Hutan Pinus Mangunan, Hutan Pinus Istimewa
Sudah lama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dikenal sebagai salah satu tujuan wisata unggulan di Indonesia. Sejumlah destinasi wisata, sebut saja Malioboro, Keraton, Taman Sari, Candi Prambanan, hingga Pantai Parangtritis di selatan, bahkan sudah menjadi “destinasi wajib” bagi setiap wisatawan. Lantaran dalil demikianlah pada diri saya pribadi sempat terpatri semacam perasaan bersalah bilamana berkunjung ke Yogya, tak mampu menyempatkan diri mendatangi tempat-tempat populer tersebut.
Dan kali ini, perasaan bersalah saya yang entah untuk kali keberapa muncul lagi, mulai dapat teratasi manakala bersama seorang teman, saya berkunjung ke kawasan hutan pinus di Mangunan.
Hutan Pinus Mangunan merupakan destinasi wisata yang mulai ramai dikunjungi wisatawan sejak tahun 2014 ini terletak di Desa Mangunan, Kecamatan Delingo, Kabupaten Bantul. Bertolak dari Sewon, Bantul, Hutan Pinus dapat dicapai dalam waktu kurang dari 30 menit dengan sepeda motor.
Pada mulanya, berkunjung ke Mangunan bukanlah hal yang terlalu menarik bagi saya pribadi. Datang dari daerah Priangan, sebetulnya saya lebih tertarik—sekaligus tertantang—untuk mendatangi goa-goa dengan atraksi wisata sungai bawah tanahnya, atau menyusuri pesisir demi pesisir dengan lanskap bongkahan karang membentenginya. Dua karakter destinasi wisata semacam itulah yang konon sedang hits di Yogya.
Tapi tak jadi soal. Sepanjang jalan menuju Mangunan, pemandangan suasana desa dan pesawahan, lengkap dengan deretan pohon-pohon besar di kiri-kanan jalan, cukup memberi pertanda bahwa pelesir saya kali ini tak akan kalah mengasyikkan. Dan ya, benar saja. Saat sampai di tujuan, suasana Hutan Pinus Mangunan terasa benar-benar menentramkan.
Di mana pun, hutan pinus memang diberkati suasana demikian. Teduh dan menenangkan. Selama tujuh tahun tinggal di Bandung, beberapa kawasan hutan pinus pernah saya datangi. Semuanya sama saja, nyaris tak ada perbedaan mencolok antara satu hutan pinus dengan hutan pinus lainnya. Tapi, saat pertama kali menginjakkan kaki di Hutan Pinus Mangunan, ada hal lain yang rasanya belum pernah saya dapati sebelumnya: deretan warung-warung semi permanen berjajar rapi, lahan parkir cukup luas terlihat bersih, sekelompok warga setempat (tanpa atribut atau seragam dinas tertentu) berkumpul, lalu dengan hangat salah seorang di antara mereka menyodorkan karcis masuk, “Tiga ribu rupiah, Mas. Buat dua orang”.
Saya cukup kaget mendapati biaya masuk untuk sebuah tempat wisata hanya tiga ribu rupiah (plus parkir juga lho). Bersih. Tanpa pungutan ini-itu lagi. Memang, saat memasuki area Hutan Pinus, lebih-lebih di sekitar Menara Pandang (atau Rumah Pohon), tersedia beberapa kotak amal—dimaksudkan untuk biaya pemeliharaan. Itu pun bersifat sukarela, tanpa paksaan atau ketentuan harus membayar yang sifatnya “diresmi-resmikan”.
Saat saya bertanya pada salah seorang warga, keterpesonaan saya akan Hutan Pinus Mangunan bertambah lebih dalam lagi. “Semua ini dikelola masyarakat, Mas. Oleh Mpokdarwis”. Pikir saya, hebat juga Pokdarwis ini. Tanpa investor sekalipun, destinasi wisata ini telah terkelola dengan cukup baik.
Pokdarwis adalah akronim dari Kelompok Sadar Wisata. Di tempat lain, istilah yang lebih populer dan resmi adalah Kompepar, Kelompok Penggerak Pariwisata (umumnya dibentuk atas rekomendasi pemerintah, dimaksudkan sebagai mitra kerja mereka dalam mengembangkan potensi wisata daerah).
Selain membangun Rumah Pohon, membuat bangku-bangku dari batang pohon dibentangkan, menyediakan tempat sampah bahkan asbak di area Hutan Pinus, masyarakat yang tergabung dalam Pokdarwis Pinus Sari tersebut secara perlahan mulai membenahi fasilitas pendukung destinasi wisata yang utama, seperti toilet dan mushala. “Air untuk toilet kami beli sendiri, diangkut pakai mobil tangki milik Perhutani, uangnya dari kotak amal-kotak amal itu,” ujar Slamet, salah seorang aktivis Pokdarwis.
“Setelah ada aktivitas pariwisata, alhamdulillah masyarakat di sini bisa hidup. Warung-warung sepanjang jalan menuju tempat ini mulai ramai (laku), begitu juga pedagang bensin eceran, bengkel, dan tukang tambal ban, ” Natijan, adik Slamet, menambahkan.
Menanggapi pernyataan menggembirakan semacam itu, iseng saya bertanya. “Apa yang sudah dikasih pemerintah?”
