Fb. In. Tw.

Gaok “Ngagoak”

Dalam Kamus Basa Sunda, karangan R.A. Danadibrata, kata gaok mengandung arti 1) suara bunyi gagak; 2) memanggil, sedangkan ngagoak—asal kata goak—adalah berteriak karena ketakutan, terkejut, atau nyeri. Tapi istilah gaok di sini tidak merujuk pada arti leksikal, melainkan pada artifisial. Gaok di sini adalah jenis kesenian yang menyerupai suara gagak atau memiliki fungsi untuk memanggil. Jenis kesenian ini merupakan kesenian tradisi lisan yang ada dan berkembang di Majalengka. Tapi, kesenian jenis ini bukanlah satu-satunya kesenian yang hidup di daerah Majalengka, kesenian yang serupa juga hidup di daerah Bandung dan sekitarnya dengan istilah beluk.

Pada hakikatnya gaok dan beluk sama saja, yaitu nembang wawacan (membaca dengan cara dinyanyikan cerita atau karangan yang ditulis dalam bentuk pupuh) dengan suara melengking dalam konteks-konteks tertentu, seperti syukuran, selametan, upacara kelahiran, dll. Kesenian ini berlangsung pada waktu malam hari dan umumnya dilaksanakan semalam suntuk. Meski ada kesamaan, tapi dalam urusan cara nembang dan alat musik yang digunakan dalam kedua kesenian ini jelas berbeda.

Menurut keterangan Abah Rukmin*, kesenian gaok memiliki ciri khas tersendiri. Jika dalam beluk alat yang digunakan adalah kecapi (dengan cara dipetik), maka dalam kesenian gaok alat yang digunakan adalah buyung dan songsong. Adapun penggunaanya adalah dengan cara meniup songsong yang diarahkan ke dalam buyung, sehingga menghasilkan suara gema seperti goong dalam musik gamelan. Selain itu, perbedaan juga terletak pada cara menyampaikan cerita atau nembangkeunana.

Dalam kesenian gaok ada tiga cara dalam membaca (nembang) wawacan, pertama dengan cara dirancag, yaitu cara bernyanyi dengan pelan (tanpa nada), dalam hal ini yang lebih ditonjolkan adalah cerita, bukan irama lagu. Kedua cara jaléndra, yakni cara bernyanyi dengan irama lagu, tapi tidak melengking. Ketiga dengan cara ngagaok, cara ini menjadi cara khas seniman gaok dalam membaca wawacan, yakni cara nembang dengan irama lagu dan nada melengking. Yang menarik di sini, cara nembang gaok berbeda dengan cara nembang pupuh (meski teks yang digunakan dalam menyanyi adalah pupuh), yang biasa kita kenal dalam pendidikan di sekolah-sekolah.

Seperti kesenian tradisi umumnya, kesenian gaok tidak sembarang dipertunjukan seenaknya. Kesenian ini ada jika ada upacara-upacara ritual, yang berkaitan dengan acara-acara syukuran, selametan, upacara kelahiran (ngayun), upacara tanam binih, dll. Dalam pemilihan teks wawacan yang ditembangkan juga perlu disesuaikan dengan konteksnya. Misalnya, dalam upacara nanam binih, wawacan yang ditembangkan adalah Wawacan Sulanjana, wawacan yang mengisahkan tentang asal-usul alam dunia dan manusia, termasuk di dalamnya menceritakan tentang Dewi Sri.

Seiring waktu, kesenian gaok mengalami pergeseran. Kesenian gaok yang sekarang tidak lagi ditampilkan oleh banyak orang—mengingat kesenian ini ditampilkan oleh rombongan, bahkan gaok pernah ditampilkan oleh 19 orang—melainkan hanya satu orang personil yang aktif, yakni Bah Rukmin. Sungguh keadaan yang sangat menyedihkan! Hal ini disebabkan tidak adanya re-generasi, baik itu untuk penerus personil ngagaok ataupun penerus personil pemusik (peniup songsong).

