Gaok dan Inovasi
Rilis “Ngagorowokeun Gaok” produksi Jalan Teater dan Titimangsa
Gaok adalah kesenian Majalengka, Jawa Barat, yang hampir punah. Memasuki tahun 2000-an, Gaok sudah jarang dipentaskan. Masyarakat tak lagi menganggap Gaok sebagai sebuah kesenian yang menghibur. Selain itu, para penutur Gaok sudah mulai berkurang. Para penutur Gaok sudah banyak yang telah meninggal, sebagian masih hidup tetapi sudah tidak aktif lagi karena faktor usia yang sudah sangat tua, berusia 70 tahun lebih.
Di Desa Kulur, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, tempat Gaok berkembang, penuturnya hanya sekitar 3 orang lagi. Menurut Rukmin, sang dalang Gaok, generasi muda sekarang tidak ada yang memiliki keinginan untuk melanjutkan. Selain itu anak muda juga mengaku tidak bisa mempelajari Gaok karena susah.
Gaok adalah seni membaca atau menyanyikan wawacan. Dalam wawacan tersebut banyak nilai-nilai yang dapat diambil pelajaran oleh masyarakat. Wawacan yang dibawakan dalam seni gaok berbentuk pupuh yang berjumlah tujuh belas. Namun yang lebih banyak dinyanyikan adalah Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula. Wawacan yang sering dibawakan adalah Cerita Umar Maya, Sulanjana, Barjah, Samun, Nyi Rambut Kasih dan Talagamanggung.
Gaok merupakan kesenian partisipatif dan komunal. Pertunjukan rakyat yang komunal. Gaok memiliki ciri khas dalam menyampaikan makna cerita di dalam keseniannya. Dari sini celah untuk menyelamatkan Gaok dari kepunahan menjadi sangat memungkinkan.
Gaok mempunyai sistem tersendiri dari mulai cerita dan cara menyampaikannya. Rukunnya itu dari doa pembuka, gamelan pembuka/tatalu, kalimat pembuka, lagu pembuka, baca cerita, aluk dan bodoran, kalimat penutup dan doa penutup.
Metode partisipatif di dalam Gaok diwujudkan dalam bentuk metode penyampaian makna dari para pemain Gaok yang dibagi menjadi empat peran sebagai berikut.
1. Tukang Ngilo, berperan membaca wawacan syair demi syair dalam tempo sedang dengan artikulasi yang jelas,
2. Tukang Ngajual, berperan untuk mengulang syair wawacan yang dibacakan oleh Tukang Ngilo,
3. Tukang Meuli, berperan untuk melanjutkan syair wawacan yang dibacakan oleh Tukang Ngajual dengan tambahan ornamen-ornamen,
4. Tukang Naekeun, berperan untuk melanjutkan syair Wawacan yang dibacakan oleh Tukang Meuli, dengan improvisasi suara melengking dan meliuk-liuk disertai dengan ornamentasi yang lengkap, sehingga artikulasi syair yang disajikan Tukang Meuli agar terdengar sayup sayup.
Metode tersebut bersifat repetitif dan improve. Metode itu akan diterapkan pada penonton, sehingga penonton bukan lagi sebagai audience yang memiliki jarak dengan pementasan, melainkan menjadi listener yang terlibat dalam pementasan. Penonton akan ditransformasi menjadi penonton aktif; menjadi pemusik, terlibat sebagai pembangun peristiwa, serta berperan memperkuat konstruksi artistik.
Tantangannya terkait inovasi di dalam teater adalah bagaimana metode ngilo, ngajual, meuli, naekeun itu menjadi metode partisipatif penonton dalam pementasan.
Pementasan yang diproduksi oleh Jalan Teater dan Titimangsa ini nantinya akan dikembangkan secara bentuk dan metode dari cerita wawacan Simbar Kancana Ngadeg Raja: Fragmen Talaga Manggung (1999). Selain menembangkan cerita, visual gerak akan ditampilkan untuk mendukung pergelaran ini. Visual gerak hadir untuk menciptakan imaji peristiwa yang ditembangkan. Ruang penonton akan menjadi bagian dari konstruksi artistik sehingga ruang panggung dan ruang penonton menjadi kesatuan ruang peristiwa. Tujuan yang ingin dicapai dari pergelaran ini adalah terciptanya penyampaian cerita secara langsung, tubuh mengalami, dan partisipatif.
