Ibadah Cinta
Tugas manusia di muka bumi adalah untuk beribadah kepada Allah yang telah menciptakan mereka. Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran, dalam ayat yang sering kita dengar, dan mungkin sudah kita hafal, yaitu dalam surah adz-Dzariyat ayat 56: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.
Ibadah artinya mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah, sehingga kita memasrahkan seluruh yang kita miliki, segala yang kita lakukan, dan apa pun yang terjadi pada kita hanya kepada-Nya semata. Dan mungkin hal ini selalu kita ikrarkan dalam setiap shalat kita, yaitu dalam doa iftitah yang kita baca setelah takbiratul-ihram, yang aslinya bersumber dari Al-Quran: Inna shalâtî wa nusukî wa mahyâya wa mamâtî lillâhi rabbil-‘âlamîn (sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam)—Qs al-An‘am: 162.
Namun dalam kenyataannya, orang-orang yang beribadah memiliki motif yang berbeda-beda. Ada yang motifnya memang benar-benar untuk mengabdi sepenuhnya kepada Allah, dan ada pula yang karena dorongan ini dan itu, entah karena punya harapan tertentu yang bersifat materi-keduniawian ataupun karena desakan dari pihak tertentu atau motif lainnya. Akibatnya, ketika mereka beribadah, maka raga dari tindakannya adalah ibadah, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji, tetapi tidak ada ruh ibadah di dalamnya, karena motifnya bukan untuk ibadah kepada Allah Swt.
Mengenai motif-motif orang dalam beribadah, Sayidina Ali Kw pernah berkata bahwa orang yang beribadah kepada Allah ada tiga kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang beribadah kepada Allah karena takut akan siksa-Nya; maka ini adalah ibadah para budak. Kelompok kedua adalah mereka yang beribadah kepada Allah karena mengharapkan pahala-Nya; maka ini adalah ibadah para pedagang. Kelompok ketiga adalah mereka yang beribadah kepada Allah karena cinta kepada-Nya; maka ini adalah ibadah orang-orang merdeka.
Orang yang beribadah kepada Allah karena takut pada siksa-Nya, ia hanya fokus pada upaya agar terhindar dari siksaan tersebut. Akibatnya, ia lupa pada nikmat-nikmat dan anugerah-anugerah Allah yang diberikan kepadanya, sehingga ia lupa untuk bersyukur kepada-Nya. Demikian pula orang yang beribadah kepada Allah karena mengharapkan pahala-Nya akan melakukan ibadah yang sekiranya dapat memberikan kebaikan baginya. Oleh karena itu, ia rajin membaca buku-buku tentang keutamaan atau fadhilah ibadah.
Persis seperti pedagang yang selalu mengejar laba, kalau ia melakukan suatu bentuk ibadah maka ia akan mengitung-hitung apa yang akan ia dapatkan. Terlebih kalau orang seperti ini hidupnya matre, maka ia akan melakukan ibadah-ibadah yang bisa mendatangkan keuntungan duniawi baginya. Yang dipikirkannya, kalau ia melakukan ibadah ini atau ibadah itu maka apakah rezekinya akan bertambah, apakah usahanya akan lancar, apakah karirnya akan terus menanjak, dan sebagainya.
Maka ia akan merasa bahagia manakala harapan-harapannya itu tercapai, tapi sebaliknya, ketika harapannya tidak tercapai atau bahkan yang terjadi sebaliknya, misalnya usahanya malah bangkrut, rezekinya menjadi seret, atau karirnya terhambat, maka ia akan bersedih dan kecewa. Dan bahkan bukan hanya itu, ia akan merasa Allah telah meninggalkannya, Allah telah berlaku tidak adil kepadanya, Allah telah menghukumnya.
Kemudian, alih-alih melakukan introspeksi, ia malah seakan-akan menyalahkan Allah dengan mengatakan, “Apa sih dosa saya?” Jika demikian, ia persis seperti yang digambarkan oleh Allah Swt dalam Al-Quran: Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, “Tuhanku telah memuliakanku.” Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata, “Tuhanku menghinakanku.” (Qs al-Fajr: 15-16)
Janganlah kita termasuk dua kelompok pertama di atas dalam beribadah kepada Allah, tetapi jadilah termasuk dalam kelompok yang ketiga, yaitu kelompok orang-orang merdeka yang mengabdi sepenuhnya kepada Allah karena dilandasi cinta kepada-Nya.
Lalu pertanyaannya, seperti apakah ibadah yang dilandasi cinta? Atau mungkin kita harus pertanyakan dulu apa cinta itu. Kata vokalis de Baginda’s, cinta adalah ce i en te a. Tetapi kata pepatah Perancis: L‘amour n’est pas parce que mais malgre (cinta bukanlah karena tetapi walaupun). Artinya, cinta yang sejati itu bukan yang dilandasi ‘karena’ tetapi yang didasari ‘walaupun’.
Masih bingung? Baiklah…
Maksud dari pepatah dalam bahasa Perancis itu, kalau seseorang mencintai orang lain karena kebaikannya, karena kecantikannya, karena ketampanannya, karena kedermawanannya, karena kesetiaannya, maka percayalah.. itu bukan cinta sejati. Pasalnya, kalau sifat-sifat yang baik-baik itu kemudian hilang dari orang itu maka apakah masih akan ada cinta itu dalam hati kepada orang tersebut?
Jadi, cinta itu harus dengan walaupun. Kalau seorang suami mencintai istrinya walaupun tidak cantik dan cerewet pula, atau istri mencintai suaminya walaupun tidak tampan, pengangguran, dan pemalas, maka itulah cinta sejati.
Lalu, apa hubungannya cinta ini dengan ibadah kepada Allah?
Kita harus beribadah kepada Allah dengan dilandasi cinta dalam arti walaupun, bukan karena. Artinya kita beribadah kepada Allah bukan ‘karena’ kita telah diberi-Nya rezeki, kenikmatan, dan berbagai anugerah, atau ‘karena’ kita takut akan azab dan siksa-Nya. Tetapi kita harus beribadah kepada Allah ‘walaupun’ mungkin Allah akan menguji kita dengan kelaparan, paceklik, kesulitan, musibah, dan sebagainya seperti disebutkan dalam Al-Quran: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Qs al-Baqarah: 155)
Janganlah kita mengira bahwa dengan rajin beribadah kepada Allah lalu hidup kita akan aman-aman saja, selalu dalam keadaan baik-baik saja, tidak pernah mendapat musibah, selalu mendapat pertolongan, dan sebagainya. Justru sebaliknya, kalau hidup kita seperti itu sementara kita rajin beribadah maka kita harus mengevaluasi ibadah kita itu. Jangan-jangan ada yang keliru dalam ibadah kita. Apa pasal? Karena dengan rajin beribadah maka Allah akan menguji ketulusan ibadah kita kepada-Nya. Allah akan menguji seberapa besar keimanan kita. Itulah sebabnya dalam Al-Quran disebutkan: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi? (Qs al-‘Ankabut: 2)
Wallâhu a‘lam bish-shawâb.[]
Sorry, the comment form is closed at this time.
DNR
Nice, pak Ustadz.