H. Asep Saepudin, Penjaga “Wawacan Manakib” di Limbangan, Garut
Pada hari Sabtu (25/4/2015), saya bersama beberapa teman (M. Nasrulah Fajri, Rinda Sania A., Fatimatuz Zahro dan Eka Rahayu) melakukan perjalanan edukasi dan ekspedisi ke daerah Selaawi, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Garut. Kami melakukan perjalanan ini dalam rangka memenuhi tugas untuk mencari naskah kuno dengan bahasa Arab Melayu serta mencari hal-hal unik lain yang mungkin dapat kami temui di sini.
Perjalanan kami mulai dari rumah M. Nasrulah Fajri di Jalan Sukaregang, Garut, pada pukul 16.00. Cuaca cukup cerah setelah sebelumnya Kota Garut diguyur hujan yang deras.
Jalan masih terlihat basah saat kami mulai beranjak dari Sukaregang. Setelah menempuh sekitar satu jam perjalanan, dengan jalur Banyuresmi-Leuwigoong-Limbangan, akhirnya kami sampai di jalan masuk ke daerah Selaawi. Jalan yang awalnya luas dan tidak berlubang menjadi sempit dan banyak lubang.
Selain jalannya berlubang dan menanjak, di kiri serta kanan jalan banyak terdapat pohon awi. Mungkin karena itulah disebut Selaawi. Dikarenakan banyak pohon awi (bambu) yang tumbuh di daerah ini.
Setelah menikmati perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Tepatnya di Kampung Samida RT 01 RW04, Desa Samida, Kecamatan Selaawi, Kabupaten Garut pada waktu Magrib. Kami disambut oleh tuan rumah yang bernama H. Asep Saepudin.
Naskah yang dimiliki oleh H. Asep berbentuk Wawacan Manakib yang menceritakan tentang kisah hidup seorang penyebar Agama Islam dan wali dari semua wali di dunia, yaitu Syekh Abdul Qadir Jaelani. Naskah tersebut ditulis dengan huruf Arab Pegon dengan bahasa yang sudah dialihbahasakan ke bahasa Sunda.
Wawacan ini berisi riwayat hidup Syekh Abdul Qadir Jaelani sejak kecil hingga lanjut usia, kebaikan, serta karomah yang dimiliki olehnya tertulis dalam wawacan ini. Bila dibaca secara mendalam, setiap pasal dalam Wawacan Manakib ini mengandung nasihat maupun larangan yang disampaikan secara tidak langsung.
Selain menjaga naskah ini, H. Asep juga telah menyalin ulang naskah ini pada hari Kamis, jam 12 siang, tanggal 17 Jumadil Awal 1387 atau pada tahun 1966 M. H. Asep menyalin ulang naskah tersebut dikarenakan kondisi naskah yang sudah mulai mengkhawatirkan, mulai rapuh dan banyak bagian yang sudah tidak terbaca.
Sebelum naskah ini disalin, naskah asli ditulis dengan menggunakan harupat, jilid naskah yang asli terbuat dari kulit kambing.
Sebelum diterjemahkan ke bahasa Sunda, naskah ini berbahasa Arab. Kemudian diterjemahkan ke bahasa Sunda oleh orang Sumedang yang tidak diketahui namanya. Naskah tersebut diterjemahkan karena kurang banyaknya orang yang mengerti bahasa Arab pada zaman naskah itu dialihbahasakan.
H. Asep mengaku bahwa beliau merasa katitipan naskah ini setelah bapaknya meninggal. Jadi pada saat transmisi naskah, tak ada tata cara khusus untuk melungsurkan naskah tersebut. H. Asep sendiri merasa harus turut andil dalam mengurus dan menjaga naskah ini. Transmisi naskah terjadi secara begitu saja atau otomatis.
Tak hanya menjaga dan menyalin naskah, ternyata beliau juga mahir dalam menembangkan pupuh-pupuh dalam Wawacan Manakib. Ia sering diundang ke berbagai acara, seperti nikahan, sunatan, dan acara kebudayaan lainnya, untuk membacakan Wawacan Manakib.
Tak jarang ia disibukkan oleh undangan-undangan yang berantai. Seperti diundang ke kota A siang hari, sedangkan malamnya beliau harus membacakan naskah di kota B. Hal tersebut dilakukan oleh beliau dikarenakan tidak adanya penerus. Bahkan, ia mengakui bahwa anak-anaknya tidak dapat membaca naskah tersebut, apalagi menembangkan pupuh seperti yang kerap dilakukan olehnya.
H. Asep seperti sedang kebingungan akan diturunkan kepada siapa naskah tersebut nantinya. Khawatirnya, bahwa tidak akan ada penerus dalam mengurus naskah ini serta melantuntan lewat tembang pupuh. Namun, H. Asep menaruh harapan kepada cucunya untuk menjaga serta melanjutkan apa yang telah dilakukan olehnya. Ia mengatakan kepada kami, bahwa naskah ini akan tetap ada dan terjaga.
Tak terasa, semakin asyik mengobrol dengan H. Asep, malam pun semakin larut, dan dengan terpaksa kami harus mengakhiri pembicaraan yang menarik ini dan harus kembali pulang ke Bandung.[]