Fb. In. Tw.

Hidup Tetap Berjalan, Sementara Ketidakpastian Mengintai dan Kecemasan Terus Membuntuti Kita

Sebelum tulisan ini dimulai, kita tentu telah dikepung oleh begitu banyak kabar tentang kerentanan dan kesedihan dari kawan terdekat kita terkait permasalahan ekonomi yang mereka alami. Kita pun tentu demikian. Bersiasat adalah upaya yang coba kita tempuh agar dapat bertahan hidup di sebuah negara yang alih-alih melahirkan kebahagiaan, justru sebagian besarnya memberikan kecemasan.

Uang, selembar kertas yang mudah sobek itu, adalah ambisi sekaligus kehancuran kita. Tak sedikit orang menjangkarkan orientasi hidupnya pada benda tersebut. Uang, selembar kertas yang mudah lapuk itu, mengerucutkan hampir segala permasalahan dalam koridor kehidupan kita. Ia melahirkan keterpukauan di mata kita, tetapi membutakan di lain waktu. Ia tak bernyawa, tetapi dalam banyak kasus, ia dapat menjadi penyebab nyawa seseorang terenggut. Pada akhirnya, selembar kertas yang mudah sobek dan lapuk itu menjadi biang dari kecemasan keseharian kita. Namun, apa daya kita tanpanya di saat menjalani hidup sebagai manusia urban?

hidup tetap berjalan dan kita telah lupa alasannya—judul buku yang ditulis dalam huruf kecil—hadir di tengah-tengah kebertahanan kita dalam menjalani hidup. Sekali lagi, walau pertanyaan ini sudah terlalu sering dilemparkan dalam berbagai tempat dan masa, di tengah-tengah kecemasan kita menghadapi situasi yang rentan, apa yang puisi dapat tawarkan? Dampak langsung yang dapat membuat kita dari miskin lalu tiba-tiba menjadi kaya setelah membaca sebuah puisi, tentu tidak. Setiap orang memiliki jawabannya masing-masing. Apabila sebuah buku puisi yang telah kita tukarkan menggunakan uang ternyata tak memuaskan hasrat kita, itu artinya kita masih sangat perlu mempertimbangkan ulang pertanyaan tersebut. Dalam hal ini, transaksi menggunakan penukaran uang bernilai untung-rugi; untung sebagai pembaca, rugi sebagai pembaca. Apakah buku ini memberikan keuntungan atau kerugian pada saya?

Saya membaca buku ini sebanyak dua kali. Pembacaan pertama tentu seperti kebanyakan pembaca, saya membacanya dalam keadaan naif, penuh pukau dalam setiap membaca puisi, seperti kilau mata seorang anak melihat toko es krim atau mainan setelah lelah diajak berjalan oleh orangtuanya. Pembacaan kedua saya masuk dalam tahap—meminjam istilah Roland Barthes—kesenangan teks, untuk menyigi lorong-lorong struktur teks dalam mencari makna, walau tentu tafsir-yang-mungkin tidak sepenuhnya dapat menjangkau makna secara utuh. Oleh karena itu, setelah mengalami pembacaan kedua, saya ingin mengatakan—sebagai seorang pembaca yang rewel—bahwa saya lebih senang apabila buku ini berjudul “belajar ekonomi di kelas menulis kreatif”. Dari puisi tersebut, saya melihat percabangan-kemungkinan dalam persoalan ekonomi yang coba ditunjukkan kemudian sebagai perkara-perkara dalam puisi lainnya.

Puisi dengan judul belajar ekonomi di kelas menulis kreatif menyajikan empat bait melalui subjek yang mencoba menghadirkan definisi ekonomi melalui repetisi-repetisi figuratif. Mari kita simak salah satu bait berikut:

ekonomi saya kerangka cerita yang tidak pernah selesai dirangkai nasib
dan senantiasa dipermainkan takdir. ekonomi saya menggugat tom yang terus
memburu jerry sepanjang hidup mereka. ekonomi saya turut berduka kepada
jon snow yang menikam daenerys targaryen di hadapan the iron throne.
ekonomi saya lebih mudah membayangkan akhir dunia daripada akhir kapitalisme.

