Enam Bulan Pasca Penggusuran, Bagaimana Nasib Warga Kebon Jeruk?
Enam bulan bukan waktu yang singkat bagi warga Kebon Jeruk, Stasiun Barat Bandung. Enam bulan yang lalu, tepatnya pada 27 Juli 2016, mereka harus kehilangan tempat tinggal sekaligus tempat mencari nafkah. Sejak saat itu, warga hidup tak menentu.
Sekitar lebih dari 1.200 personel aparat gabungan polisi, polisi pamong praja, polisi khusus kereta api, dan tentara, dikerahkan untuk meratakan pemukiman mereka. PT Kereta Api Indonesia (KAI) mengklaim sebagai pemilik sah sepetak tanah itu. Ironisnya, PT KAI tak sanggup menunjukkan bukti kepemilikan atas sepetak tanah itu.
Di sela-sela acara Panggung Rakyat yang digelar Komite Rakyat Kebon Jeruk dan Solidaritas Rakyat untuk Demokrasi (SORAK), Jumat (27/1/2017) lalu, saya bertemu dengan Rosyid (50 tahun) yang merupakan salah satu korban dampak gusuran. Rosyid bercerita kepada kami dengan terbuka tentang penggusuran yang diisntruksikan PT KAI tersebut.
“Mereka (aparat gabungan) mengepung kami seperti mau menggerebek teroris. Kami baru tahu kalau mereka ternyata mau menggusur kami,” tutur Rosyid. Ia beserta warga lainnya tak menduga jika aparat gabungan yang dikerahkan adalah untuk mengusir mereka.
“Sebelumnya ada pertemuan yang dihadiri oleh warga Kebon Jeruk, Komisi A, C, D DPRD Bandung, PT KAI, Muspika, dan Mustida. Pertemuan itu menyepakati bahwa warga Kebon Jeruk tidak akan digusur. Tiba-tiba setelah lebaran kami digusur,” tuturnya.
Rosyid memang mengakui tak merasa memiliki tanah yang ia dan warga lainnya tempati selama ini. Meski begitu, setiap tahunnya para warga membayar PBB dengan tertib. Warung-warung kelontong pun telah mengantongi izin usaha dari pemerintah daerah.
“Kami sudah tinggal di sini sejak tahun 1960an, memang kami tidak punya sertifikat (kepemilikan tanah), tapi PT KAI Daop II juga tidak bisa menunjukkan bukti kepemilikan mereka. Malahan, mereka menunjukkan sertifikat Kebon Kawung. Lho, ini kan Kebon Jeruk bukan Kebon Kawung,” jelas Rosyid.
Sepetak tanah itu sebetulnya adalah bekas bungker yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, tak ada yang memiliki tanah ini. Pada tahun 2015 Badan Pertahanan Nasional Jawa Barat mengeluarkan laporan bahwa tanah itu belum terdaftar. “Orang tua kami dulu mungkin tidak mengerti jadi tak pernah bikin sertifikat buat tanah ini,” lanjut Rosyid.
Menurut Rosyid tanah ini akan digunakan oleh PT KAI untuk lahan parkir bus pada perhelatan PON Jabar 2016 lalu. Namun, kenyataannya hanya ada empat bus yang menggunakan lahan tersebut. “Ini kan tidak masuk akal,” pungkasnya.
Menuntut Ganti Rugi dari PT KAI
“Kami bukan hanya digusur, tapi harta kami juga dijarah,” tutur Rosyid. Ia bercerita jika gabungan aparat tak memberi waktu semenit pun untuk mengemas harta benda milik warga. “Barang dagangan warga diangkut semuanya. Mereka bilang bisa mengambilnya di Jalan Sukabumi. Pas kami ke sana, barangnya tidak ada. Apa namanya itu kalau bukan penjarahan?”
Ia juga bercerita tentang salah seorang warga bernama Isman yang sedang kritis di rumah sakit akibat kanker saat terjadi penggusuran. “Habis pulang dari rumah sakit, beliau ke sini dan melihat warungnya ludes. Beliau pingsan dan dibawa pulang ke rumahnya. Tak lama beliau meninggal karena kepikiran masalah ini,” tuturnya.
Selain itu, saat terjadi penggusuran anak-anak warga Kebon Jeruk sedang bersekolah. Saat pulang mereka menemukan tempat tinggal orang tuanya sudah luluh lantak. Tak sedikit dari anak-anak tersebut yang jatuh pingsan.
