Fb. In. Tw.

Identitas dalam Rumah Tanpa Jendela

Memasuki edisi keempat, Bukakoran kali ini mengulas cerpen “Rumah Tanpa Jendela” karya Syahril Sugianto yang dimuat pada harian Pikiran Rakyat edisi Minggu, 28 Januari 2018. Cerpen ini menceritakan peristiwa seorang anak yang terkurung di dalam sebuah rumah kayu tanpa sekat dan jendela.

Sudut pandang Aku pencerita menjelaskan peristiwa aneh yang dialaminya. Tokoh Aku berada di sebuah ruangan sendirian, namun ternyata di rumah itu ada sesosok aneh yang dapat berubah menjadi logam dan terbang ke angkasa. Setelah peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi dalam satu malam, ia mendapati tokoh Ayah sudah mati di luar rumah. Pintu yang semula terkunci bisa terbuka dengan bantuan sesosok aneh itu. Peristiwa aneh itulah yang menjadi gagasan utama cerpen “Rumah Tanpa Jendela” ini.

Ada ekspektasi yang tinggi dari pembaca ketika mendapati sebuah judul yang menggoda. Setidaknya, pembaca mengharapkan sebuah cerita dengan detail sempurna dan tema yang berbeda dengan cerpen-cerpen sebelumnya. Akan tetapi, ekspektasi itu tak kunjung terpenuhi, lantaran secara struktur, cerpen ini tidak menampakkan unsur cerita yang kuat atau teknik penulisan yang cemerlang.

Cerpen ini tidak dibungkus oleh tema yang identik, meskipun kebanyakan menceritakan tentang sebuah identitas. Tidak seperti cerpen-cerpen di minggu sebelumnya yang membahas persoalan keluarga dan percintaan, cerpen ini tidak memiliki penanda tematik, yang jika dibaca sekilas sudah bisa diterka ke mana arah ceritanya. Meskipun demikian, jika seluruhnya dibaca, ada hal yang menarik dan tidak umum yang dikisahkan cerpen ini.

Sebuah cerpen biasanya hadir dengan bahasa yang sesuai dengan maksud dan pesan yang hendak disampaikan pengarang. Bahasa yang dimaksud adalah cara pengarang menyampaikan gagasannya melalui cerita pendek, dalam hal ini menyoal identitas dalam sebuah cerpen. Stella Ting Toomey, seorang profesor ilmu komunikasi manusia dari California State University, Fullerton, mengemukakan bahwa identitas merupakan refleksi diri yang berasal dari gender, keluarga, budaya, etnis, dan proses sosialisasi yang merujuk pada diri dan persepsi orang lain.

Identitas berawal dari adanya kebutuhan untuk memahami dasar psikologis dan interaksi secara sosial. Identitas dalam karya sastra merupakan praktik berbahasa yang bisa digunakan sebagai alat untuk menempatkan seseorang sebagai subjek dalam bahasa atau memosisikan seseorang sesuai dengan keinginan. Karenanya bahasa memiliki kekuatan untuk menjadi wacana pembentuk identitas.

Dalam cerpen “Rumah Tanpa Jendela” sebagai sebuah teks sastra, identitas tidak muncul begitu saja. Akan tetapi, ada pemaknaan wacana yang ada di sekitarnya. Gagasan pengarang, pada waktunya direproduksi dalam representasi berupa karya sastra. Artinya, kekuatan bahasa dan praktik berbahasa akan menghasilkan realitas tersendiri.

Contoh sederhana realitas yang dihadirkan cerpen ini—meskipun realitas tersebut adalah refleksi palsu yang bersifat imajiner—adalah sosok yang dapat berubah bentuk dan melakukan hal di luar logika. Bayangkan, apabila kita sebagai (identitas) manusia bisa melakukan hal yang dilakukan tokoh sesosok aneh yang berubah menjadi logam dan terbang ke angkasa? Sebagai realitas yang sebenarnya, barangkali akan sulit diterima secara logika.

Dalam cerpen “Rumah Tanpa Jendela”, kita bisa mengidentifikasi dua jenis identitas berdasarkan tokoh dan penokohannya. Pertama, identitas gender yang merupakan pandangan pengarang terhadap maskulinitas dan feminitas. Misalnya, aktivitas yang dianggap maskulin atau feminin, gaya komunikasi, atau penanda gender yang biasanya dicitrakan sebagai laki-laki atau perempuan, ayah atau ibu.

SAAT aku mulai tertekan aku selalu mengintip keluar lewat lubang kunci. Melihat bunga yang kata Ayah namanya bunga matahari, mengikuti gerak bunga matahari yang berayun disapa angin dan gerakannya yang selalu menguntit matahari. Kurasa itulah yang menjadi dasar penamaan bunga ini.

Oh yah, soal Ayahku, aku tak pernah melihatnya hampir sebulan ini. Mungkin ia datang setelah aku tidur, lalu pergi bekerja setelah menyiapkan makan sebelum aku bangun, mungkin. Satu yang pasti selama ini Ayahku tak pernah membiarkan aku keluar, tak tahu karena apa, entah.

