Hudaya
Siang di Universitas Caringas. Hudaya berhadapan dengan Surya yang wajahnya tampak lebih terang dari matahari. Hudaya beberapa kali menunduk. Bukan takut. Cahaya matahari masuk ke ruangan menimpa kacamata Surya lalu menyilaukan pandangan Hudaya.
“Berapa banyak tinja yang dihasilkan oleh warga Caringas setiap paginya?” ujar Surya yang notabene adalah salah seorang dosen muda. Konon, berdasarkan cerita dosen dan mahasiswa lain, karir akademik Surya cerah seperti makna namanya.
Mahasiswa lain yang hendak pulang tertahan mendengar pertanyaan itu. Beberapa dari mereka juga menahan tawa.
“Dan berapa banyak warga Caringas yang tidak cebok setiap mereka berak pagi karena persediaan airnya habis setelah PDAM mematikan aliran air ke rumah-rumah warga Caringas?” lanjutnya.
Pertanyaan itu menohok Hudaya. Ia yang awalnya hendak konsultasi perihal skripsi malah diberikan pertanyaan aneh semacam itu. Ia sadar semasa kuliah, ia badung dan bertindak semaunya.
Tidak jarang, Surya jadi sasaran Hudaya untuk semua tindak-tanduknya. Tentu akan selalu Surya ingat saat Hudaya menyebutnya Kappa.
Kini, Hudaya sudah siap dengan segala kesulitan agar lulus kuliah mengingat masa studi kian menghimpit. Tapi, ia tidak pernah membayangkan pertanyaan seperti itu.
“Penelitian yang mudah adalah hal-hal yang dekat dengan keseharian. Biasanya model penelitian seperti itu bisa cepat selesai,” pernyataan Surya ada benarnya. Membuktikan betapa cemerlang karir akademiknya. Tapi, Hudaya, kadung punya pemikiran lain.
“Cepat atau lambat permasalahan tinja akan menjadi permasalahan serius jika tidak ditangani dengan baik. Dan ini momentum yang bagus untuk memulai penelitian yang futuristis,”
Terserah kau, Kappa! gerutu Hudaya.
Surya lalu menceritakan Catherine Duff, seorang warga Indiana, Amerika Serikat. Perempuan itu harus mengonsumsi tinja suaminya setelah bakteri clostridium difficile menyerangnya enam kali dalam kurun waktu enam tahun. Ia didera diare parah sehingga ia harus menjalani pengobatan transplantasi tinjaˡ.
“Ada juga para peneliti International Water Management Institute Srilanka, Universitas Bochum dan Bonn Jerman telah berhasil mengolah kotoran manusia dan sampah organik menjadi pupuk organik²,” tambahnya.
Hanya orang sembrono yang mengonsumsi tinja sekalipun itu tinja orang yang paling dicintainya, pikir Hudaya. Wajahnya memerah dan tampak ingin meludahi muka dosennya.
“Bapak suruh saya makan tinja? Begitu?”
“Jangan terlalu jijik begitu. Lagian saya tidak menyuruhmu memakan tinja, hanya melakukan penelitian.”
“Tapi kenapa harus tinja?”
“Persis, pertanyaan itulah yang kamu harus jawab dalam penelitian.” Surya melenggang keluar kelas setelah cukup membuat Hudaya jengkel.
***
Hudaya tinggal di wilayah kontrakan kumuh. Usai berbincang dengan Surya, Hudaya jadi peka terhadap bau tinja busuk dari selokan yang tersendat tidak jauh dari kontrakannya. Ia ingin pindah, tapi harga sewanya murah dan jaraknya sangat dekat ke kampus.
Hari itu saat ia berbaring dan masih memikirkan tinja. Sejurus kemudian, ia terperanjat. “Eureka,” ucapnya.
Besoknya, Hudaya menghadap Surya. Ia sodorkan rencana penelitian yang telah diolahnya semalam suntuk.
“Saya akan mengajukan penelitian ini untuk mata kuliah metode penelitian dulu, pak,” Hudaya menjelaskan duduk perkara penelitiannya dengan sangat yakin.
“Apa kamu yakin?”
“Tentu,” balasnya.
Lalu ia mulai menjelaskan rancangan penelitiannya. Ia akan menguji efektivitas penggunaan bahan bakar tinja untuk menekan ongkos hidup rumah tangga Kampung Rugat, kampung kelahirannya. Menurut keterangannya, di sana telah memiliki fasilitas bahan bakar tinja.
“Sebagai bonus, saya akan membawakan hasil penggorengan bahan bakar tinja ke dalam kelas. Bapak dan teman-teman bisa mencicipi olahannya sepuasnya.”
***
Seminggu setelah pengajuan penelitian itu, Hudaya hadir di kelas dengan membawa satu boks gehu lengkap dengan cabai rawitnya. Khusus untuk Surya, Hudaya telah menyisihkan dua buah gehu spesial.
Di hadapan teman-temannya, Hudaya menjelaskan bahwa rupa gehu hasil penggorengan dengan bahan bakar minyak tanah, gas, dan tinja tidak ada bedanya.
Saat teman-temannya mulai menyantap gehu, Hudaya menyodorkan dua gehu spesial itu pada Surya. Tanpa bertanya, Surya langsung mencabik pinggiran gehu yang renyah dengan giginya yang besar.
Tepat pada cabikkan ketiga, Surya mulai merasakan hal aneh pada lidahnya. Tangannya gemetar. Dibukanya pelan gehu itu, ia pun murka.
“Brengsek kau, Day, brengsek”, sembari melemparkan gehu dan memuntahkan kunyahannya.
“Bagaimana pak, enak?”
“Mengapa kau isikan tinja ke dalam gehu pedas ini? Apa kau sedang berusaha membunuhku?”
“Oh, kalau bapak mencontohkan seseorang sembuh dari diare karena tinja, bapak harusnya percaya kalau tinja di dalam gehu itu bisa jadi obat penyembuh.”
Mendengar itu, Surya bangkit dan melepas tamparan tapi Hudaya mampu berkelit.
Sambil menyeringai Hudaya bertanya. “Apa tinja orang Amerika rasanya lebih baik dari tinja orang Kampung Rugat?”
ˡInformasi ini diperoleh dari berita yang dilansir bbc Indonesia pada tanggal 27 Mei 2014 dengan judul “Transplantasi tinja sebagai pengobatan”
²https://beritatagar.id/Mahasiswa Indonesia ikut andil dalam pengolahan tinja Manusia