“Nasib” dan “takdir” adalah ketegangan antara kepastian dan ketidakpastian dalam hidup. Referensi “tom yang terus memburu jerry sepanjang hidup mereka” dapat berasosiasi pada tokoh Sisifus dalam mitologi Yunani yang dihukum oleh Zeus untuk terus-menerus mendorong batu ke atas bukit hanya untuk melihatnya menggelinding kembali, yang kemudian kita lebih mengenalnya sebagai konsep dari absurditas kehidupan manusia melalui Albert Camus dalam risalahnya, Mitos Sisifus. Larik “jon snow yang menikam daenerys targaryen di hadapan the iron throne” mengingatkan kita pada ketakterdugaan adegan tersebut dalam serial Game of Thrones, menunjukkan betapa sistem ekonomi sering kali mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan demi kekuasaan dan dominasi. Dan pada akhirnya, “ekonomi saya lebih mudah membayangkan akhir dunia daripada akhir kapitalisme” yang dicatut dari kutipan Frederic Jameson yang kemudian didaurulang oleh Slavoj Zizek menunjukkan gagasan bahwa kapitalisme telah menjadi sistem dominan yang begitu kuat sehingga, tampaknya abadi dan tak terelakkan. Kita pun mengalami keputusasaan dalam menghadapi dan menjalani sistem tersebut. Namun, kita tak lupa bahwa kita adalah sisifus yang terus-menerus mendorong batu tersebut hanya untuk melihatnya menggelinding ke bawah.

Buku puisi terbaru Ibe S. Palogai ini menyajikan empat puluh puisi yang di dalamnya berkisar antara pergulatan hidup kita sehari-hari—kecemasan finansial, pertanyaan eksistensialis, alienasi masyarakat, ketercerabutan sosial. Disadari atau tidak, kita telah mengalami (atau masih) itu semua. Namun, dalam pembahasan ini, saya hanya akan memfokuskan lensa pembacaan pada persoalan ekonomi yang merupakan kerangka besar dalam buku ini.

Seakan ditujukan pada sebagian besar pembaca muda pengguna teknologi digital, buku ini dibuka dengan puisi berapa harga outfit kamu? oleh subjek yang menjelaskan secara metaforis pakaian yang ia kenakan—penutup kepala, baju, celana, dan sepatu. Pertanyaan pada judul puisi tersebut tentu telah karib kita jumpai apabila kita gemar melintasi beranda TikTok. 

Puisi berapa harga outfit kamu? menampilkan ironi yang melekat pada kehidupan manusia urban, di mana identitas dan status sosial kerap kali diukur melalui harga benda-benda materi. Dalam puisi ini, pakaian bukan sekadar perlambang gaya, melainkan sebuah metafora untuk menggambarkan bagaimana manusia urban dibentuk dan diukur oleh nilai ekonomi yang melekat pada barang-barang yang ia konsumsi. Misalnya dalam larik “penutup kepala saya terbuat dari pertanyaan/ imitasi ketika persahabatan antara permintaan/ dan kelangkaan dipermainkan pasar” menunjukkan bagaimana individu menjadi subjek yang diperjualbelikan dalam pasar ekonomi ketika dunia semakin dikendalikan oleh permintaan dan penawaran. Fenomena pertanyaan atas pakaian yang dikenakan seseorang merupakan salah satu bentuk dari fetisisme komoditas—meminjam istilah Karl Marx—bahwa pakaian tersebut dapat menunjukkan hierarki kelas. Hal ini akhirnya berdampak pada timbulnya tekanan sosial dan kecemasan bagi diri sendiri. 

Bait terakhir dalam puisi tersebut memungkasi jawaban dari subjek yang menjelaskan tentang rancangan sepatunya, “dan sepatu saya dirancang desainer bernama/ john stuart mill pada tahun 1776. setelah sekian/ abad dibungkam bank sentral”, menegaskan bahwa meski gagasan Mill tentang nilai dan kebebasan ekonomi pernah menjadi landasan, realitas kapitalis modern sering kali mengekang dan mereduksi esensi kemanusiaan menjadi sekadar objek pasar. 

Pakaian yang dikenakan oleh seseorang, mulai dari atas sampai bawah, dapat menunjukkan “siapakah ia yang sedang berjalan tersebut”. Roland Barthes dalam The Fashion System telah menegaskan bahwa pakaian bukan sekadar benda fungisonal, tetapi ia adalah sebuah benda kompleks yang meliputi lapisan makna-makna budaya, sosial, dan ideologis. Pakaian bisa dibaca sebagai “teks” yang merepresentasikan identitas, status sosial, dan kekuasaan. Pada titik ini, identitas manusia urban terfragmentasi dan diukur oleh nilai-nilai ekonomi. Ekonomi sebagai nilai atas seseorang pada akhirnya akan menjadi indikator utama dalam melihat bagaimana identitas, status sosial, dan kekuasaan terbentuk pada seseorang.