“Pemerintah? Itu lho, ngasih motivasi! Hehe,” timpal Natijan.
“Tapi kemarin-kemarin sudah ada kesepakatan dengan pemerintah. Ke depan, area ini mau dijadikan destinasi wisata resmi provinsi. Sampai saat ini kan baru begini-begini saja. Semuanya swadaya. Nantinya, keuntungan dibagi: 60% buat kami, 40% buat pemerintah. Tapi pembangunan infrastuktur jadi tanggungan mereka. Bikin camping ground-lah, sarana outbound–lah, semuanya ditanggung pemerintah,” tambah Natijan.
Bila keterlibatan pemerintah ke depannya terlaksana, sudah semestinya hal demikian menunjang dan mendukung prinsip pariwisata berbasis masyarakat yang dikemukakan Haussler dan Strasdas (2003): manfaat terbesar harus dinikmati masyarakat, menciptakan unsur edukasi bagi masyarakat maupun pengunjung mengenai pentingnya perlindungan terhadap alam dan budaya.
Sebetulnya, tak banyak yang dapat dilakukan wisatawan di Hutan Pinus Mangunan. Umumnya, wisatawan berkunjung ke sini untuk berfoto sekaligus menikmati pemandangan dan udara segar. Tapi, bukankah kecenderungan wisatawan sekarang berkunjung ke suatu destinasi memang tak lebih untuk sekadar berfoto? Tak lebih demi menikmati pemandangan alam, mencari udara segar, menepi dari hiruk-pikuknya kehidupan kota yang menyesakkan?
Pengelola Hutan Pinus Mangunan menyiasati kebutuhan wisatawan tersebut dengan membangun tiga Menara Pandang. Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Menara Pandang pertama paling pendek tingginya. Kurang lebih 3 meter dari permukaan tanah. Wisatawan menaiki Menara Pandang ini lantas berfoto dengan latar deretan pohon pinus di belakangnya. Menara Pandang kedua tingginya sekitar 6-7 meter. Untuk sampai di menara ini, wisatawan mesti melewati jembatan kayu terlebih dulu. Spot jembatan kayu ini cukup menarik juga untuk dijadikan objek foto.
Berbeda dengan dua Menara Pandang lainnya, pada menara kedua ini terdapat bangku yang memungkinkan wisatawan dapat duduk-duduk menikmati suasana dengan lebih aman dan nyaman. Sementara Menara Pandang ketiga, Menara Pandang paling tinggi, terdiri atas dua Menara Pandang bertingkat. Puncaknya berada di ketinggian sekitar 10 meter dari permukaan tanah. Bila angin berembus agak kencang, cukup mendebarkan merasakan Menara Pandang ini berderak dan bergoyang.
Saat hendak menaiki Menara Pandang paling tinggi, saya bertanya pada seorang turis asing yang baru turun dari sana. “What do you feel there?” “Amazing! Too Amazing! The view is really different!” “Really? Where are you from? “Really! I’m from Singapore”. Pendapat turis asing itu benar. Saat sampai di pucuk Menara Pandang, saya saksikan barisan pucuk pohon cemara, bukit demi bukit bertumpuk di kejauhan, di atasnya membentang langit sore biru-merah keemasan. Nyaris seperti lukisan.
Dibanding destinasi wisata sejenis di Yogya (yang mengandalkan Menara Pandang atau Rumah Pohon sebagai atraksi wisata utamanya) kelebihan Hutan Pinus Mangunan terletak pada tersedianya beragam pemandangan atau lanskap alam untuk dijadikan latar foto. Sejumlah pasangan mengabadikan lanskap-lanskap tersebut untuk pre-wedding. Untuk keperluan tersebut, mereka harus membayar lebih ketimbang biaya yang dikeluarkan wisatawan lainnya, yakni 50 ribu rupiah.
“Setelah Lebaran kemarin ada yang nikah di sini, Mas. Dekorasinya alami, pohon-pohon pinus ini. Saya aja yang gak kenal sama pengantin, ikut salaman dan ngucapin selamat,” tutur Slamet, sebelum saya pamit pulang. Wajahnya hangat dan sumringah, mungkin mirip suasana hati saya dan wisatawan lainnya.
Secara umum, sangat menyenangkan berkunjung ke Hutan Pinus Mangunan. Di luar suasana yang menenteramkan, udara sejuk segar, spot foto yang beragam dan menakjubkan; kegembiraan dan antusiasme masyarakat menyambut aktivitas pariwisata menjadi nilai lebih bagi saya pribadi. Kalaupun ada hal yang mesti disesalkan, ialah bahwa saya berkunjung ke sana tanpa didampingi seorang pun perempuan![]
Sorry, the comment form is closed at this time.
oechan
saya tergelitik dengan tulisan ini :
[b]Menanggapi pernyataan menggembirakan semacam itu, iseng saya bertanya. “Apa yang sudah dikasih pemerintah?”
“Pemerintah? Itu lho, ngasih motivasi! Hehe,” timpal Natijan.[/b]
ah yang bener mas? hehehe..
bukannya hutan pinus itu kawasan hutan negara yg dikelola oleh pemerintah daerah? yang nanam pohon pinusnya juga pemerintah daerah..