Eksploitasi Maung
Karya seni tidak jatuh dari langit, ia merupakan cermin dari sebuah gerak masyarakat dan lingkungan tempat karya itu dibuat. Seniman sebagai subjek yang memiliki gagasan adalah representasi dari kelompok masyarakat tertentu dan lingkungan sebagai objek yang dicuri-ubahkan adalah bagian dari ruang sosial-kultural yang lebih kompleks. Kendati pun sebagai cermin, karya seni adalah cermin retak karena tidak sepenuhnya menghadirkan ulang sebuah objek, hal ini disebabkan karya seni lahir dari subjektivitas individu dan bukan representasi utuh sebuah masyarakat.
Komunitas seni rupa Isola Barokah Putra (IBP) berkolaborasi dengan Griya Seni Popo Iskandar (GSPI) menghelat pameran seni rupa bertajuk “Maung”, sebagai respon terhadap maung (harimau) yang selama ini dikenal oleh masyarakat. Pembukaan pameran ini (22/12/2016), dihadirkan performansi seni dan dikusi yang membahas harimau secara komperhensif dari berbagai sudut pandang.
Sore itu, pembukaan pameran disahkan oleh perupa Isa Perkasa, dalam kegiatan ini Isola Barokah Putra juga menyematkan Isa Perkasa sebagai Pendekar Drawing atas kontribusi yang konsisten terhadap seni rupa. Isa Perkasa merespon penyematan itu dengan menggesek-gesekkan golok yang diberikan komunitas IBP pada lantai semen seperti sedang melukis di atas kanvas, performansi Isa Perkasa diiringi oleh suara terompet dan kendang dari nayaga Jaga Budaya Geger Kalong.
Setelah pengesahan, giliran kelompok Pencak Silat Jaga Budaya Geger Kalong unjuk performansi. Absal dan Kiki sebagai generasi muda Jaga Budaya Geger Kalong mendemonstrasikan silat Paleredan Tepak Tiga Padundung. Tidak sedikit penonton yang menyawerkan uangnya kepada Absal dan Kiki.
Sesaat matahari semakin menyipit, pelukis Tisna Sanjaya berkolaborasi dengan kelompok Pencak Silat Jaga Budaya Geger Kalong menampilkan performansi lukis dengan iringan musik dari nayaga.
Awalnya Tisna Sanjaya membasuh kaki pesilat Absal dan Abah Encep lalu memercikan air pada tanah dan kanvasnya. Setelah itu Tisna Sanjaya menggambar pola dari Absal dan Abah Encep yang tiarap di atas kanvas. Dan akhirnya para pesilat dibiarkan merusak pola dengan bersilat di atas kanvas. Setelah pola benar-benar rusak, terakhir pesilat kawakan Abah Dana (Curug), menggantikan dua pesilat di atas kanvas dengan bertingkah seperti harimau seraya menggeram-geram. Tisna Sanjaya membentuk pola baru dari Abah Dana.
Performansi Tisna Sanjaya mengingatkan saya pada seniman avant-gardis 1960-an Perancis Yves Klein. Klein pernah menampilkan performansi bertajuk Anthopromety Performance, menampilkan beberapa wanita telanjang yang digunakan sebagai kuas hidup Klein. Sebelumnya di atas tubuh-tubuh wanita itu dibalur cat berwarna biru, lalu wanita-wanita itu menempel-gosokkan badannya di kanvas atas beberapa arahan Klein. Performansi juga diiringi oleh musik orkestra. [1]
Performansi ini menunjukkan bahwa seni lukis dapat dinikmati saat proses penciptaan karya, bukan hanya lukisan jadi yang bersifat pasif. Dalam performansi Tisna Sanjaya maupun Yves Klein terdapat spontanitas aktif di luar kehendak pelukis. Dalam istilah Latin mungkin hal ini lah yang disebut sebagai ordo ab chao (sebuah keteraturan baru yang berada dalam kekacauan).
***
Gerimis sempat turun di pengujung petang saat sesi diskusi hendak digelar, namun gerimis hanya sebentar menyapa. Beberapa hari ini cuaca Bandung seakan seperti pada gurun pasir, siang terasa sangat terik, sedangkan angin malam terasa dingin menusuk.
Diskusi perihal harimau dihelat di pekarangan tengah GSPI. Terdapat tiga pembicara yaitu Azhar Natsir, mahasiswa Seni Rupa UPI yang sedang meneliti tentang ekologi harimau dan peran seni rupa terhadapnya.
Azhar menjelaskan terdapat tiga subspesies harimau yang terdapat di Indonesia, yaitu harimau Bali, harimau Jawa, dan harimau Sumatra. Dua di antaranya telah punah dan yang tersisa hanya harimau Sumatra. Kepunahan ini disebabkan karena adanya perburuan liar dan pembukaan lahan sawit yang mengganggu habitat asli dari kucing besar ini. Peran manusia sangat dominan dalam kepunahan ini.