Dalam puisi lain mantra keuangan, misalnya, kegelisahan dan kontradiksi dalam sistem ekonomi kapitalis global, di mana kehidupan sehari-hari sebagai manusia urban, dari barang-barang yang dikonsumsi hingga pekerjaan yang dilakukan, terhubung dengan mekanisme ekonomi yang tidak hanya mencerminkan eksploitasi, tetapi juga ketidakadilan struktural. Pada bait pembukanya, narator memberikan nasihat kepada subjek dalam puisi tersebut,

jika tidak menemukan cara menghasilkan
uang saat tidur, ucap buffett, kamu akan bekerja
sampai mati.

Subjek, pada bait selanjutnya, yang “mencintai pekerjaan”-nya dengan “alasan yang tidak/ ideologis” akhirnya mengalami perubahaan perasaan atas dirinya,

tidur telah berubah menjadi tragedi, setelah mendengar ucapan itu.

Kemudian subjek “memeriksa kamar dan mencari sejumlah/ barang” yang ia “beli tanpa dipeluk penyesalan”. Di sini kita melihat bagaimana persoalan ekonomi dapat menjadi pemicu pergeseran perasaan yang menjadi kegelisahan. Tidur, aktivitas penting yang perlu kita lalui dalam waktu satu kali dua puluh empat jam, menjadi sesuatu yang terancam oleh gagasan bahwa waktu yang kita gunakan untuk tidur ketika belum menemukan cara untuk menghasilkan uang, akan berdampak pada ketidakproduktifitasan secara finansial. Tidur, aktivitas yang berasosiasi dengan kedamaian, menjadi hal yang ironi dalam tuntutan sebagai manusia urban. Subjek dalam puisi lain pada buku ini akan turut bergumam, “tuhan, apakah/ kamu pernah membuat kami benar-benar tidur?”. Ketidakpastian mengintai dari balik selimut kita dan kecemasan hadir dari bawah bantal untuk menggerayangi kepala kita.

 

Persoalan Ekonomi yang Menimbulkan Ketidakpastian dan Kecemasan
Kehidupan kita sebagai manusia urban sering kali menghadapi fenomena kenaikan harga barang-barang yang secara langsung memengaruhi daya beli. Fenomena ini, yang terlihat sederhana tetapi memberikan dampak besar, mencerminkan ketidakpastian ekonomi yang terus mengguncang kehidupan. Puisi studi tentang efek krisis pisang, misalnya, menggambarkan betapa rapuhnya sistem ekonomi—makro ataupun mikro—yang bisa terguncang oleh perubahan kecil. Dalam puisi ini, “pisang” bukan hanya komoditas pangan biasa, tetapi menjadi simbol dari krisis ekonomi. Larik “ketidaksetaraan upah dan kekuatan/ yang bersembunyi di belakangnya mengotori piring di meja makan/ kita.” menyoroti dampak ketidakadilan ekonomi yang nyata dalam keseharian manusia urban—bukan hanya memengaruhi penghasilan, tetapi juga meresap ke dalam pola konsumsi dan kualitas hidup. Simbolisme “pisang” dalam puisi ini membawa kita pada cara sistem ekonomi bekerja. 

Pisang, sebagai makanan yang umum dan akrab dalam kehidupan sehari-hari, digunakan untuk menyoroti ketidakmampuan masyarakat memahami sepenuhnya bagaimana ketidaksetaraan ekonomi tersembunyi di balik struktur yang tampak stabil. Pisang, seperti kita ketahui, meskipun tampak kuat di luar, memiliki daging buah yang lembut dan mudah rusak di dalamnya. Ini dapat dilihat sebagai simbol ekonomi modern yang tampak stabil di permukaan, tetapi sebenarnya sangat rentan dan mudah terpengaruh oleh krisis yang kecil sekalipun.

