
Filosofi Buku: Antara Kesadaran dan Kehancuran
Beberapa waktu yang lalu saya dihadiahi novel Victoria karya Knut Hamsun, penulis Norwegia yang meraih nobel sastra pada tahun 1920. Novel klasik yang awalnya saya kira tidak asik lagi untuk dibaca, karena pada tahun-tahun sekitar pemberian nobel itu, Jorge Luis Borges, dengan gaya yang lain bisa menulis dengan lebih ‘menarik’.
Memang gelar nobel Knut Hamsun bukan karena Victoria, yang menceritakan kegagalan percintaan sepasang kekasih karena perbedaan kasta. Mungkin cerita ‘Victoria’ sama saja dengan lakon William Shakespeare Romeo & Juliet sebelum itu atau Novel Buya Hamka Tenggelamnya kapal Van Der Wijk sesudah itu.
Tapi saya tetap berusaha mencari sesuatu dalam novel tersebut, mencari sesuatu yang tidak ada di dalam novel lain, sampai saya menulis tulisan ini, dan saya akan memulainya dari peristiwa kekinian.
Mungkin hadirnya Gojek, Uber, dll menggeser usaha transportasi konvensional. Mungkin hadirnya Toko Bagus, Buka Lapak, dll juga menggeser keadaan toko-toko di berbagai pusat perbelanjaan. Mungkin hadirnya media online mengganggu keadaan media cetak. Tapi mungkinkah sebuah buku tergeser kehadirannya dengan buku online?
Hmm. Mungkin sudah. Mungkin belum. Hmm. Mungkin akan. Jawaban saya antara ‘ya’ dan ‘tidak’ seperti keadaan pikiran setelah membaca filsafat.
Karena buku memang tidak bisa saya analogikan dengan mudah seperti hadirnya Gojek, Toko Bagus, dan media online. Buku adalah benda ajaib. Buku hanya berupa benda ketika belum dibaca. Setelah dibaca, sesuatu di dalam buku itu bisa berada di mana-mana, dalam diri kita.
Tanpa harus membeli, kita selalu bisa membaca buku misalnya ke perpustakaan atau meminjam buku seorang kawan, meskipun yang terakhir ini—seorang kawan—juga pasti membeli.
Dalam keadaan terdesak pun, kita bisa saja mencuri buku, seperti dalam film “The Book Thief” yang diinspirasi dari novel berjudul sama dengan filmnya, karya Markus Zusak. Cerita yang berlatar ganasnya perang dunia II, ketika Nazi membakar semua buku, tapi seorang gadis kecil bernama Liesel Meminger, dengan semangatnya, mengumpulkan (mencuri) berbagai buku, kemudian belajar membaca dan menulis di ruang bawah tanah dalam rumahnya.
Buku juga bisa dijadikan hadiah paling indah untuk seorang kekasih. Karena hadiah seperti pakaian suatu hari pasti mengecil, dan perhiasan mungkin terlalu mewah untuk beberapa orang. Tapi buku, meskipun hilang dari tangan pembacanya, pasti ada sesuatu yang tinggal dalam benak pembacanya.
Bagi beberapa orang, buku merupakan sebuah nyawa. Tanpa buku, Tan Malaka bukanlah Tan Malaka. Seperti bagian pendahuluan dalam Madilog pada judul “Perpustakaan”, ketika Tan Malaka menceritakan kehilangan buku-bukunya di setiap perjalanan, lalu mengumpulkannya lagi sekuat tenaga, kalau perlu katanya, makan bisa dikurangi.
Dan setelah itu semua, bagaimana pun kita harus setuju, negara Indonesia tidak akan berdiri tanpa adanya buku. Bahkan agama-agama juga tidak akan menyebar tanpa adanya kitab suci yang juga berupa buku.
Namun buku hari ini terombang-ambing antara ‘kesadaran’ ala Rene Descartes hingga ‘kehancuran’ ala Friedrich Nietzche. Kedua itu ibarat para pengguna buku yang tidak bisa dinilai begitu saja dengan mudah. Bisa saja pengguna yang suka membaca buku secara digital adalah ‘kesadaran’ dan begitu juga sebaliknya ‘kehancuran’.
