Fb. In. Tw.

Hikayat Peminum Kopi

Sudah menjadi tabiat Hamzah setelah menenggak kopi pahit lalu membual kesusahan hidupnya. Hamzah selalu merasa hidupnya lara. Tjahyo keparat. Suti yang tak pernah mengasihinya. Dan seperti yang sudah-sudah, dirinya mengeluh mengapa mesti lahir dari lubang perempuan itu.

Hamzah adalah temannya temanku yang menceritakan semua itu padaku. Tentu saja bukan kali pertama dan terakhir, temanku itu bercerita tentang temannya yang bernama Hamzah. Sampai sini kuharap kau perlu paham, aku mengenal Hamzah semata-mata dari cerita temanku itu.

Cerita mengenai kebencian Hamzah terhadap kedua orang tuanya itu diceritakan Hamzah kepada temanku di warung kopi dekat stasiun Bojonggede. Hari itu temanku sedang menyulut kretek sewaktu Hamzah datang dan langsung memesan segelas kopi hitam. Mak Ikem, pemilik warung kopi, lekas menyeduhkan kopi dengan mimik sebal lantaran tahu Hamzah cuma menimbun bon utangnya.

“Tak usah kasih gula.” Hamzah mengingatkan Mak Ikem.

Begitu Mak Ikem menyodorkan gelas beling murahan, Hamzah lekas menyiram mulutnya dengan kopi hitam panas.

“Waduh. Lidahmu itu terbuat dari apa toh,” ujar Mak Ikem keheranan.

Hamzah diam saja tak menggubris. Dan tepat pada saat itulah, kata temanku, Hamzah memicingkan mata ke arahnya.

“Rokok, bang?” sejurus itu temanku menawari Hamzah.

“Boleh lah.”

Mula-mula Hamzah berterima kasih lantaran membagi kretek padanya. Selepas itu, Hamzah membual tak habis-habis macam orang sakau. Dari soal selera rokok, film India Ek Ladka Ek Ladki yang tak bosan-bosan ia tonton, serta dada pemilik warung kelontong di seberang jalan yang sekecil tutup gelas kopinya. Sampai akhirnya, ia pun mulai bercerita tentang Suti.

Hamzah bilang kepada temanku, sebelum ke warung kopi ia tanpa sengaja bertemu Suti di jalan dekat kampungnya, Kedung Waringin. Tetapi ia hanya melengos sewaktu Suti meneriakinya. Katanya, dalam hati ia memaki-maki perempuan itu. Berdoa agar nasib buruk lekas menimpanya.

“Sumpah, sampai mati pun aku benci perempuan itu!” ujar temanku menirukan Hamzah. Katanya, ia benci Suti bukan semata karena dulu sering pelit memberinya duit. Tapi lantaran sejak kecil tak pernah membelanya dari si Tjahyo.

Ketika itu, Hamzah yang masih kanak-kanak ketahuan mencuri duit Tjahyo buat judi sabung ayam. Tjahyo murka dan menghajarnya habis-habisan. Pertama-tama tamparan, lalu pukulan, dan terakhir tendangan. Sekujur tubuhnya lebam. Hamzah diam tak mengeluh.

Ia berharap Suti akan memohon untuknya. Tapi pertolongan itu tak datang. Tjahyo baru berhenti setelah akhirnya ia menangis ketakutan akan mati hari itu.

“Suti kawin dengan lelaki itu setelah aku lahir,” ujar Hamzah sambil meneguk kopi keduanya. “Aku tak pernah tahu siapa laki-laki yang membuntingi Suti,” katanya lagi.

Semenjak hari itu, temanku kerap bertemu Hamzah di warung kopi Mak Ikem. Setiap bertemu, obrolan Hamzah berkisar kisah-kisah masa lalunya, dan sesekali bercerita film-film India kesukaannya. Lama-lama temanku sadar, Hamzah hanya lelaki menyedihkan yang amat kesepian. Hamzah bercerita sambil tertawa-tawa tak karuan, meski ia tak dapat menyembunyikan lara di mata kirinya yang setengah rabun dari lahir itu.

“Kau tahu, aku benci sekali perempuan seperti ibuku. Mereka lemah,” kata Hamzah sambil batuk-batuk. Sudah lama batuknya itu tak kunjung sembuh.