Pementasan ini berupaya untuk memperkenalkan Gaok kepada masyarakat Jawa Barat dan mengaktualisasikan kembali fungsinya sebagai kesenian yang partisipatif. Metode peran berupa Ngilo, Ngajual, Meuli, dan Naekeun yang menempatkan pemain dan penonton sebagai unsur pembangun pementasan, memungkinkan kesenian ini menjadi mudah dipahami. Teater sebagai sebuah bingkai dapat menciptakan transmisi dan transformasi kesenian Gaok pada masyarakat.
Tentang Jalan Teater
Jalan Teater didirikan 11 November 2011 oleh Yopi Setia Umbara, Sahlan Bahuy, dan M. Aditya. Lahir dari keriangan dan kegandrungan para pendirinya terhadap dunia seni teater. Apresiasi dan antusiasme yang tinggi terhadap dunia teater membuat mereka senantiasa ingin memahami sedalam-dalamnya makna di balik seni teater. Sebab, mereka memandang teater bukan sekadar sebuah seni pertunjukan. Namun, ia adalah ilmu pengatahuan sekaligus sarana untuk berekspresi.
Sebagai ilmu pengetahuan, mereka sadar bahwa seni teater terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Perkembangan itu membuat mereka terpacu untuk selalu melakukan riset dan aktualisasi mengenai setiap wacana yang muncul dalam khazanah teater, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Sebagai sarana untuk berekspresi, seni teater tentu saja memberikan keleluasan bagi kami untuk memantulkan gejala-gejala, fenomena-fenomena, dan nilai-nilai dalam kehidupan. Secara teater, selain memantulkan kembali kehidupan, kami juga berupaya untuk memberikan sentuhan intelektual dan artistik pada setiap pementasan.
Begitulah, mereka berharap dapat menempuh jalan panjang teater, mereguk sebanyak-banyaknya ilmu teater sehingga mampu mengaplikasikannya dalam pementasan dengan segala kebijaksanaan. Kebijaksanaan dalam hal ini bermakna bukan menggurui, melainkan kebijaksanaan memandang kehidupan sebagai sumber inspirasi yang sangat kaya untuk diintrepretasi.
Tentang Titimangsa
Adalah sebuah lembaga budaya yang dibentuk Happy Salma pada tahun 2006. Dalam perjalanannya. Titimangsa Foundation telah melakukan berbagai kegiatan kesenian dan kebudayaan, yaitu diantaranya :
– Pentas teater Ronggeng Dukuh Paruk yang diadaptasi dari “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari yang dipentaskan di Amsterdam, Bern Swiss dan Taman Ismail Marzuki (2009).
– Mementaskan Monolog Inggit Karya Penulis Naskah Ahda Imran, Sutradara Wawan Sofwan diadaptasi dari novel Ramadhan KH “Kuantar Ku ke Pintu Gerbang” di Bandung dan Jakarta pada 2011 – 2013.
– Memproduksi film pendek “Kamis Ke 300” yang merupakan satu apresiasi untuk para pejuang HAM dan akan diputar untuk pertama kali pada tanggal 17 Januari 2014 di Goethe-Institut Jakarta.
– Memproduksi pementasan “Wayang Orang Rock Ekalaya” yang merupakan gabungan dari teater dan konser music rock pada tanggal 15 Maret 2014 di Tennis Indoor Senayan, Jakarta.
Tim Produksi
Pimpinan Produksi: Yopi Setia Umbara & Happy Salma
Sekretaris Produksi: Pradetya Novitri
Bendahara: Surya Dwi S
Tim Artistik
Sutradara: Sahlan Mujtaba
Dalang: Abah Rukmin & Firman
Penasehat Literatur: Jafar FAkhrurozi, Zulfa Nasrulloh, & Arif Abdillah
Stage Manager: Heliana Sianaga
Ass. Stage Manager: Dwi Arianto Arnando
Penata Artistik : Ganjar Sukanda
Penata Musik: Triya Nugraha & Sidiq
Pemusik: Noni Mulya, Dienal, Idham Fadhil, Riyan Triana
Penata Cahaya: Aji Sangiaji
Pemain: Chandra Kudapawana, Indrawan Setiadi, Fuad Jauharudin, Cikal Gilang R, Canaya, Kamal, Hendrawan, Maudy Widitya.
Penata Gerak: Asep Cilok & Indra
Penari: Ashry Kus F, Tazkia, Hariny, Nia Sonia, R. Angga GS