Fb. In. Tw.

HBD Havelaar!

Sejak kecil ia telah tampil membela yang lemah dan terinjak-injak. Menjadi penolong bagi teman-temannya yang kesusahan. Menjadi tempat mengadu mereka yang teraniaya dan tersiksa. Ia selalu gelisah dan banyak mendapatkan kesukaran. Hidupnya adalah gambaran namanya: Aku yang banyak menderita.

Daya pikirnya melebihi anak-anak seusianya, Willem Frederik Hermans dalam Multatuli yang Penuh Teka-Teki (1988) mencatat: “ketika ia dimasukkan sekolah dasar orang cemas dengan daya pikirnya, seperti yang sering terjadi pada anak-anak yang terlalu cerdas.”

Ayahnya bernama Engel Dekker, nakhoda kapal. Sytske Eeltjes Klein: Eduard, ibunya. Engel Dekker, agaknya seorang yang suka berkelakar dan pandai berbicara. Seorang nakhoda yang tegap, yang cepat membahasakan orang dengan “jongetje”, buyung. Ia biasanya tidak di rumah, seperti lazimnya kapten kapal.

Sytske, pembawaannya agak gugup. Dia cepat tangan ringan kaki, kata orang.

Multatuli lahir di sebuah rumah, di jalan sempit, di Korsjespoortsteeg, di Amsterdam. Multatuli anak keempat atau sebenarnya anak kelima. Saudaranya, Antje, lahir di tahun 1818 dan hanya hidup dua belas hari. Saudara-saudara lainnya bernama Catharina (1809-1849), Pieter (1812-1861), dan Jan (1818-1864). Sesudah Multatuli, masih lahir seorang lagi di tahun 1832, yaitu Willem. Hari ini 195 tahun lalu, Multatuli lahir, 2 Maret 1820.

Multatuli dibesarkan dalam suatu keluarga yang sederhana. Multatuli kecil banyak menimbulkan kesukaran karena wataknya yang gelisah dan ‘sukar’.

Orang tua Multatuli berharap ia menjadi pendeta. Maka selepas Sekolah Dasar, ia masuk Sekolah Latin di Singel. Di bulan Maret 1832 ia menulis namanya dalam album sekolah: Eduard Douwes Dekker, nama rangkap.

Tidak dijelaskan mengapa ia meninggalkan Sekolah Latin setelah belajar dua atau tiga tahun. Ia mengatakan bahwa ia senang di sekolah tersebut dan tidak terlalu bodoh untuk mengikuti pelajaran. Ia tidak enggan melakukan olahraga untuk kaum laki-laki seperti meluncur di atas es dan ia tidak segan-segan berkelahi. Ia selalu tampil membela yang lemah dan terinjak-injak. Ia menolong menyelamatkan topi pet yang diterbangkan angin milik seorang anak Yahudi yang tidak seorang pun mengacuhkannya. Ia bahkan pernah ingin pergi ke Yunani untuk berjuang buat orang Yunani dalam perang kemerdekaan mereka melawan Turki. Tapi perdamaian ditandatangani ketika ia berusia dua belas tahun. Ia terlambat lahir!

Di usianya yang kedelapan belas, ia kemudian menjadi pegawai kecil pada firma tekstil Van de Velde, di persil Singel 134. Ia minta berhenti bekerja setelah tiga tahun bekerja. Kekasihnya yang pertama bernama Louis. Dan itu sama sekali bukan kekasihnya yang terakhir.

Eduard sudah sejak dini secara impulsif bisa jatuh kasihan kepada orang yang lemah dan orang cacat, bahwa ia berani melawan ketidakadilan, bahwa hatinya mudah terbakar dan bahwa ia cenderung terlibat dalam kesulitan-kesulitan keuangan.

Prestasinya di sekolah agaknya sedang-sedang saja. Tapi kemampuannya untuk dalam waktu singkat menguasai berbagai kepandaian. Kepandaiannya itu atas kemampuannya sendiri. Eduard banyak tahu tentang bahasa Prancis, Jerman, dan Inggris selepas les privat. Ia menulis sajaknya yang pertama dengan introduksi saudaranya Pieter, ia jadi anggota perkumpulan Nut (Lembaga untuk kemanfaatan umum).

Tiba di Hindia-Belanda
Pada tanggal 4 Januari 1839 tiba di Batavia seorang pemuda Belanda. Ia datang dengan kapal Dorothea. Setelah pelayaran yang menyita waktu tiga belas minggu lebih. Kapal itu berangkat 23 September tahun sebelumnya. Pemuda itu yang kemudian hari terkenal sebagai Multatuli, Aku yang banyak menderita, alias Eduard Douwes Dekker.