Kepada temanku, Hamzah berkata ia merasa patah hati dengan semua perempuan. Sejak suatu hari ia diusir orangtua Maya, gadis yang ia lamar, karena dianggap melarat tanpa harapan. Ia merasa habis kewarasannya dan mulai sering mangkal di warung kopi Mak Ikem. Ia lalu dikenal di Kedung Waringin sebagai lelaki peminum kopi.

Sambil kadang main catur, ia selalu mangkal di warung kopi, sampai kemudian ia memilih jalan menjadi kawanan begal. Secara kebetulan, ia diselamatkan oleh seseorang bernama Sapto Warsito tatkala dikejar orang-orang sehabis ketahuan mencuri jemuran. Merasa berutang budi, ia manut saat diajak Sapto Warsito menyatroni truk di sepanjang jalanan kota-kota pantai utara.

Pekerjaan yang menurutnya cuma buat membuang patah hati dan mengusir kebosanan hidup itu ternyata tak bertahan lama. Tujuh bulan kemudian, ia tertangkap. Ia merasa dijadikan umpan oleh Sapto Warsito dan kawanannya sewaktu melancarkan aksi di Sukamandi, Indramayu. Ia masuk bui, setelah kaki kirinya tertembak aparat saat penangkapan. Ia masih beruntung tidak ditembak mati dan dibuang ke laut.

“Aku dungu pula. Mata kiriku yang rabun ini enggak cocok jadi begal,” kata Hamzah berkelakar.

Setelah ia keluar dari bui. Ia memilih luntang-lantung di dekat gedung bioskop di mana dulu ia bertemu Maya. Bioskop itu ternyata sudah tutup karena dibakar massa. Ia menghabiskan bermalam-malam di emperan pertokoan Margonda, dan membuatnya dianggap orang gila. Ia berharap takdir mempertemukannya dengan Maya.

Setelah tiga minggu hidup mengenaskan, akhirnya Hamzah kembali ke Kedung Waringin dengan hati remuk. Ia enggan pulang ke rumah kalau bukan karena lapar dan kantongnya kosong. Kedatangannya disambut Ayah tirinya dengan tamparan dan sumpah serapah. Dan seperti yang sudah-sudah, Suti hanya diam saja melihatnya.

Hamzah tak betah di rumah neraka itu. Ia tak pernah kembali.

Setiap mengenang masa lalunya itu Hamzah bercerita dengan penuh semangat walau sambil batuk-batuk. Lantaran begitu seringnya, Hamzah tak menyadari telah menceritakan kisah yang sama berulang-ulang. Tetapi temanku bilang, ia tak sampai hati untuk mengatakannya.

“Nasib sudah ada yang bikin. Seperti kopi ini, heh?“ ujar Hamzah, lalu menyeruput kopi hitamnya. Itu adalah gelas kopi ketiganya.

“Sekalipun kita tahu rasanya pahit, tololnya kita teguk saja terus. Sampai ampas-ampasnya!”

Temanku itu tak paham, tapi ikut tertawa melihat Hamzah cengengesan. Ia berusaha meladeni. Temanku bilang tak akan lupa, ia melihat wajah Hamzah yang gosong dibakar matahari itu tampak begitu sumringah. Ia menemani Hamzah berkelakar film-film India hingga larut, dan entah berapa gelas kopi yang Hamzah habiskan malam itu. Sampai Hamzah terbatuk-batuk seperti begitu kelelahan, mengeluh dadanya nyeri, dan ambruk tak pernah bangun lagi.

Temanku itu datang ke penguburannya yang sepi. Ia tak pernah mengira malam itu Hamzah akan mati di bahunya. Beberapa orang di belakangnya berbisik-bisik, ada yang bilang soal angin duduk, ada yang bilang kebanyakan rokok dan minum kopi. Temanku bilang, jantungnya berdesir, lalu teringat kata-kata Hamzah, “Nasib sudah ada yang bikin. Seperti kopi.” Ia pun lalu merapal doa. Sampai saat ia hendak pulang, seorang perempuan tua masih tak henti-henti menangis di kuburan Hamzah.

Setelah kematian Hamzah, temanku bilang ia tak lagi berselera minum kopi. Ia pun tak pernah lagi datang ke warung kopi Mak Ikem.

KOMENTAR
Post tags:

Penulis dan pengajar. Menulis cerita, esai dan ulasan. Ia bekerja dan tinggal di Jakarta.

You don't have permission to register