Oleh karena itu, kehidupan manusia urban, yang terjepit di antara ketegangan pendapatan dan beban pengeluaran, memerlukan strategi bertahan hidup, salah satunya dengan mempersiapkan dana darurat untuk kebutuhan yang mendesak. Namun, “kita dikepung undang-undang yang membuat kita/ lebih mudah bangkrut daripada menabung”. Ekonomi tidak lagi menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas hidup, tetapi justru menjadi sumber ketakutan dan kecemasan. “kita jatuh cinta kepada senyum negara yang gemar/ menanam ranjau bernama musibah” adalah paradoks yang menggambarkan kita sebagai masyarakat untuk tunduk patuh dalam mencintai negara tanpa syarat, walau kita berkali-kali hanya mendapatkan ketakutan, kecemasan, dan kesedihan. Hal ini menunjukkan bagaimana pemerintah dan institusi besar sering kali menciptakan ilusi stabilitas yang rapuh, sementara krisis terus terjadi di bawah permukaan. Lebih lanjut, simak bait berikut: 

tidak ada dana darurat untuk hari-hari yang dipenuhi situasi darurat.

mereka menciptakan sungai bernama menghasilkan uang
dan kita kecanduan berenang tanpa peduli betapa fanatiknya
aliran sungai tersebut.

Kita kecanduan dan terus berenang dalam arus tanpa menyadari bahaya atau kesia-siaan dari pengejaran yang obsesif pada materi itu. Ketidakpastian finansial dan ketergantungan pada uang merupakan baju tahanan konsumerisme yang kita kenakan untuk dikurung di dalam jeruji kapitalisme, membuat kita terperangkap dalam sistem yang terus-menerus menekan. Kecemasan finansial bukanlah hasil dari satu krisis saja, melainkan sistem yang secara struktural tidak adil dan selalu penuh ketidakpastian.

Ketidakpastian adalah hal yang sangat pasti dalam hidup. Ketidakpastian adalah elemen yang tak terhindarkan, terutama di tengah modernitas yang penuh perubahan. Hari ini kita memiliki barang yang cukup, esok kemudian keinginan kita membentang menghendaki barang-barang lain. Namun, justru di dalam ketidakpastian itulah tersimpan kepastian bahwa hidup akan terus bergerak, berubah, dan menuntut adaptasi. Hari ini kita bekerja dan mendapatkan uang. Esok kemudian uang tersebut bersalin rupa menjadi barang. Esoknya kita kembali mengulangi hal yang sama.

Tampak pada puisi ke belantara, subjek yang hadir dalam puisi tersebut mengatakan bahwa ia “dilahirkan di kasino raksasa”. Kasino tentu kita tahu adalah tempat di mana kemujuran dan kemalangan saling bersitegang. Persentase untuk menang dalam sebuah permainan ada pada orang yang mengatur jalannya permainan tersebut, tetapi kita tetap saja “bermain dengan/ kesempatan dan dipermainkan kepastian.” Tak peduli apakah mujur atau malang, sambil membusungkan dada dan terus berjalan di atas titian ironi, “kita berjalan menuju/ kegelapan berwujud masa depan.” 

Pemilihan kata “kasino” dalam puisi ke belantara di atas merupakan satu dari sekian diksi yang digunakan untuk merepresentasikan persoalan ekonomi yang kerap kita alami, misalnya inflasi, ekonomi, resesi, pasar gelap, mutasi, utang, kartu kredit, rekening, nafkah, krisis, transaksi, tagihan, uang, dompet, finansial, asuransi, investor, tabungan, dan lainnya. Namun, Ibe tak hanya menggunakan diksi tersebut sekadar dekoratif, diksi-diksi tersebut merupakan citraan sebagai gaya ungkap dalam puisi-puisinya. Misalnya, “ekonomi saya menggunakan keras kepala sebagai kesabaran dan kemarahan sebagai komunikasi” (dalam belajar ekonomi di kelas menulis kreatif), “krisis mendikte kantong belanja kita dan berharap belas kasihan sekelompok kecil orang” (dalam ekonomi diciptakan dari ilmu sihir), “air mata satu-satunya mata uang yang saya miliki dan itu tidak memiliki nilai tukar.” (dalam instumen mata uang), “saya akan mencintaimu seperti petani memeluk utang dan seperti utang membuat sawah berjabat tangan dengan bahaya dan seperti bahaya menggenggam tangan pegawai bank ketika menggunakan kartu kredit.” (dalam ada begitu banyak hal untuk dicintai dari dirimu).