Tokoh Ayah dalam cerpen “Rumah Tanpa Jendela” adalah penanda identitas gender untuk laki-laki. Aktivitas yang dilakukan tokoh Ayah seperti menyiapkan makan, bekerja pagi sampai malam yang menjadi rutinitas dalam cerita, menjadi realitas imajiner bahwa tokoh ayah merupakan orang tua tunggal yang mengurus keluarganya sendirian. Sementara itu, tokoh Aku tidak menunjukkan identitas gender berdasarkan aktivitas, komunikasi, maupun penandanya.

Tapi aku ingin keluar menyapa bunga matahari, lalu bersama-sama pergi mengikuti arah cahaya dan tak pernah kembali. Kupikir tak ada jalan keluar dari sini, pintu ini selalu dikunci. Tapi aku ingin melihat dunia, meski lewat jendela. Kuputuskan untuk mengambil spidol lalu menggambar jendela dengan gambar bunga matahari di tembok samping pintu. Setelah gambar selesai, aku masih ingin keluar.

Apakah aktivitas atau gaya komunikasi dalam kutipan di atas menunjukkan identitas gender untuk tokoh Aku? Tampaknya, pengarang memang sengaja tidak menampakkan identitas gender pada tokoh Aku rekaannya. Hal yang sama juga terjadi pada tokoh lain dalam cerpen itu, yaitu sosok yang berubah menjadi logam dan terbang ke udara.

LALU ia berubah menjadi logam dan terbang ke angkasa. Kembali aku tertegun saat cahaya masuk melalui lubang pintu dan meninggalkan garis cahaya dengan debu-debu yang beterbangan, pada saat yang sama cahaya berhasil sedikit masuk dari bawah celah antara pintu dan lantai. 

Suara piring jatuh membangunkanku, saat itu berdiri seorang perempuan menata makanan di atas meja.

“Siapa kau?”

Ia langsung pergi menembus pintu, kulihat dari lubang kunci kalau orang itu sedang berdiri lalu ia berubah menjadi logam dan terbang ke angkasa.

Adanya pengulangan tokoh Ia yang dapat berubah menjadi logam dan terbang ke angkasa, seolah menegaskan bahwa sesosok aneh itu merupakan realitas imajiner yang terjadi dalam cerita rekaan pengarang. Tidak diketahui apa maksud pengarang menghadirkan sosok tersebut, akan tetapi hal itu bisa menjadi penanda jenis identitas lainnya, yakni identitas pribadi.

Kedua, identitas pribadi yang merupakan karakteristik unik yang membedakan individu satu dengan yang lain. Watak dan prinsip moral yang dijadikan kerangka normatif dan dasar dalam bertindak menjadi ciri sebuah identitas pribadi.

Sepertinya mataku menipu, atau ini hanya mimpi yang jika aku merasa ingin pipis aku akan terbangun. Tapi kabar buruknya ini bukan mimpi. Sial! Aku takut, otot leherku menegang, apa yang harus kulakukan. Mati? Aku hanya perlu setetes keberanian lagi untuk itu dan dengan itu aku dapat terbang mengikuti cahaya seperti bunga matahari. Tapi itu bukan jawaban, kupukul wajahku sendiri agar pikiran bunuh diri tak merasuk lagi (ed.) dalam kepalaku.

Tangannya yang kupegang menimbulkan luka seperti luka bakar, makhluk macam apa dia? Berarti dengan memegang seluruh tubuhnya aku dapat membunuhnya.

“Tunggu jika kau ingin mengetahui jawaban dari semua jawaban itu tunggulah sampai jam sembilan pagi, akan aku buka pintu rumahmu agar kau mengetahui jawabannya.”

Aku pun mengangguk setuju. Setelah itu ia pergi menembus pintu lalu ia berubah menjadi logam dan terbang ke angkasa.

Inilah praktik bahasa yang digunakan pengarang dalam menentukan jalan cerita dan realitas imajiner peristiwa maupun tokoh di dalamnya. Tokoh Aku memiliki—tepatnya diberi—kesadaran  moral untuk bertindak berdasarkan logika pikirannya. Pengarang juga memberikan identitas pada tokoh Ia sebagai makhluk yang mampu menerima rasa sakit melalui sudut pandang pencerita Aku. Hal ini yang menjadikan individu cerita yang memiliki identitas pribadi.

Gagasan mengenai identitas ini merupakan modal pengarang untuk menjadikan cerpen “Rumah Tanpa Jendela” berbeda dengan cerpen-cerpen yang dimuat di harian Pikiran Rakyat pada minggu-minggu sebelumnya. Sayangnya, cerpen ini tidak didukung dengan teknik penulisan yang baik. Yang paling kentara adalah kurangnya detail pada latar dan penokohan. Selain itu, minimnya gaya bahasa yang digunakan membuat cerpen ini tidak secemerlang gagasannya.[]

 

KOMENTAR

Penulis. Staf pengajar di SD BPI. Anggota ASAS UPI.

You don't have permission to register