HAM Bukan Pangkal Permasalahan
Isu pelanggaran HAM bukan hal baru bagi sebagian masyarakat Indonesia. Para aktivis dan akademisi HAM masih konsisten menyuarakan isu tersebut. Dalam opini Nur Hidayat, #10YearsChallenge dalam Perjuangan HAM, dijelaskan bahwa kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak pernah direspons serius oleh pemerintah. Kasus-kasus serupa malah kian marak terjadi sampai hari ini. KontraS melaporkan ada 156 pelanggaran Hak Asasi Manusia sepanjang Januari-Oktober 2018.
Apa yang menyebabkan hal ini terus terjadi? Apakah benar bahwa semua terjadi semata karena ketidakseriusan pemerintah dalam menangani kasus pelanggaran HAM? Atau karena masih minimnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya HAM? Atau jangan-jangan, isu HAM selama ini hanya dijadikan alat oleh segelintir orang untuk mendapatkan kepentingannya.
Baca juga:
– Suwadma dan Motor Munir
– Ibu yang Sempurna Itu Bernama Yu Patmi
HAM selama ini bergerak dalam dua dimensi paradoksal. Di satu sisi, HAM dapat menyembunyikan penindasan. Namun di sisi lain, HAM juga dapat menyoroti ketidaksetaraan dan penindasan. Sebab itu, menurut Karl Marx, kebebasan adalah fiksi ideologis yang bermula dari negara dan mempertahankan masyarakat yang timpang, penindasan, eksploitasi.
Menurut Marx, HAM menjadi simbol kemanusiaan universal yang secara bersamaan telah menjadi alat yang bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang (borjuis). Ideologi dan kepentingan mereka akan tersamarkan sebagai sesuatu yang baik dalam balutan kosakata HAM.
Misalnya, seorang calon presiden yang berjanji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM akan dipandang sebagai calon yang layak untuk dipilih. Padahal janji itu diucapkannya hanya sebagai retorika untuk mengakomodasi kepentingannya berkuasa. Sehingga jangan heran apabila ia tidak menunaikan janji itu ketika tiba saatnya berkuasa. Kepentingannya sudah terpenuhi dengan terpilih menjadi Presiden.
Bagi saya, HAM hanya simtom belaka. HAM pada akhirnya hanya menguntungkan segilintir pihak saja. Menyembunyikan permasalahan yang paling krusial: kemiskinan, eksploitasi sumber daya alam, dsb. Apakah ada potensi emansipasi HAM dalam menentang penindasan?
Dalam Islam sendiri, dikenal prinsip-prinsip universal yang dapat disejajarkan dengan HAM. Prinsip-prinsip itu pertama kali diperkenalkan oleh Hujjahal Islam, Imam Al Ghazali sebagai al-Kulliyatu al-Khoms:Hifdzu al-Din (menjaga agama), Hifdzu al-Aql (menjaga akal); Hifdzu al-‘Irdli wa al-Nasl (menjaga harga diri dan keturunan); dan Hifdzu al-Mal (menjaga harta).
Gus Dur menafsirkan prinsip-prinsip itu dengan cukup moderat dan akurat. Hifdzu al-Din dimaknainya sebagai menjaga agama dengan kewajiban jihad. Jihad yang dimaksud bukan berperang, melainkan menjunjung tinggi semangat anti-kekerasan dan kebebasan beragama. Hifdzu al-Nafs diinterpretasikannya untuk menentang hukuman qishas. Hifdzu al-Aqli ditafsirkan sebagai kebebasan berpendapat, berpikir, dan hak berkumpul, dsb. Hifdzu al-Mal diartikan sebagai hak atas jaminan sosial.
Jika ditilik dari penafsiran Gus Dur, maka masalah pelanggaran HAM secara tidak langsung juga telah melanggar prinsip-prinsip universal dalam Islam. Kendati penafsirannya tersebut juga belum menyentuh akar permasalahan dari pelanggaran HAM, yakni simtom dari struktur dominasi kelas. Penafsiran Gus Dur dalam lingkup keislaman belum mampu untuk mendobrak tatanan kekuasaan yang mendasarinya—yang menyebabkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM.
Namun terlepas dari itu, segala yang telah diperjuangkan Gus Dur melalui wacana HAM patut diapresiasi. Terobosannya sedikit-banyak berhasil membuka mata masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, dalam melihat kasus-kasus pelanggaran HAM.
Baca juga:
– Joan Baez dan Musik Protes
– Potret Buram India
Penafsiran Gus Dur perlu disuntikkan dengan analisa kelas Marx yang mampu menampilkan sisi gelap HAM dalam level wacana dan ideologi. Marx telah menampilkan bahwa hak asasi bukanlah akar dari segala permasalahan yang ada hari ini. Sehingga tak perlu lagi merengek dan berkeluh kesah kepada pemerintah yang kadung bebal pada kasus-kasus pelanggaran HAM.
Sebagai penutup, menyitir perkataan Ernest Bloch, “Tidak mungkin ada dasar HAM yang sepenuhnya tanpa berakhirnya eksploitasi, dan tidak ada akhir yang nyata untuk eksploitasi tanpa menjujung HAM”.
Refrensi:
http://criticallegalthinking.com/2010/11/30/adikia-on-communism-and-rights/
Aceng Abdul Aziz, dkk, 2007. Islam Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Ma’arif NU.
Sorry, the comment form is closed at this time.
Rubi
Pemerintah emg kadung bebal tp ham hrs tetep diperjuangkan, aplg pelanggaran ham masa lalu. Kaum marxis emg calon diktator, anti-ham!
Jon
Meskipun bukan pangkal persoalan, tapi menurutku harus di selesaikan juga euy kasus-kasus pelanggaran HAM. Apalagi yang berat-berat dimasa lalu.