Humor dan Silang Budaya
Sebuah kisah menarik dibaca, ketika disampaikan dengan santai. Tidak membuat jelimet, namun penuh kejujuran dan kesederhaan. Salah-salah, tidak apik menuturkan akan terjebak ke dalam “narsis” dan si pembaca merasa enggan untuk menuntaskan kisah tersebut. Apalagi tentang kehidupan sehari-hari, yang banyak orang mengalaminya. Jangan salah, ketika seseorang bertanya, “apa menariknya kisah ini aku baca?”.
Oleh karena itu kekuatan sebuah tulisan dapat ditentukan dengan cara penuturan yang jujur sekaligus jenaka. Kaitannya dengan itu, Sigit Susanto dengan buku terbarunya berjudul Kesentrum Cinta: Kisah Jenaka Perkawinan Pria Jawa dan Perempuan Swiss menyajikan kisahan yang segar. Buku ini diterbitkan Buku Mojok setebal 264 halaman. Selain mudah dicerna, Sigit menyajikan kisah keseharian yang penting untuk mengetahui antropologi-sosial dan cara berpikir antara Timur (Indonesia) dan Barat (Swiss).
Sigit menyebutkan bahwa energi baru dalam mengelola perbedaan budaya itu dijembatani oleh humor bahkan kejenakaan yang tak terduga. Seringkali, ia merasa tegang bersama istrinya yang berbeda identitas kultural, namun akan mejadi kelucuan sebagai pelumas. Ia melanjutkan bahwa kelebihan pasangan berbeda budaya itu masing-masing bisa saling mengkiritik kekurangan dan mensyukuri kelebihan.
Sebenarnya, kisah Sigit Susanto akan sama dialami oleh seorang pria lain. Ketika menikah dengan perempuan berbeda negara. Pastilah akan banyak kejadian aneh, unik, dan tak terduga. Terutama soal bahasa dan kebudayaan. Tapi, sejauh membaca kisahan dalam bukunya itu, saya yakin energi kejujuran dalam mengungkapkan sangat kentara. Padahal, keseluruhan kisah ini boleh disebut dapur pribadi rumah tangganya bersama istrinya.
Boleh dikatakan, Sigit Susanto tak pernah berniat melahirkan buku Kesentrum Cinta. Sejak perkawinannya bersama Claudia, perempuan Swiss itu, banyak kisah keseharian pertemuan budaya yang sugguh jenaka. Dari mulai pernikahan sampai peristiwa kecil pelancongan mereka ke tempat wisata baik di Indonesia maupun di Swiss.
Sigit dan Claudia memutuskan menikah setelah mereka bertemu di Bali. Pekerjaanya sebagai pemandu wisata sementara Claudia sebagai turis mempertemukannya sampai hidup bertahun untuk bersama. Mereka bertemu di Pulau Dewata kemudian melangsungkan pernikahan di Kendal, Semarang, kediaman Sigit. Sejak mula pernikahan berlangsung, peristiwa jenaka mereka rasakan. Misalnya, ketika Claudia disuruh mengeja namanya dengan bahasa Jawa sampai-sampai warga sekampung ngantri untuk bersalaman. Dengan kata lain, identitas kultural menuai perjumpaannya dengan jenaka: Antara Timur (Indonesia) dan Barat (Swiss). Benar bila Sigit Susanto mengatakan bahwa kalau ingin belajar budaya tidak melulu dalam teori, harus secara nyata.
Menimang hewan
Ketika Sigit Susanto bertanya kepada Claudia tentang kesan terbaik selama di Indonesia, boleh dikatakan jawabannya cukup menggelitik. Ia menyebut menimbang anak kambing dan itik adalah kesan terindah. Sigit menilai itu di luar dugaan. Ya, boleh jadi karena ruang lingkup identitas kultural sangat bereda antara kultur Asia dan Eropa.
Bisa disebutkan peristiwa gegar budaya terjadi kepada Sigit dan Claudia. Perbedaan aspek budaya—termasuk cara berpikir. Kaitannya dengan itu, terlihat dalam cara pandang ala Eropa tentang hak perempuan. Claudia merasa aneh dalam pembagian warisan di Indonesia. Pihak perempuan hanya dapat seperdelapan, namun lelaki mendapat bagian paling besar.
“Mungkin orang asing yang menikah dengan pribumi Muslim akan mengalami kesulitan jika sudah bicara masalah hak warisan antara lelaki dan perempuan. Emansipasi perempuan di negeri maju sudah sangat baik. Kesetaraan gender menjadi napas yang terus diperjuangkan dari waktu ke waktu. Asas egaliter itulah yang bisa diharapkan bisa memengaruhi adat yang berasal dari kebijakan lokal maupun agama formal” (hlm 41).
Sebelumnya, kesetaraan ikhwal perempuan dan laki-laki pernah dibicarakan Claudia. Dalam sebuah acara pesta perkawinan, ia menjadi penerima tamu. Ia bilang ke Sigit bahwa pengantin perempuan berlutut di depan laki-laki sambil mencium tangan pengantinnya. Claudia bilang itu tidak adil. Baginya, sikap itu tidak mencerminkan semangat keadilan dan asas egalitarian.
“Aku coba tenangkan Claudia dengan mengatakan bahwa dirinya berasal dari budaya yang emansipasi terhadap perempuannya cukup tinggi. Di Indonesia, budaya patriarki terhadap perempuan masih dominan. Selain keramahan orang Indonesia yang ia sangat hormati, perlahan-lahan ia mulai tahu borok-borok. Untuk itu, kalau ingin mengenal budaya Indonesia jangan dari buku saja. Menyaksikan kehidupan sehari-hari dan ritual-ritual tertentu sangat bermanfaat.” (hlm 36).
Sigit mengatakan demikian sungguh menarik. Selama ini, kecenderungan orang Barat membaca Indonesia dari buku, tidak langsung pergi ke lapangan secara mendetail. Bagi sebagian peneliti sosial-antropologi itu sangat penting dilakukan. Tidak salah pula, jika para peneliti itu langsung terjun ke lapangan terutama etnografi dengan mengusung metode parisipatoris.
Selain kisah penuh kejenakaan, buku ini dapat menjadi panduan penting mengenal croos culture understanding antara Indonesia dan Swiss. Sebab, cuplikan Sigit ketika berada di Swiss pun disertakan untuk menambah kekayaan pembaca. Sejak 1996, ia bersama Claudia Beck-Susanto tinggal di dekat danau Zug, Swiss.
Dengan kisahan yang detail, buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang tertarik dengan silang budaya. Tidak hanya para mahasiswa, namun para turis yang hendak mengenal Indonesia juga Swiss perlu menikmati setiap detail ceritanya. Meskipun bukan berdasarkan kronologi tahun, buku ini disusun atas ingatan Sigit ketika bersama istrinya itu.[]