Estetika Partisipatori Seni Bandung #1
Seni Bandung, belakangan ini santer dibicarakan pada media sosial oleh para seniman, sastrawan, perupa, bahkan sampai aktivis. Berbicara Seni Bandung, atau katakanlah event yang dinahkodai oleh pemerintah pasti menimbulkan pro dan kontra.
Pro dan kontra pada kegiatan, saya nilai sesuatu hal yang wajar. Dan memang harus demikian, untuk kelangsungan dinamika berkesenian. Maksud saya, kritik-kritik yang dilontarkan kepada Seni Bandung atau para seniman dan sastrawan yang terlibat di Seni Bandung, tentunya harus dijadikan semacam tanggung jawab. Atau merealisasikan ide-ide perubahan sosial dalam konstelasi seni partisipatori. Seperti yang diusung pada Seni Bandung ini.
Analisis Sosial
Masalah yang terjadi di kota-kota besar adalah masalah struktural dan kultural. Termasuk di Bandung. Oleh karena itu, seniman dan sastrawan yang terlibat diarahkan pada masalah-masalah yang terjadi di daerah yang ada di Kota Bandung. Lebih jauhnya lagi dapat mengubah tatanan sosial baik secara stuktural maupun kultural.
Perubahan sosial menjadi capaian tertinggi dari partisipatori. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah seniman dan sastrawan dapat melakukannya dalam waktu yang sangat singkat? Saya kira jawabannya tidak.
Seniman dan sastrawan tidak mempunyai kebijakan seperti walikota yang dapat dengan mudah gusur menggusur hunian juga lapak pedagang kaki lima, dengan alasan kumuh. Seniman dan sastrawan tidak bermain pada wilayah kebijakan, mereka justru berada dalam tubuh masyarakat. Memperbaiki tatanan sosial dari dalam. Pelan-pelan, namun pasti. Seperti yang dilakukan oleh Romo Mangun pada tahun 1983 membangun kampung kumuh di kawasan Kali Code.
Partisipatori adalah keterlibatan objek secara penuh. Atau dalam pandangan Davis dan Newstrom partisipatori adalah keterlibatan mental dan emosional orang-orang dalam situasi tertentu. Partisipatori secara umum dapat diartikan keterlibatan seseorang dalam suatu kegiatan, baik secara langsung maupun tidak langsung atau suatu proses identifikasi diri seseorang untuk menjadi peserta dalam kegiatan yang diselenggarakan bersama pada situasi masyarakat tertentu.
Partisipatori dalam konteks Seni Bandung memang tidak begitu jelas arahnya ke mana. Asumsi saya, partisipatori yang diinginkan oleh Seni Bandung adalah adanya keikutsertaan atau keterlibatan masyarakat. Atau peran masyarakat dalam mengambil bagian atau turut serta dalam menyumbangkan tenaga dan pikiran pada kegiatan. Terutaman keterlibatan ego. Apabila memang demikian, betapa mulia tujuan dari Seni Bandung. Sebab seni di posisikan bukan lagi berada dikalangan dewa-dewa Olimpus, melainkan bagian dari masyarakat.
Seniman dan sastrawan diposisikan menjadi alat analisis dan perubahan sosial. Tentunya lewat pemikiran-pemikirannya yang dituangkan melalui karya. Bahkan ada seniman dan sastrawan yang memang hidup bersama masyarakat, sehingga perubahan yang terjadi pada wilayah tersebut menjadi nyata. Maksud saya, seniman dan sastrawan ini kemudian menjadi aktivis yang menggerakan masyarakat.
Residensi Sastra
Sastrawan yang mengikuti residensi Seni Bandung dapat dikategorikan sebagai sastrawan muda. Atau saya hilangkan dikotomi muda dan tua, sastrawan di bawah usia 35 tahun yang aktif dan berproses di Bandung. Baik yang menulis dengan bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Sunda. Sebanyak 33 orang awalnya, namun ada beberapa yang mengundurkan diri dengan alasan yang beragam.
Peserta residensi kemudian diberi hak dan kewajiban selama kegiatan Seni Bandung ini. Kewajiban dari peserta residensi tentunya karya yang lahir dari keresahan atau masalah yang terjadi di tubuh masyarakat. Baik secara struktural maupun secara kultural. Zulkifli Songyanan misalnya, ia menyoroti masalah-masalah yang terjadi di daerah Ledeng. Yaitu tentang air dan bangunan-bangunan yang mulai tumbuh subur di sekitar Ledeng. Anisa Isti, mengangkat masalah yang terjadi di Stasiun Andir juga Stasiun Bandung. Rendy Jean Satria, menemukan masalah pada gedung-gedung kesenian yang ada di Bandung. Dian Hartati tentang taman. Dian Hardiana mengangkat masalah transgender (waria). Evi Sri Rezeki mengangkat masalah yang terjadi pada kalangan generasi z. Rangga Abdul Aziz mengangkat masalah stigma pada masyarakat Kiaracondong. Kawan-kawan yang lainnya ada yang mangangkat masalah air, ada pula yang mengangkat masalah pekerja seks komersial di Saritem, dan lain sebagainya. Saya sendiri mengangkat perseptif kota yang terjadi di kawasan Cicadas, lebih tepatnya daerah Sekepondok 3.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat kemudian akan dituangkan lewat puisi dan cerpen dalam bahasa Indonesia juga Sunda.
Tanggung jawab yang kami emban tentunya sangat berat. Terlebih pertanggungjawaban kepada masyarakat. Tapi setidaknya kami telah memberikan dengan penuh khitmat kerja-kerja partisipatori juga pemikiran yang dituangkan pada karya. Sebab seperti yang dikatakan oleh Goenawan Mohamad pada puisi yang berjudul Potret Taman untuk Allen Ginsberg
Ia mencari seakan ia tahu apa yang ia
Ingin temukan dan tiba-tiba ia menuliskan:
“Revolusi, Revolusi, Tak Bisa Dipesan Hari Ini”[]