Selain menggunakan diksi-diksi yang secara spesifik kita ketahui berkaitan dengan persoalan ekonomi, juga terdapat pemilihan diksi seperti “sihir” yang ingin menghadirkan citraan kontradiktif dari ekonomi dan kerentanan atas dampaknya. Misalnya dalam puisi ekonomi diciptakan dari ilmu sihir yang mencoba menunjukkan ironi dan ketidakpastian melalui strategi manipulasi dari ilmu sihir. Bait pertamanya, “ketika peramal mengatakan krisis akan terjadi, orang kaya segera menutup dompet dan orang miskin/ menutup mata sambil merapal mantra” mendekonstruksi ekonomi sebagai ilmu sihir yang dikendalikan oleh peramal, di mana prediksi-prediksi mereka tentang krisis dapat menyebabkan reaksi drastis dari berbagai lapisan masyarakat; orang kaya, yang memiliki kendali atas sumber daya, akan merespons dengan mengamankan uang mereka, sementara orang miskin, yang lebih rentan, hanya dapat menutup mata dan berdoa.

 

Setelah Cuaca Buruk, Ternyata Hidup Tetap Berjalan
Ibe S. Palogai telah mengangkat jangkar kapalnya lalu berlayar menjauhi lambaian orang-orang “yang kalah” dalam peristiwa-peristiwa perang (baca: sejarah). Setelah buku pertamanya yang ia terbitkan pada 2018 lalu yang berjudul Cuaca Buruk Sebuah Buku Puisi (selanjutnya disebut CB), ia tak lagi menggarap wilayah tematik yang ketat seperti buku pertamanya tersebut. Buku keduanya, Struktur Cinta yang Pudar [2019] (selanjutnya disebut SC), dan yang ketiga Menjala Kunang-Kunang [2019] (selanjutnya disebut MK) bersoal dengan identitas subjek. Keempat, buku yang terbaru, hidup tetap berjalan dan kita telah lupa alasannya (selanjutnya disebut HTB) lebih kurang sama seperti kedua buku terakhirnya, menjauhi wilayah tematik yang ketat. Namun, yang membedakan buku keempat tersebut dengan kedua buku terakhirnya adalah Ibe mulai melabuhkan pandangannya pada beberapa persoalan yang sebelumnya belum pernah (atau jarang) ia respons, yaitu ekonomi.

Merekam kecemasan dalam hidup tentu bukanlah persoalan baru dalam wilayah teks perpuisian Indonesia. Banyak penyair di Indonesia telah banyak mempersoalkan hal tersebut. Namun, dalam puisi Ibe—khususnya puisi-puisi yang mempersoalkan masalah ekonomi—kita bisa melihat bahwa ia tak sekadar memberdayakan diksi kebendaan sebagai citraan untuk gaya ungkapnya, tetapi menggunakan beberapa peristiwa atau teori-istilah ekonomi sebagai permainan intertekstualitas dalam gaya ungkapnya. Misalnya bait dalam puisi kebijakan fiskal di meja bar:

episode bertahan hidup di bar yang menawarkan gin & tonic
sepanjang malam. lampu neon berlumpur menyajikan adegan
ketika great depression menggali kubur adam smith di edinburgh.
tidak ada tahun 1931 dalam kalender ekonomi global. sepiring
nacho membuat udara malam bergetah. igau kendaraan membakar
remisi bagi pialang saham yang pulang menyusun rencananya.

Deskripsi suasana pada puisi tersebut mengeksplorasi dampak dari peristiwa Depresi Besar (Great Depression) terhadap kehidupan sehari-hari dan teori ekonomi. Melalui kontras antara suasana bar yang glamor dan kenyataan ekonomi yang suram, serta referensi historis, bait ini adalah pengantar untuk kita masuk dan melihat bagaimana krisis ekonomi memengaruhi tidak hanya teori ekonomi tetapi juga kehidupan nyata yang dapat kita simak dalam bait-bait selanjutnya. Mari kita simak penggalan larik berikut:

uang rp 100.000 yang terbunuh menjawab penasaran setiap
orang yang hanya ingin bertahan hidup: uang selalu diselubungi
ketidakpastian & sebagian keuntungan disebabkan kerugian.

