Faiz Ahmed Faiz, Penyair Revolusioner Pakistan
Faiz Ahmed Faiz merupakan penyair Urdu terbesar abad ke-20. Ia merupakan penyair revolusioner, intelektual sayap kiri, dan anggota penting Gerakan Penulis Progresif Pakistan. Ia pernah dinominasikan untuk Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1984.
Namun, kedekatannya dengan pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yasser Arafat, serta keterlibatannya sebagai editor Lotus (majalah penulis Asia-Afrika yang didanai Uni Soviet, PLO, Jerman Timur, dan Mesir) membuatnya tak pernah sampai ke puncak Nobel Sastra. Media-media Pakistan menyebut kontrol zionis di panitia Nobel membuatnya tak mendapatkan penghargaan tersebut.
Selain sebagai penyair, Faiz sangat aktif dalam gerakan sosial di Pakistan. Ia merupakan salah seorang pendiri Partai Komunis Pakistan yang dibentuk pada tahun 1947. Ia juga dikenal sebagai penentang fundamentalisme agama dan militer di Pakistan.
Salah satu puisi Faiz yang paling terkenal adalah “Hum Dekhenge”. Puisi ini bahkan menjadi semacam lagu revolusi bagi rakyat Asia Selatan.
We shall see
Certainly we, too, shall see
that day that has been promised to us
When these high mountains
Of tyranny and oppression
turn to fluff and evaporate
And we oppressed
Beneath our feet will have
this earth shiver, shake and beat
And heads of rulers will be struck
With crackling lightening
and thunder roars.
When from this God’s earth’s (Kaa’ba)
All falseness (icons) will be removed
Then we of clean hearts-condemned by Zealots
those keepers of Faith,
We, will be invited to that altar to sit and Govern-
When crowns will be thrown off- and over turned
will be thrones
We shall see
Certainly we, too, shall see
that day that has been promised to us
The God’s name will remain (Allah will remain)
Who is invisible and visible too
Who is the seer and is seen
There will rise one cheer- I am God!
Who I am too
and so are you
Then the masses, people of God will rule
Who I am too
and so are you
There will rise one cheer- I am God!
Who I am too
and so are you
(Diterjemahkan dari bahasa Urdu ke bahasa Inggris oleh Maniza Nafqi, pengarang Pakistan, di The Times of India)
Faiz lahir di Sialkot, Punjab, 13 Februari 1911. Tanah kelahirannya pada saat itu masih berada di bawah koloni Inggris dengan nama India Britania. Ia beruntung terlahir dari keluarga berkecukupan. Ayahnya, Sultan Muhammad Khan, merupakan penulis dan pengacara yang tergabung dalam lingkaran kesusastraan bersama penyair nasional Pakistan Muhammad Iqbal. Ibunya bernama Sultan Fatima.
Sultan Muhammad Khan adalah orang yang cukup berpengaruh terhadap karir Faiz di masa depan. Dialah yang mengajari Faiz dasar-dasar bahasa Urdu, Arab, dan Persia. Terutama bahasa Urdu, bahasa yang kemudian digunakan untuk menulis puisi-puisinya.
Faiz mula-mula sekolah di madrasah dekat rumahnya. Namun, karena penampilannya yang mencolok membuatnya jadi bahan ejekan teman-temannya yang kebanyakan berasal dari kalangan tidak mampu. Padahal ia sudah berusaha bersahaja supaya dapat berteman dengan anak-anak di madrasah tersebut. Akhirnya, ia tidak mau belajar lagi di madrasah tersebut.
Mengetahui hal itu, sang Ayah akhirnya mendaftarkan Faiz ke sekolah sekuler, yaitu Skotch Mission School, sebuah sekolah yang dikelola oleh keluarga Inggris. Ia kemudian melanjutkan pendidikan menengah di Murray College. Pada 1926, Faiz melanjutkan kuliah dan meraih gelar Sarjana dan Master Bahasa Arab di kampus tempat penyair besar Muhammad Iqbal pernah kuliah, yakni Government College Lahore pada 1932.
Tiga tahun kemudian, ia mengajar di Muhammadan Anglo Oriental College di Amritstar, kemudian di Hailey College of Commerce di Lahore. Setelah tujuh tahun berkpirah sebagai akademisi, Faiz meninggalkan kampus untuk bergabung dengan British Indian Army (Angkatan Darat India Britania). Dia mendapatkan Medali Kerajaan Inggris atas jasanya selama Perang Dunia II. Selepas 1947, Faiz mengundurkan diri dari dunia militer dan menjadi editor di The Pakistan Times, koran berideologi sosialis berbahasa Inggris.