Pembicara kedua, yaitu Zulfa Nasrulloh mengaitkan harimau sebagai kucing besar dengan karya seni yang mengangkatnya. Karya seni itu adalah puisi dari Sutardji Calzoum Bachri berjudul Kucing dan beberapa lukisan Popo Iskandar. Menggunakan pisau fenomenologis, Zulfa menyimpulkan kata kucing dan harimau yang begitu korup. Kucing dimaknai oleh masyarakat sebagai kata yang inferior dan feminim, sedangkan harimau, macan, dan singa dimaknai lebih superior dan maskulin.
Baik puisi Sutardji berjudul Kucing maupun lukisan Popo Iskandar dengan objek kucing, karya-karya tersebut ingin melepaskan makna inferioritas kucing. Kucing yang hadir sebagai metafor dalam sajak Sutadji ditulis secara mencekam, bahwa kucing itu besar dan mengalir ngilu.
Ngiau! kucing dalam darah dia menderas lewat dia mengalir ngilu ngiau! dia bergegas lewat dalam aortaku dalam rima darahku dia besar dia bukan harimau bukan singa bukan hyena bukan leopard dia macam kucing bukan kucing ngiau (“Kucing”, Sutardji Calzoum Bachri)
Begitu juga lukisan Popo Iskandar berjudul Kucing (1975), lukisan ini dibuat dengan tekstur kasar dan anatomi yang tidak proporsional, maka hadirlah kesan suram dan misterius. Sedangkan Cat (1994), pelukis menghadirkan kucing yang meliuk dengan kepala miring, seakan ada aktivitas yang belum terselesaikan. kucing dalam lukisan Cat secara bentuk hampir mirip dengan harimau kumbang dalam lukisan Popo Iskandar Two Panthers and Red Sunset (1996). Zulfa memaparkan bahwa kucing adalah kucing dalam bentuk apa pun, Sutardji dan Popo menyadari hal itu.
Pembicara terakhir adalah Rico Oboss, pemaparannya harimau dan macan telah menjadi simbol kekuatan dalam masyarakat. Hal ini diamini dengan dijadikannya macan sebagai simbol beberapa aparatur keamanan negara. Namun masyarakat seakan tidak sepenuhnya peduli terhadap simbol ini, hal ini disimpulkan dari beberapa patung dan lukisan harimau atau macan yang cenderung dibuat secara naif, kegarangan hewan tersebut malah menjadi jenaka karena (mungkin) beberapa alasan praktis tertentu.
Saat sesi diskusi, hal yang juga saya sepakati adalah pernyataan dari Faisal Syahreza, apakah masyarakat khususnya yang bergerak pada bidang seni benar-benar peduli pada pelestarian hewan dan isu-isu lain yang diangkatnya atau pekarya justru hanya mengeksploitasi bentuk dari objek tertentu ke dalam karyanya?
***
Saya merasa curiga, seakan sesi diskusi dengan pameran dalam kegiatan ini merupakan hal yang terpisah, karena tidak satu pun pembicara mengangkat karya yang dipamerkan. Fokus dalam diskusi tersebut hanyalah fenomena kucing dan harimau secara keumuman. Sedangkan pameran di dalam ruangan tidak disinggung oleh pembicara.
Pameran lukis sendiri mengantar saya pada anatomi harimau yang besar dan mencekam, beberapa lukisan menghadirkan parodi menampilkan harimau yang sedang berebut silet dengan tokoh wayang dan lukisan lain menampilkan seekor singa di depan mangkuk kosong dengan tulisan “Hooaa” seakan keluar dari mulut harimau.
Secara garis besar kepunahan, kegarangan, dan parodi adalah hal yang saya dapat dari lukisan-lukisan yang dipamerkan. Mungkin karena kekurang-intensan saya dalam menikmati karya-karya yang dipamerkan, empati saya belum bisa masuk-terlibat dalam karya-karya tersebut. Saya belum bisa merasa seperti Chairil Anwar di depan lukisan perempuan telanjang yang dilukis Basuki Resobowo.
Goenawan Mohamad pernah menulis dalam esainya, bahwa ada yang perlu kita pelajari dari karya pelukis Rusli. Dari serangkaian gores dan warna yang tak mengorak meriah terdapat keheningan yang dibiarkan. Hal ini seperti laku wuwei dalam ajaran Taoisme, dari kekosongan atau ketidak-lakuan apa pun justru ada banyak yang terjadi di sudut pandang lain. Goenawan Mohamad juga berpendapat bahwa dari penuhnya kanvas Rembrandt justru hal ini terasa kosong, tidak ada yang berbisik di sana. [2]
Setelah beberapa waktu berpikir, saya menyimpulkan bahwa baik diskusi maupun pameran bertitik pijak dari fenomena umum harimau, dan lingkungan sebagai benang merah keduanya. Dan saya sangat menikmati keutuhan pembukaan pameran “Maung” ini.[]
[1]zeynepkinli.wordpress.com/2009/05/15/825/
[2]Menyari dari buku Puisi dan Anti Puisi (2011) halaman 5-7 karya Goenawan Mohamad.