Strategi seperti kebijakan fiskal di meja bar juga dilakukan dalam puisi lainnya, misalnya berapa harga outfit kamu? pada larik “sepatu saya dirancang desainer bernama john stuart mill pada tahun 1776.” Namun, dalam larik tersebut, intertekstualitas yang ditunjukkan tidaklah koheren antara “John Stuart Mill” dan “1776”. John Stuart Mill hidup pada 1806-73, sedangkan 30 tahun sebelum ia lahir, Adam Smith menerbitkan bukunya, The Wealth of Nations. Kita mungkin saja menjawab bahwa antara “John Stuart Mill” dan “1776” dapat saling berkaitan, yaitu pemikiran Mill juga berkembang atas keterpengaruhan dari pemikiran Smith. Akan tetapi, dalam larik selanjutnya, subjek mengatakan bahwa “setelah sekian abad dibungkam bank sentral”. Larik tersebut justru berasosiasi kuat pada On Liberty, salah satu buku Mill yang mempersoalkan tentang pelarangan pembungkaman dalam kebebasan berpendapat. Buku ini diterbitkan pada tahun 1859.

 Ketika peristiwa great depression dimetaforkan sebagai sebuah subjek yang menggali kuburan Adam Smith, hal ini memiliki keterkaitan—bahkan kuat—karena kemungkinan tafsir yang dapat hadir adalah hubungan antara Adam Smith yang melahirkan ide atas ekonomi klasik berbuntut sebagai dosa yang terjadi semasa great depression. Namun, terkait persoalan intertekstualitas tersebut, saya belum tahu pasti apakah ini kesilapan penulis atau memang ada unsur kesengajaan sebagai strategi puitik yang coba dihadirkan oleh penyair.

Kekeliruan lainnya dapat kita temukan dalam puisi siniar berwarna hijau dan suara bekas. Pertama, terdapat inkonsistensi atau ketidakpahaman penyair atas istilah yang ia gunakan sehingga membuat rancu. Judul tersebut menggunakan kata “siniar”, sedangkan pada puisinya menggunakan “alat perekam”. Dalam puisi ini, subjek mengisahkan dirinya membeli sebuah alat perekam suara yang akan ia gunakan untuk merekam dan mendengarkan diri sendiri. Alat tersebut ia coba gunakan juga kepada elemen-elemen alam lainnya, seperti sungai, kuburan, pohon. “Siniar” bukanlah alat untuk merekam, tetapi alat yang menyimpan atau menyiarkan rekaman secara digital. Apakah pada bait awal, “hari kamis, saya ke toko bekas,/ penjualnya seorang lelaki tua. ia menawarkan/ kepada saya alat perekam suara. katanya, benda/ ini bagus untuk belajar mendengarkan/ diri sendiri.”, subjek ditawarkan iPod atau alat perekaman lainnya yang terhubung dengan internet? Jika iya, saya pikir ini tetap tidak dapat dihubungkan karena dalam bangunan puisi tak ada kode-kode yang bisa mengaitkan apakah yang ia dengarkan ini adalah “hasil rekamannya dalam siniar”.

Kedua, ketidakjelasan waktu yang digunakan dalam puisi siniar berwarna hijau dan suara bekas memberikan kesan ambiguitas suasana. Bait pertama menerangkan subjek membeli alat perekam suara pada hari Kamis. Bait kedua, ia bergumam pada diri sendiri atas alat yang ia gunakan dan fungsinya kelak. Bait ketiga, ia pulang melewati sungai, kuburan, pohon, taman, dan memandang langit. Ia merekam semua persinggahan dan pengamatannya tersebut—perlu digarisbawahi bahwa hari ketiga ini masihlah hari Kamis, hari di mana ia pulang dari toko bekas. Bait keempat, ia tidur, menyimpan alat perekamnya di bawah bantal karena menganggap dirinya terkadang sering “berbicara kepada diri sendiri” sepanjang waktu. Penutup, bait keempat, ia mendengarkan apa yang telah ia rekam sebelumnya, dan ini terjadi pada hari “Sabtu yang cerah”. Hari Jumat ke mana? Apakah subjek ketika tertidur pada Kamis malam hari dalam bait ketiga berlangsung sampai hari Sabtu?