Pada 1951, Faiz ditangkap atas keterlibatannya dalam upaya kudeta pimpinan Mayor Jenderal Akhbar Khan untuk menggulingkan Perdana Menteri pertama Pakistan, Liquiat Ali Khan. Upaya kudeta tersebut masyhur dengan sebutan Konspirasi Rawalpindi. Ia didakwa hukuman seumur hidup. Ia pun harus merasakan hidup dalam penjara. Empat tahun kemudian, ia kembali dapat menghirup udara kebebasan. “Masuk penjara seperti jatuh cinta lagi,” kata Faiz ketika diwawancarai mengenai pengalamannya selama di penjara oleh A. Rehman di Herald.
Dua buah buku puisinya, Dast-e Saba dan Zindan Namah, merangkum kehidupannya selama menjadi tahanan politik. Baginya, hidup dalam penjara memberikan kesempatan untuk melihat dunia dengan cara yang lain. Selepas dari penjara, Faiz ditunjuk menjadi anggota Dewan Seni Nasional pada masa pemerintahan Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto.
Selain dibaca di India dan Pakistan, puisi-puisi Faiz diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Ia menjadi penulis Asia pertama yang meraih Lenin Peace Prize (Penghargaan Perdamaian Lenin) 1963. Penghargaan yang juga pernah diberikan Uni Soviet kepada presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, pada tahun 1960.
Pada 1964, Faiz menetap di Karachi dan diangkat menjadi kepala sekolah Abdullah Haroon College. Selain aktif di sekolah ia juga bekerja sebagai editor dan menulis untuk beberapa surat kabar dan majalah terkemuka di Pakistan.
Pada 1965, Faiz ditunjuk sebagai penasehat kehormatan untuk Departemen Informasi selama perang antara Pakistan dan India, yang kemudian melahirkan negara Bangladesh. Namun ketika rezim Zulfikar Ali Bhutto digulingkan oleh Muhammad Zia ul-Haq pada 1971, Faiz diasingkan ke Beirut, Lebanon.
Di Beirut, ia menjadi penyunting majalah Lotus dan tetap menulis puisi dalam bahasa Urdu. Selama mengelola majalah tersebut, ia memperkenalkan sensisibilitas Asia Selatan. Ia tinggal di pengasingan hingga tahun 1982.
Puisi-puisi awal Faiz cukup konvensional, penuh dengan ungkapan perasaan mengenai kehidupan dan keindahan. Namun, semenjak hijrah ke Lahore, ia mulai terjun ke dunia politik, mengamati kehidupan masyarakat, lantas memadukannya menjadi tema dalam karya-karyanya. Pada masa itu juga, ia menikahi Alys George, ekspatriat Inggris yang kemudian menjadi seorang mualaf. Bersama Alys, mereka dikaruniai dua orang anak.
Sepanjang hidupnya yang gelisah, Faiz sangat produktif menulis puisi dalam bahasa Urdu. Tiga belas buku puisi telah ia terbitkan semasa hidupnya. Menjadikannya sebagai penyair Urdu paling berpengaruh, tak hanya di Pakistan, tetapi juga di India. Puisi-puisinya dianggap telah melampaui Ghalib, penyair Urdu abad ke-19.
Secara khusus, Faiz dirayakan untuk puisi-puisinya dalam bentuk bahasa Urdu tradisional, seperti puisi cinta ghazal, dan kemampuannya menyiratkan isu-isu sosial dan politik.
Faiz wafat pada 20 November 1984 di Lahore, tak lama setelah diumumkan sebagai nominator peraih Nobel Sastra. Puisi-puisinya menjadi warisan bagi rakyat Pakistan juga masyarakat dunia.[]
Sumber:
“Faiz Ahmed Faiz: Life and Poetry”, Dawn.com
“Going to Jail was like Fallin in Love Again”, Herald.dawn.com
“Faiz Ahmed Faiz”, Poets.org
“Sacred Space: Hum Dekhenge”, Indiatimes.com
”You Had No Address” Faiz Ahmed Faiz in Beirut, Caravanmagazine.com
Poems by Faiz, translated by V.G. Kiernann, Vanguard Books, 1971