Di awal tadi saya menganggap buku adalah benda ajaib. Benda ajaib karena setelah dibaca, buku menjadi ide baru dan pengetahuan. Sesuatu yang berada dalam setiap buku pindah ke dalam diri, dan akan menjadi pencarian di luar buku yang lain, sebelum nantinya menjadi dalam diri lagi, begitu selanjutnya dan seterusnya.
Dan itu fakta bahwa ada pengguna (pembaca) yang ingin terus mencari kebenaran dan kesempurnaan pengetahuan, ini adalah garis besar dari ‘kesadaran’ Descartes, dengan ilmu pengetahuan yang berada di dalam diri manusia, agar kemudian berfikir rasional. Dalam buku Filsafat dan Iman Kristen 1, Descartes membuat pandangan agar manusia tidak terperangkap dengan semua pengetahuan salah yang diterimanya selama ini dari luar, dan berusaha untuk mencari kebenaran pasti dengan nalar yang dimiliki manusia itu sendiri. Sehingga tidak ada lagi kemungkinan manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang salah. Hal itu bisa dilakukan dalam banyak melakukan proses membaca, kemudian meninggalkan itu semua, lalu berpikir.
Karena kemudian pertanyaannya adalah untuk apa sebenarnya—beberapa orang—melakukan baca sebanyak-banyaknya, hingga dalam sebulan bisa menghabiskan berpuluh-puluh buku. Hingga seperti Borges, penulis Argentina itu, melewati akhir hidupnya dalam keadaan buta.
Lalu ke mana nantinya benda ajaib itu mendarat setelah lama terombang-ambing? Apakah akan menyatu ke dalam ungkapan Nietzsche yang terkenal “Tuhan Sudah Mati.”, atau dengan pandangannya, bahwa diperlukan adanya sebuah ‘kehancuran’ total untuk perbaikan. Apakah ‘kehancuran’ total itu adalah peralihan semua buku ke dalam bentuk digital? Tidak juga, bisa jadi sebaliknya.
Terlalu banyak pertanyaan yang harus hati-hati dalam menjawab masalah perbukuan. Maka dari itu saya menganggap isi dalam masing-masing buku seluruhnya menuju kepada satu, dan isi dalam masing-masing buku itulah yang akan menentukan nasib buku sendiri ke depannya.
Apakah perpustakaan rumah kita akan berhenti pada buku yang terakhir kita beli, atau malah berpindah ke dalam piranti. Apakah anak, cucu, sampai cicitnya kita akan membaca karya karya-karya sastra Indonesia dan dunia lewat piranti.
Apakah perpustakaan rumah kita nantinya akan menjadi hard disk di sudut rumah atau di dalam kamar. Apakah kesadaran buku itu adalah kehancuran buku itu sendiri.
Saya meminta maaf apabila pembaca kebingungan, karena saya juga yang menulis masih dalam sistem kebingungan itu. Di satu sisi, memang buku menggunakan kertas, dari kayu, dari pohon, dari hutan. Di satu sisi, saya masih tidak bisa merasakan esensi dan emosi ketika membaca buku dari piranti. Di sisi yang lain, saya tidak tahu lagi, karena kita ada di sisi yang sama, sebenarnya.
Lalu apa hubungannya tulisan ini dengan novel Victoria karya Knut Hamsun yang saya singgung di atas?
Hubungannya adalah kalau saya tidak membaca Victoria saya tidak ada di sebuah sisi, tidak bakal berpikir mencari dan membaca karya Knut Hamsun yang lain, kemudian meninggalkan semua itu, kemudian berpikir lagi, dan mencari karya-karya penulis Norwegia yang lain. Dan yang kedua barangkali ‘Victoria Sudah Mati’ dan memang sudah mati, dalam ceritanya, tapi pembaca tidak boleh mati, walaupun di Indonesia, pembaca itu sepertinya sudah lahir.[]Jakarta, April 2016
Sorry, the comment form is closed at this time.
Fauzy Husni Mubarok
Kutipan paling favorit setelah aku baca ini: “Buku adalah benda ajaib. Buku hanya berupa benda ketika belum dibaca. Setelah dibaca, sesuatu di dalam buku itu bisa berada di mana-mana, dalam diri kita.”