Memang keadaan tersebut tidak lantas dibiarkan begitu saja. Bah Rukmin sebagai pemimpin kesenian gaok pernah menggagas pelatihan ngagaok di desanya, namun hasilnya tak ada satupun yang mampu meneruskan (sebenarnya ada yang mampu, tapi ia terhalang rasa malu, mungkin karena keseniannya terlalu purba). Bahkan sampai hari ini belum ada ahli waris yang bisa meneruskan tapak-lacak Bah Rukmin dkk. Keaadaan ini diperparah lagi dengan kurangnya perhatian pemerintah dalam menjaga dan melestarikan, bahkan usaha untuk mengenalkan kesenian ini pun belum maksimal. Dan inilah yang membuat gaok ngagoak!

Meski keadaannya sedang ngagoak, tapi semangat Bah Rukmin untuk menyelamatkan gaok sangat menggebu-gebu. Hal ini terbukti dengan cara Bah Rukmin dalam membuat transformasi terhadap gaok. Pertama dalam hal alat dan personil pertunjukan. Seperti keterangan Bah Rukmin, kesenian gaok yang sekarang tidak lagi menggunakan songsong dan buyung, tapi menggunakan gamelan wayang, ditambah dengan sinden sebagai selingan.

Khusus untuk sinden, ini dimunculkan seiring dengan personil ngagaok yang hanya menyisakan Bah Rukmin, dengan suara dan nafas yang tentu berkurang juga. Maka sinden ini difungsikan untuk membantu dan mengisi sela-sela istirahat Bah Rukmin dalam bercerita. Tak luput, saat sinden menyanyi beberapa orang dari rombongan kesenian gaok ikut menari. Hal ini dilakukan untuk mencairkan situasi, agar penonton tidak terjangkit kebosanan. Kedua, adanya transformasi ini secara kreatifitas dan sisi praktis menguntungkan para seniman yang ada di desanya. Dengan adanya transformasi para seniman, khusunya yang ahli nabeuh gamelan hobi dan kreativitasnya tersalurkan sekaligus menambah pemasukan seiring adanya panggilan untuk pementasan gaok.

Meski sudah ada transformasi, kekhawatiran tetap ada mengingat generasi muda yang benar-benar nyaah dan mau meneruskan dalam tradisi tembang gaok belum ada. Apalagi kondisinya tidak banyak anak muda yang tahu dan memberitahu keberadaan seni gaok. Tapi akhir-akhir ini saya mendengar kabar dan membaca diberbagai media, bahwa dari sekian anak mudak, ada beberapa di antaranya yang mencoba untuk merevitalisasi seni gaok, dalam bentuk mentransformasi kembali seni gaok, dan yang terpenting ada upaya untuk mengirim orang untuk menjadi ahli waris ngagaok.

Upaya revitaslisasi yang digagas oleh kawan-kawan Jalan Teater, menjadi angin segar dalam menjaga dan melestarikan seni tradisi. Dengan acara ngagorowokkeun gaok, semoga menjadi jalan sekaligus jembatan dalam usaha menghidupkan kembali seni gaok. Terakhir semoga apa yang mereka gorowokkeun tidak ngagoak kembali.[]

*Wawancara langsung dengan Bah Rukmin, di rumahnya di Kampung Tarik Kolot, Desa Kulur, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka, pada 26 Juli 2015.

Keterangan bahasa:
Songsong: alat dapur yang terbuat dari bambu, biasanya digunakan untuk membesarkan api dalam tungku.
Buyung: wadah untuk mengambil ari yang terbuat dari tembaga, bentuknya seperti kendi dalam ukuran agak besar.
Gorowok: teriak.
Nyaah: menyayangi, mencintai.

KOMENTAR
Post tags:

Penulis, alumnus Bahasa Sunda UPI, bergiat di ASAS dan Turus.

You don't have permission to register