Hal yang sepele tetapi dapat mengakibatkan timbulnya ketidakjelasan juga terjadi pada puisi bulan sebelum pagi. Penggunaan preposisi “dari” pada bait keempat, larik “kewaspadaan melarikan diri dari mana-mana ketika diminta setia pada peristiwa” membuat situasi dalam citraan kalimat tersebut rancu. Hal tersebut dapat mengaburkan citra “waspada” sebagai subjek yang melarikan diri saat diminta bersetia pada peristiwa. Preposisi “dari” menunjukkan asal, sebermula. Dalam hal ini, kewaspadaan semestinya melarikan diri dari peristiwa dan “ke mana-mana”, karena ia tak ingin merasa setia pada peristiwa.

Di luar dari sedikit kekeliruan yang telah saya sebutkan sebelumnya, saya juga melihat ada percobaan yang tampak berbeda yang coba dihadirkan Ibe S. Palogai dalam buku terbarunya tersebut. Selain tidak lagi menjangkarkan puisinya pada satu tema khusus yang ketat, tampak juga perubahan pada bentuk puisinya. Puisi-puisi dalam HTB berbeda secara bentuk dengan CB. Ibe tidak lagi mempertimbangkan aspek-aspek tipografi yang diindentasikan dengan penuh pertimbangan sebagai bentuk struktur puisinya—walau dalam beberapa puisi sedikitnya masih terdapat. HTB pun berbeda dengan SC dan MK yang walau secara struktur bentuk sama, tetapi perbedaan fundamentalnya terletak pada tanda baca titik pada judul puisi. Seluruh judul puisi dalam HTB menggunakan tanda baca titik. Tanda baca titik di akhir judul bisa memberikan kesan untuk pembaca mengambil jeda sebelum memasuki puisi. Bisa dikatakan ini merupakan strategi kontemplatif yang sedang dilakukan atau mungkin sekadar pertimbangan estetika visual. Satu puisi yang tidak menggunakan tanda baca titik adalah puisi berjudul jika semut memakan namanya/ dan kucing juru selamat/ dan lukisan aneh merenovasi dirinya/ tidur. Judul tersebut seakan hendak bertransformasi sebagai puisi sebelum pembaca memasuki puisi. Kita bisa membacanya seperti ini:

jika semut memakan namanya
dan kucing juru selamat
dan lukisan aneh merenovasi dirinya
tidur

Semut, kucing, lukisan, dan tidur merupakan serangkaian kata kunci yang juga terdapat pada tubuh puisi. Judul tersebut tidak bertindak sebagai sekadar ringkasan dari apa yang akan dibahas dalam puisi, melainkan berfungsi sebagai kode untuk pembaca sebelum memasuki puisi. Bentuk puisi tersebut merupakan strategi artistik untuk menarik perhatian dan memecah ekspektasi pembaca, membuat mereka berpikir ulang tentang hubungan antara judul dan puisi secara keseluruhan. Pertanyaannya kemudian, mengapa eksperimen bentuk tersebut hanya berlaku dalam satu judul puisi di antara tiga puluh sembilan puisi lainnya?

Hal lain yang membuat HTB juga berbeda dengan CB, seperti halnya dalam SC dan MK, Ibe tidak lagi menggunakan salah satu judul dari daftar puisi sebagai judul utama bukunya. Ia memilih judul khusus yang mungkin menurutnya dapat merepresentasikan puisi-puisi yang ia sampaikan dalam buku tersebut. Namun, pemilihan judul hidup tetap berjalan dan kita telah lupa alasannya mau tak mau mengingatkan saya pada judul buku kumpulan esai Dea Anugrah yang terbit pada 2019 lalu, Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya. Keduanya memiliki formula yang sama. Pertama, kata kunci utamanya, yaitu hidup. Mempersoalkan hidup. Satu bersoal tentang “hidup begitu indah”, lainnya “hidup tetap berjalan”. Kedua, dipisahkan oleh kata penghubung “dan” yang membawa kita pada klausa “dan hanya itu yang kita punya” dan “kita telah lupa alasannya”.

Selanjutnya, apakah kita membutuhkan puisi sebagai alasan untuk terus menjalani hidup?

 

Judul: Hidup Tetap Berjalan dan Kita Telah Lupa Alasannya
Penulis: Ibe S. Palogai
Editor: Siska Yuanita
Penerbit: GPU (Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Cetakan pertama, Juli 2024
Tebal: 95 hlm
ISBN: 978-602-067-905-1

KOMENTAR

Editor dan desainer editorial. Bersama rekannya, mengelola Footnote Press, penerbit alternatif yang berfokus pada kajian humaniora, dan lininya, Endnote Press.

You don't have permission to register