Aparat gabungan tak hanya merobohkan bangunan, tapi juga menyita barang dagangan milik warga. Kerugian yang dialami korban gusuran ditaksir lebih dari tiga miliar rupiah. Untuk itu, warga yang menyatukan diri dalam Komite Rakyat Kebon Jeruk menggugat PT KAI ke Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung untuk mengganti kerugian yang dialami akibat penggusuran.
Setelah bangunan dirubuhkan, para warga membangun tenda di atas bekas lahan gusuran. Wali kota Bandung, Ridwan Kamil, sempat berkunjung ke tenda dan menemui para warga. Rosyid bercerita bahwa Ridwan Kamil berjanji akan membantu para warga. Janji tersebut berupa relokasi tempat tinggal warga, pinjaman modal kepada warga, dan bantuan pendampingan hukum jika warga hendak menggugat PT KAI.
Namun, janji tinggallah janji. Sampai hari ini tak ada janji yang mampu ditepati akang wali kota. Memang sebagian warga direlokasi menuju rumah susun sewa di Jalan Derwati, Rancacili, Bandung. Warga mempersoalkan kejelasan status tempat tinggal yang baru tersebut. Selain itu, warga masih menggantungkan nasib ekonominya di Stasiun Barat. Sementara antara Stasiun Barat dan Rancacili berjarak 16,4 kilometer, apabila ditempuh dengan kendaraan umum akan menghabiskan ongkos sekali jalan lebih dari 30 ribu rupiah.
Selain menggugat PT KAI, Komite Rakyat Kebon Jeruk juga menggugat pemerintah kota Bandung ke pengadilan. Pada persidangan terakhir 25 Januari lalu, majelis hakim menolak eksepsi pemerintah kota Bandung sebagai tergugat. Hal ini menjadi salah satu kegembiraan bagi korban dampak gusuran.
Lokalisasi dan Pemukiman Kumuh
Jalan Stasiun Barat kota Bandung memang dikenal sebagai tempat lokalisasi. Setiap malam para pekerja seks komersial berdiri berjajar menanti pelanggannya. Warga Kebon Jeruk dijadikan kambing hitam atas adanya lokalisasi ini. Penertiban lokalisasi dan PSK dijadikan dalih dalam penggusuran tersebut. Padahal menurut pengakuan Rosyid, mayoritas warga Kebon Jeruk bekerja sebagai buruh di perusahaan ekspedisi dan mengelola warung kelontong.
“Coba tanya saja ke mereka (PSK) orang mana. Hampir semuanya berasal dari luar Bandung,” tutur Rosyid. Seperti yang dapat dicermati, ada atau tidaknya penggusuran, para PSK tetap mengkal seperti biasanya. Rosyid menilai adanya PSK di tempat ini akibat ketidakseriusan dinas terkait dalam upaya penertibannya. “Kalau mereka ditangkap, tinggal bayar dua atau tiga juta bisa keluar lagi. Kalau begitu, apanya yang dibina?” tuturnya.
Selain berdalih untuk menertibkan lokalisasi di daerah tersebut, pemukiman warga Kebon Jeruk juga dianggap kumuh dan merusak pemandangan. Penertiban dan tata kelola kota untuk lebih indah dan nyaman memang menjadi salah satu misi walikota Bandung Ridwan Kamil dalam meningkatkan taraf kebahagiaan masyarakat kota Bandung.
Selain mengalihfungsikan lahan kosong menjadi taman kota, penggusuran juga dilakukan sebagai upaya mempercantik kota Bandung. Penggusuran seolah menjadi satu-satunya cara untuk memperindah tata kelola kota, tanpa memperhatikan nasib dari korban dampak gusuran. Padahal, penggusuran sejatinya memperpanjang rantai kemiskinan. Salah satunya apa yang menimpa warga Kebon Jeruk. Selain kehilangan tempat tinggal, mereka juga kehilangan sumber mata pencaharian mereka sebagai pedagang kelontong.
Kesewenang-wenangan aparat gabungan dalam menjarah barang dagangan warga Kebon Jeruk juga menjadi preseden buruk bagi wajah kota Bandung yang selalu digalakkan oleh Ridwan Kamil sebagai kota yang ramah terhadap hak asasi manusia.
Adalah hal yang lumrah jika pemerintah kita menganggap penggusuran sebagai suatu kebijakan yang tepat. Tapi apa jadinya jika masyarakat memiliki anggapan yang sama. Bukankah itu berarti masyarakat kita telah kehilangan rasa simpati dan solidaritas terhadap sesama?[]