Fb. In. Tw.

Film “Cinderella”, Dongeng yang Setia

Saya mengenal dongeng Cinderella ketika masih berusia 6 tahun, kelas satu sekolah dasar. Ketika itu ibu menceritakannya dengan begitu singkat, ibu mencoba menstimulus saya berimajinasi sendiri tentang Cinderella.

Dalam imajinasi saya ketika itu, Cinderella adalah seorang gadis yang baik hati dan tulus. Dia memiliki ibu tiri dan seorang saudara perempuan, ketika itu saya benar-benar tidak tahu nama saudari tiri dari Cinderella itu siapa. Ibunya begitu kejam dan selalu menyiksa Cinderella, tapi Cinderella tak pernah melawan. Dia selalu melakukan apa yang diperintahkan ibunya dengan tulus. Setiap perbuatan akan menuai hasilnya sesuai dengan apa yang dia perbuat.

Mungkin juga waktu itu dalam benak saya ketulusan hati Cinderella berbuah manis dengan dipertemukannya dia dengan seorang peri untuk membantu Cinderella dalam berbagai hal. Sampai pada akhirnya Cinderella bertemu dengan seorang pangeran lalu dia menikah dengan pangeran tersebut. Bayangan saya hanya sampai demikian tentang Cinderella.

Namun, rupanya transformasi dongeng Cinderella mengubah semua imajinasi kecil saya. Dongeng yang notabene diceritakan dalam bentuk gambar di sebuah buku cerita ataupun ketika difilmkan hanya berupa tayangan komikal kini menjadi wujud yang senyata-nyatanya. Dengan kata lain, dongeng Cinderella kini hadir dengan tayangan yang lebih nyata dan cerita yang lebih kompleks.

Film Cinderalla arahan sutradara Kenneth Branagh yang dirilis pada 13 Maret 2015 ini tak mengubah  cerita dan mencoba untuk tetap setia dengan sumber aslinya. Namun, dongeng tersebut mengalami perubahan untuk mendapatkan daya tarik yang kuat dan menyesuaikan dengan keinginan pasar, cerita-cerita usang itu diubah dengan adanya peremajaan karakter, lebih gelap, seakan dongeng tersebut memiliki cerita yang lebih multidimensional daripada sebelumnya.

Dalam film tersebut dongeng diceritakan lebih rinci dan alurnya lebih berkembang. Bagi yang sudah mengenal dongeng Cinderella, pasti sudah sangat tahu seperti apa persisnya cerita dari Cinderella ini. Bermula dari Ella (Lily James) yang hidup bahagia dengan kedua orang tuanya, tetapi sang Ibu harus meninggalkan Ella karena sakit yang berkepanjangan. Setelah beberapa tahun, sang Ayah bertemu dengan seseorang bernama Lady Tremaine (Cate Blanchett). Wanita yang sedang digila-gilai oleh ayah Ella ini memiliki dua anak, yaitu Drisella (Sophie McShera) dan Anastasia (Holliday Grainger). Mereka pun menikah dan Ella kembali memiliki sosok ibu di dalam hidupnya.

Namun, ketika sang Ayah kembali merantau, berita buruk menghampiri Ella. Sang Ayah meninggal saat perjalanan kembali ke rumah karena sakit yang tak kunjung sembuh. Ibu tiri Ella dan kedua kakak tirinya menganggap Ella sebagai seorang pembantu yang harus melayaninya setiap saat. Di tengah penderitaannya, Ella bertemu dengan seorang pangeran tampan bernama Kit (Richard Madden) dan dia jatuh cinta padanya.

Kenneth benar-benar cukup berani mengambil risiko ketika film miliknya itu benar-benar sangat setia dengan dongeng aslinya. Bagaimana tidak, Cinderella versi Kenneth itu tak menyuguhkan sesuatu yang berbeda dengan dongeng yang sudah sering penontonnya dengar, sehingga penonton merasa tak memiliki alasan untuk harus menyaksikannya dalam layar besar.

Namun, kerjasama yang terjalin antara sutradara (Kenneth Branagh) dan penulis (Chris Weitz) cukup berhasil. Cinderella pun dikemas dan ditayangkan dalam bentuk semenarik mungkin sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton untuk menyaksikan film tersebut. Chris tak perlu bersusah payah untuk mengubah dan memperluas tuturan menjadi lebih dewasa dari dongengnya. Chris mampu merekap cerita yang sudah usang itu menjadi sajian dengan tutur yang sangat lembut tanpa meninggalkan kemagisan dongeng aslinya. Dengan durasi 120 menit milik Cinderella ini adalah cara instan untuk mendapatkan cita rasa klasik dongengnya.

