
Festival 7 Sungai Bukan Hanya Soal Event Wisata
“Seharusnya, di desa ini bisa dilakukan arung jeram, Kang. Sungainya cocok.”
“Bisa, di sini hanya tidak ada buat guide saja,” sambar Arif, ketika saya melontarkan pernyataan. Arif berprofesi guide arung jeram di kecamatan sebelah.
“Desa ini dialiri tujuh sungai lho, masa Kang Arif malah jadi guide di tempat lain,” saya mengejar. Arif hanya tersenyum. Matanya memandang jauh, menyusuri deras air sungai Cikembang tempat kami berbincang.
Arif menuturkan, untuk terselenggaranya wisata arung jeram dibutuhkan beberapa sarana pendukung; pemandu yang terlatih dan berpengalaman, perahu, dan perlengkapan pendukung seperti helm dan rompi pelampung, serta fasilitas pendukung lain seperti akses jalan dan rumah tinggal untuk beristirahat.
“Itu baru hal-hal teknis yang memang berhubungan langsung dengan arung jeram. Arung jeram bukan soal adrenalin saja, Kang. Tapi juga soal keasrian alam. Kalau sungai banyak sampah?” Arif menghela nafas lalu melanjutkan, “soal sampah bagaimana? Tamu akan berpikir dua kali untuk main, kalau sungainya penuh plastik bekas shampo atau Indomie. Jadi memiliki tujuh sungai saja tidak cukup. Ini soal menjaga tradisi.”
“Tapi komitmen pemerintahan desa bagus kok.” Saya menimpali.
“Yang harus paling berperan kan warga. Sampah kan dari warga. Warga yang harus aktif menjaga sungai.” Arif menutup percakapan kami.
Desa Cibuluh, kecamatan Tanjungsiang, kabupaten Subang adalah desa yang dialiri tujuh sungai sekaligus. Mulai dari Cipunagara, Cikaruncang, Cikembang, Cileat, Citeureup, Cinyaro, dan Cilandesan. Ketujuh sungai itu memiliki debit air yang terus terjaga meski dilanda kemarau panjang. Kualitas air sungai pun masih sangat baik. Arung jeram hanya sedikit dari potensi wisata yang bisa dikembangkan di desa Cibuluh.
Pemerintahan desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BumDes) berupaya mendorong agar desa Cibuluh menjadi desa wisata yang mengangkat karakter budaya Sunda. Budaya Sunda dipilih karena desa Cibuluh memiliki karakter masyarakat pedalaman Sunda yang lebih statis (lambat). Berbeda dengan masyarakat Sunda di Subang utara yang lebih dinamis. Sehingga hal ini memungkinkan masyarakatnya untuk teguh memegang tradisi Sunda secara berkelanjutan.
Upaya BumDes Cibuluh menjadikan kekayaan budaya Sunda sebagai daya tawar wisata merupakan hal yang realistis. Sungai salah satu daya tawar itu. Event Festival 7 Sungai salah satu bentuk kegiatannya.
“Sungai itu isu strategis, Kang,” ucap Bambang Subarnas tempo hari. Bambang Subarnas adalah pendamping desa Cibuluh dari Bale Budaya Bandung. Kami berbincang di depan hawu menunggu bubuy sampeu matang.
“Mimpi kami, event Festival 7 Sungai itu menjadi event Jawa Barat atau bahkan event nasional,” Bambang Subarnas melafalkannya dengan yakin. Keyakinan yang hanya dimiliki oleh orang dengan semangat berapi-api.
“Festival 7 Sungai bukan hanya soal event wisata. Namun juga soal komitmen kita terhadap alam. Agar sungai tetap lestari. Agar budaya Sunda tetap terjaga.” Mendengar kata-kata Pak Bambang, saya jadi ingat sungai Citarum.
“Dan, yang lebih penting, saya tidak ingin Cibuluh hanya jadi desa wisata biasa. Warga Cibuluh harus menjadi tuan di kampungnya sendiri. Ekowisata atau apapunlah namanya, harus merasa dimiliki oleh warga. Boleh ada investasi, tapi bukan untuk memiliki, merusak apalagi menjajah.”
Apa yang diucapkan terakhir oleh Bambang Subarnas saya kira jawaban mutlak. Sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Terlalu banyak contoh bahwa sebuah desa wisata pada akhirnya hanya milik para pemodal. Warga hanya menjadi kuli dan penonton. Kini saatnya, masyarakat mengelola dan menjadi tuan di tanahnya sendiri.[]