan, sebelum membakar sudah pasti kami melakukan negosiasi dengan pemilik kapal yang entah datangnya dari mana. Jika negosiasi tak berhasil dan kapal-kapal asing itu ngotot hingga tiga kali berturut-turut barulah tindakan terakhir dilakukan, bakar atau mereka menyerahkan diri, hidup damai bersama kami di kampung terbelakang ini.

Di meja dan di depan aquarium mini ini saya bertanya-tanya sampai bila karya sastrawan terkini yang lahir di Negeri maritim ini terhempas-gelombang jauh jauh ke seberang hingga aneka kekayaan laut dan bentangan samudera lewat begitu saja (atau) laut hanya menjadi latar yang beku seolah tak ada udara, arus dan angin sakal, hempasan gelombang sehingga tak menarik minat regenerasi sastrawan untuk menuliskannya.

Ah, rasanya cukup sudah saya berpetualang bersama ikan-ikan hias dalam aquarium mini dan buku-buku yang terdedah-terbuka, tawarkan dunia baru pengembaraan. Kini, izinkan saya menutup esai ini dengan salah satu bait puisi “Pont Neuf”-nya Sitor Situmorang, sebelum:

Petualangan besar bersandar pada senja
Jembatan zaman lalu zaman
Tak tahu lagi arah ke mana sungai membelah kota 

Ke hulu atau ke lautan?

Tepi Kali Bedog, Februari 2015[]

KOMENTAR
Post tags:

Pengarang buku kumpulan cerpen "Mata Blater" (2010), "Karapan Laut" (2014), dan kumpulan puisi "Taneyan". Saat ini tinggal di Jatiuwung, Tangerang.

Comments
  • dari aquarium menjelma menjadi teks-teks indonesia yang retak. Saya juga teringat dengan naskah drama “Perahu Retak” karya MH Ainun Ajib, yang menceritakan antara islam abangan dan islam murni. Sepertinya banyak karya sastra yang akan kita temui jika kita melihat indonesia sekarang ini. Hal ini cukup membuktikan bahwa negara kita jarang membaca karya sastranya.

    11 Februari 2015
  • Andre

    …mengapa saat ini kita begitu sulit bermuka-muka degan karya-karya yang mampu mengajak atau mencerminkan suatu situasi, semangat zaman, lingkungan, konflik sosial, dan remuk-redamnya negara yang terus ringsek oleh petinggi negara sendiri?

    11 Februari 2015

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register