Sebagai pemuda 18 tahun, Multatuli bekerja pada Pemerintah Belanda, yakni pada Dewan Pengawas Keuangan di Batavia. Ia cakap untuk pekerjaannya. Di masa pertama ia menjadi amtenar (pegawai pemerintah) ini ia mengalami guncangan batin sebab terputusnya hubungan dengan Caroline Versteegh. Penyebabnya karena dianggap oleh orang tua si gadis calon suami yang kurang serius dan lamarannya ditolak.

Tahun 1842 Multatuli dipindahkan ke Sumatra Barat. Bulan Juli 1842 Douwes Dekker ditempatkan sebagai kontelir di Natal, suatu jabatan yang bukan saja meminta segala tenaga kerjanya, tapi yang juga buat pertama kali membawanya berhadap-hadapan dengan penderitaan penduduk.

Drs. G. Termorshuizen dalam Pendahuluan novel Max Havelaar (1973) menulis: Menarik perhatian reaksinya yang hampir spontan terhadap penderitaan penduduk itu, berupa pendirian yang pada hakekatnya akan menentukan tindakannya dalam ‘perkara Lebak’ 13 tahun kemudian. Dalam suatu laporan tanggal 21 Maret 1843 ia menulis: ‘Saya kira orang sedikit saja atau sama sekali tidak bekerja, baik di kebun-kebun lada maupun di sawah-sawah, tapi saya kira pula (……) bahwa yang menjadi sebabnya ialah tenaga yang patah oleh tiada bekerja (……). Haruslah diberikan gambaran masa depan yang lebih menyenangkan bagi pekerja, harapan masa depan yang lebih menggembirakan dan dalam hal ini baiklah dimulai dengan memberinya makanan yang cukup.’

Natal adalah dukacerita yang pertama dalam hidup Multatuli sebagai amtenar. Di bulan Juli 1843 ia dipecat oleh jenderal Michiels, atasannya. Setelah di Natal, ia perbantukan kepada residen Padang Hulu. Setelah dari Padang, berturut-turut ia bertugas di Purwakarta, Karawang, Purworejo, Manado dan di musim gugur 1851 ia menjadi asisten residen Ambon, tapi tidak lama karena sakit keras.

Sewaktu tinggal di Purworejo, dua tahun lebih ia di sana, Eduard Douwes Dekker hidup dengan miskin tapi jujur. Rochussen, gubernur jenderal mengunjunginya dan Dekker adalah satu-satunya pejabat yang tidak menerangi rumahnya karena tidak punya uang untuk itu.

Atasannya, residen Bagelen, Von Schmidt auf Altenstadt, menyebutkan dalam daftar kecakapannya bahwa kelakuan dan cara hidupnya baik, ia banyak kepandaiannya, rajin, hormat, tapi bebas dalam sikapnya.

Tanggal 10 April 1846 bagi Dekker adalah tanggal kebahagian. Dekker menikahi Everdine Huberte van Wijnbergen, yakni Tine—pahlawati—dalam Max Havelaar. Dekker dan Everdine menikah di Cianjur.

Pagi-pagi jam sepuluh ada keramaian yang tidak lazim di jalan besar yang menghubungkan daerah Pandeglang dengan Lebak.

Demikian kalimat pertama dalam Bab V novel Max Havelaar. Hari itu 21 Januari 1856. Dekker tiba dengan keluarganya di Rangkasbitung, ibu kota Lebak. Di hari itu juga Dekker  mengucapkan sumpah jabatan. Dekker berjanji bahwa ia “akan melindungi penduduk Bumiputera terhadap penindasan, penyiksaan, dan penganiayaan”. Dekker diangkat sebagai asisten residen Lebak. Keesokan harinya, ia mengucapkan pidato yang ditujukan kepada kepala-kepala Lebak. Lebak daerah miskin dan bahwa penduduknya dihisap oleh bupati dan kepala-kepala (bawahan)nya.

Multatuli bertugas menjadi asisten residen di Lebak selama tiga bulan dari 21 Januari 1856 sampai 29 Maret 1856. Atasannya, residen Banten Brest van Kempen dan gubernur jenderal Duymaer van Twist. Gubernur jenderal Albertus Jacobus Duymaer van Twist memasuki sejarah sebagai ‘gubernur jenderal yang dimaki-maki Multatuli.’ Karena itu ia sekaligus menjadi gubernur jenderal paling masyhur yang pernah memerintah ‘Hindia Timur Belanda’.

Selamat ulang tahun, Multatuli (2 Maret 1820-2 Maret 2015)![] Pondok Petir, 2 Maret 2015

KOMENTAR
Post tags:

Kontributor tetap buruan.co. Guru SMPN Satap 3 Sobang dan Pemandu Reading Group "Max Havelaar" di Taman Baca Multatuli, Lebak, Banten.

You don't have permission to register