Dalam film ini Cinderella berhasil menyajikan sesuatu yang sederhana. Cinderella garapan Kenneth Branagh ini seolah berhasil dan cukup kuat mengeluarkan daya magisnya dan menciptakan suasana negeri dongeng yang kental dari setiap scene yang ditayangkan. Chris Weitz juga mewarnai dialog-dialog dengan cerdas tanpa menunjukkan kemewahan serta glamour pada karakter Cinderella yang anggun itu.

Memang tak melulu cerita milik Kenneth Branagh ini sangat setia dengan sumber aslinya. Lewat naskah milik Chris Weitz juga, cerita Cinderella menjadi lebih kaya cerita dan berkembang dibandingkan dongeng sebelumnya. Cerita usang yang hadir pada masa terdahulu bertransformasi menjadi cerita yang kaya akan makna. Poin pentingnya yang tidak kalah menyegarkan dongeng ini adalah pengembangan karakternya pun menjadi realis berbeda dengan dongeng yang sudah lumrah kita lihat. Beberapa karakter terutama karakter antagonis menjadi lebih multidimensional dan berhasil menyuguhkan karakter yang sebenarnya bertujuan mengekspansi tetapi masih dalam kategori batas wajar. Tidak menjadikan sudut pandang menjadi terlalu berlebihan, tetapi lebih kepada menunjukkan sisi kepekaan dari setiap karakternya.

Cerita yang disajikan menjadi lebih kompleks dan ada titik perbedaan di mana dalam cerita Cinderella versi Kenneth Branagh ini tak hanya menjual mimpi seorang gadis untuk mendapatkan pria idamannya. Namun, ada proses permainan alur yang menarik, Kenneth menghadirkan sisi emosional tentang keluarga, berbuat baik, keberanian, dan cinta yang tak hanya berasal dari pasangan, tetapi dari siapapun itu. Selain itu, sang sutradara berhasil menyampaikan setiap detail pesan dengan sangat baik kepada penikmat film tersebut dan penonton juga sangat bisa mendapati pesan itu sebagaimana Kenneth mengarahkan dengan kuat film itu.

Performa hebat dari para aktor dan aktrisnya seakan memiliki daya magis lainnya. Lily James sangat berhasil menjadi sosok yang begitu dengan mudah mendapat simpati penonton saat memerankan Cinderella. Begitu pula dengan Cate Blanchett yang tak perlu diragukan lagi memerankan sosok antagonis. Penampilan singkat tapi memikat  dari Helena Bonham Carter sebagai Fairy God Mother juga dapat menarik perhatian penonton dan memunculkan daya hibur tersendiri.

Pada akhirnya, Kenneth Branagh tak perlu berambisi kuat untuk menjadi lebih besar dari sumber dongeng aslinya, Cinderella garapan Kenneth Branagh ini berhasil merangkum dan mencapai segala kemagisan sumber aslinya. Tidak hanya menceritakan kembali, tetapi juga memperkaya cerita dengan menyisipkan pesan-pesan tentang mimpi dan harapan. Maka, Cinderella menjadi  sebuah bukti bahwa tak perlu berambisi untuk mengekspansi dan megubah tuturan menjadi lebih dewasa dari sebuah dongeng. Cukup setia dengan sumber, bertutur dengan lembut dan arahan yang kuat, akan ada sebuah keajaiban datang ke dalamnya.

Beranilah dan jadi baik hati, maka kau mudah meraih segala yang kau inginkan dengan memuaskan. Itulah salah satu pesan ibu Ella kepada Ella sesaat sebelum ibunya meninggal dunia.  Mari menjadi berani dan baik hati, agar tidak hanya mendapatkan pangeran tapi juga menjadi permasuri dari setiap kebaikan.[]

KOMENTAR

Pecinta dongeng dan anak-anak. Kini aktif sebagai pegiat BIPA (Bahasa Indonesia Penutur Asing). Pernah mengajar Bahasa Indonesia dalam program Language Assistant Program (LAP) di Melbourne, Australia

You don't have permission to register