
Festival Lebaran Betawi dan Narasi Masyarakat yang Terpinggirkan
“Selamat Datang dalam Pagelaran Budaya”, begitu kalimat berukuran besar yang terbaca di gerbang masuk jalan kecil itu. Satu-dua petugas jaga yang memakai pakaian khas Betawi, lengkap dengan peci merah dan replika golok yang terselip pada sebuah ikat pinggang berukuran besar, berdiri di sekitarnya sembari mengatur lalu-lintas motor yang hendak parkir dan keluar. Tampak pula dua ondel-ondel besar diletakkan di sisi kiri dan kanan bibir jalan menuju area festival. Sambil berdesakan dengan calon-calon pengunjung lain, saya melangkah mendekat. Ah, tak sabar rasanya untuk segera berada di pusat keramaian dan menikmati keseluruhan acara.
Acara yang saya datangi malam itu (8/8/2015), berjudul “Festival Lebaran Betawi”. Berlokasi di gang kelurahan Jurangmangu Barat, Pondok Aren, Tangerang Selatan, perayaan ini digagas oleh komunitas Lingkar Masyarakat Berbudaya Betawi (Limabeta), serta didukung penuh oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kota Tangerang Selatan.
Frasa ‘lebaran Betawi’ sendiri diambil dari nama sebuah tradisi khusus, yaitu kebiasaan seorang yang lebih muda untuk memberi anteran (benda pemberian yang dihantarkan) kepada seorang yang lebih tua, saat bersilaturahmi di bulan Syawal. Dari poster yang beredar, baik di pinggir-pinggir jalan seputar area maupun di media-media maya, dapat diketahui bahwa festival ini diselenggarakan sebagai sebuah upaya pengenalan serta pelestarian budaya Betawi, khususnya yang hidup di Tangerang Selatan.
Hal yang perlu diperhatikan ialah, acara ini diprakarsa dan digerakkan oleh orang-orang Betawi sendiri, khususnya komunitas Limabeta regional Tangerang Selatan. Satu-dua pertanyaan kemudian muncul di benak saya. Bagaimana bisa acara seperti ini justru dimunculkan dan digelar di Pondok Aren, sebuah kecamatan yang berada cukup jauh dari pusat kota Jakarta? Bukankah Jakarta selama beratus tahun dikenal sebagai rumah bagi masyarakat Betawi?
Apakah ini salah satu bukti bahwa anggapan umum yang menyatakan orang-orang Betawi merupakan masyarakat yang tergusur dari kampung halamannya sendiri itu benar? Sembari berjalan serta memperhatikan para pedagang kerak telor dan dodol Betawi yang berjualan, pikiran saya melayang-layang.
Saya lalu ingat, bagaimana Hisanori Kato dalam memoarnya yang berjudul Islam di Mata Orang Jepang mengilustrasikan kondisi sosio-kultural masyarakat Betawi di Jakarta melalui sosok Eka Jaya, seorang pengurus FPI yang lahir, tumbuh dewasa, dan—hingga memoar itu ditulis—bermukim di bilangan Kemang. Jangan bayangkan area Kemang yang Eka tinggali sebagai deret apartemen mewah, restoran-restoran mahal, serta butik-butik yang hip. Kemang tempat Eka bermukim ialah sebuah area sempit di balik gedung, yang hanya bisa diakses melalui gang-gang kecil serta berkelok, dengan selokan beraroma tak sedap di kedua sisinya.
“Betawi adalah masyarakat yang terpinggirkan”, tutur Eka pada sang penulis memoar. Dan, jika kita coba bandingkan pemukiman padat Eka dengan kemewahan di jalan-jalan protokol Kemang, rasanya tidak ada yang keliru dari ungkapan itu.
Masyarakat Betawi terhimpit, justru oleh pembangunan di kampung halamannya sendiri. Tidak heran jika kemudian banyak orang Betawi yang bergeser tempat tinggal menuju lokasi-lokasi lain di luar Jakarta, seperti Pondok Aren dan sekitarnya. Penggagas dan panitia penyelenggara “Festival Lebaran Betawi” ialah sedikit dari sekian banyak contoh.
Langkah saya tiba di ujung jalan dan saya mendapati diri saya telah melalui keseluruhan area festival. Saya berjalan berbalik arah. Kini saya bisa memetakan berbagai barang dagangan serta jajanan yang dijual di sepanjang sisi jalan. Selain kerak telor dan dodol Betawi, saya sempat melihat bir pletok diperdagangkan.
Ada juga lapak-lapak yang menyediakan kaos oblong bergambar Benyamin Sueb yang tengah berpose, lengkap dengan pakaian Betawinya yang khas. Namun, seramai-ramainya lapak-lapak tersebut, tidak ada satu pun yang tampak seramai lapak penjual batu akik. Jika dihitung, ada 3 atau 4 lapak jenis ini di area festival dan kesemuanya meriah dirubung para pengunjung. Luar biasa.
Setelah melanjutkan perjalanan, langkah saya terhenti di depan panggung utama, tempat pertunjukan lenong akan segera dilangsungkan. Lakon lenong di hadapan saya berjudul “Mantan Rampok Naik Haji”. Dari judulnya, penonton akan segera tahu bahwa pertunjukkan itu bercerita tentang kawanan perampok yang di akhir kisah bertobat, hingga akhirnya mendapat kesempatan untuk berangkat ke tanah suci. Pada titik ini, saya tersadar akan makna yang sejatinya menyusup lembut, merambat, dan menyeruak dari tiap ekspresi serta narasi kedaerahan yang hadir di festival itu. Festival Lebaran Betawi jelas sedang mengutarakan sesuatu.
Konsep “rampok” menyimpan makna tentang rasa amarah, tindak-tindak kekerasan, juga kesenjangan sosial. Mengapa kesenjangan sosial? Bagaimanapun juga—dengan sedikit pengecualian di beberapa kasus tentu saja—aktivitas merampok selalu melibatkan tiga hal: harta kekayaan (objek rampok), yang dirampok (pemilik kekayaan/orang kaya) dan yang merampok (bukan pemilik kekayaan/orang papa).
Persoalan ini tampak mewakili situasi yang dihadapi Eka Jaya atas kampung halamannya, bukan? Begitulah. Tapi, hal yang membuat narasi lenong menjadi lebih menarik lagi, setidaknya bagi saya, adalah hadirnya agama sebagai variabel penyelesai masalah. Secara lebih spesifik, cerita Lenong menempatkan unsur keagamaan sebagai faktor yang membuat para rampok berhenti melakukan aksi-aksi keras mereka.
Simpulan atas cerita Lenong kemudian dapat dirumuskan menjadi satu deret kalimat: kesenjangan sosial berakibat pada munculnya rampok dan aksi perampokan, kemudian hal tersebut dapat dinetralisasi oleh agama. Rampok serta berbagai ekspresi perlawanan yang keras itu akhirnya redam.
Contoh mengenai hal tersebut dapat saya lihat melalui kawan saya. Ia seorang Betawi asli yang berprofesi sebagai guru ngaji. Ia lahir, tumbuh dewasa, dan tinggal hingga kini di rumahnya yang terletak tak jauh dari area Festival Lebaran Betawi. Jika kamu bertemu dan menyempatkan bercakap dengannya, kamu akan tahu betapa ia merupakan pribadi yang hangat juga lembut. Tidak pernah satu kali pun saya dengar terucap dari dari tutur-katanya, ekspresi-ekspresi perlawanan serta ketidakterimaan atas kondisi masyarakat Betawi yang terpinggirkan. Ia terkesan menyimpan kesabarannya dengan begitu hebat. Juga, ia terlihat telah lama berdamai atas persoalan tersebut.
Tapi toh kita tak boleh lupa, sosok Eka Jaya dalam memoar Hisanori Kato yang merupakan anggota FPI, kelompok beridentitas agama yang dikenal luas kerap melakukan aksi-aksi anarkistis. Melalui hal ini, agama pada akhirnya serupa dua sisi mata uang. Pada satu sisi, agama dapat melunakkan perlawanan. Namun, pada sisi yang lain, agama ternyata dapat juga dijadikan pembenaran atas dorongan untuk melakukan aksi-aksi perlawanan yang sama kerasnya, jika kita bandingkan dengan perampokan dalam cerita lenong.
Kembali ke area festival, setelah membeli satu-dua buah tangan untuk dibawa pulang, saya berjalan meninggalkan gang kelurahan itu dengan pikiran yang masih tak keruan.
Tahun demi tahun berjalan pembangunan di ibu kota dan sekitarnya terus melebarkan area-area suburban Jakarta. Proses itu tampak tak pernah selesai mencukupkan dirinya sendiri. Satu hal yang lalu dapat terlihat ialah, pembangunan tak pernah berpihak pada orang-orang Betawi, sang “penduduk asli” itu. Pada kisah teman saya si guru ngaji, misalnya, kondisi telah menjadi begitu ironis kini—setelah di masa lalu kakek atau buyutnya mungkin telah tergusur dari pusat kota Jakarta—dirinya harus bertahan melihat kampung kelahirannya di Pondok Aren kembali “dibangun” menjadi daerah permukiman mewah bernama Bintaro Jaya.[]