Fb. In. Tw.

Diminta Memandang dan Menuntunnya

Ni Made Purnama Sari meluncurkan novel terbarunya akhir 2022 lalu; berjudul Yang Menari dalam Bayangan Inang Mati. Dalam novel setebal 172 halaman ini, adalah tokoh utama bernama Putu, anak lelaki yang sedari kecil tinggal bersama neneknya. Santer, sejak ia belum mampu mengenali siapa-siapa di sekitarnya, telah tersiar kabar bahwa Ayah dan ibunya menghilang. Tumbuh di lingkungan berkebudayaan Hindu Bali yang menjung tinggi nilai kesenian tari Bali, Putu pun tertarik pada aktivitas seni tari.

Ketertarikan ini kemudian membuatnya mengalami hari-hari tak biasa—nyantri ke sejumlah maestro tari, masuk ke lingkaran pekerja seni dengan segala kompleksitasnya, juga menjalin hubungan asmara. Tak hanya itu, terjun ke dunia tari juga “memaksa” Putu menggali luka-luka yang bersumber dari kedua orangtuanya.

Kisah si Putu ini kita ikuti melalui sudut pandang orang kedua dan ketiga—yang hadir bergantian. Membaca melalui sudut pandang tersebut ternyata memangkas sedikit jarak antara kita—sebagai pembaca—dan mereka yang menghidupkan cerita dalam novel terbitan KPG ini.

Cerita, yang terbagi ke dalam tiga babak ini, dibuka dengan sebuah pengadeganan tari seseorang yang diminta menari seperti ular yang melindungi sarang telur tersembunyi. Perlahan, sudut pandang dibawa mendekat, sedekat mungkin, nyaris seperti berbisik di telinga si penari. Ketika sedang menikmati deskripsi visual sedemikian dekat, tiba-tiba konsentrasi pembaca dihentak oleh kalimat: “Cukup, ya,” kau dengar suara di belakangmu.

Sudut pandang seketika mengudara dengan cepat, menjauhi sosok yang menari tersebut, lalu menampakkan lanskap pemandangan kehidupan seorang anak belia: Putu. Tampak filmis. Sebuah upaya pemanasan bagi imajinasi pembaca. Sebagai sebuah novel, bagi saya pembukaan demikian cukup menarik hati untuk terus melanjutkan pembacaan.

Pembaca akan menemukan “dua” Putu dengan alur waktu penceritaan dan sudut pandang yang berbeda sepanjang cerita. Ada Putu belia dan Putu dewasa. Keduanya hadir bergiliran, kemudian secara perlahan membiarkan pembaca menyusun sendiri benang merah sebab-akibat tindakan Putu terhadap orang-orang di sekitarnya, pun motivasi dari segala sikap orang-orang tersebut kepada Putu. Bilamana pembaca tak sabar menyusun benang merah, “dua” Putu akan tampak sedikit parsial, mengingat sudut pandang yang mengikuti mereka seringkali berbeda.

Putu belia hadir dengan dominasi sudut pandang orang ketiga, ini memungkinkan pembaca melihat lebih luas, sebab fokus pembacaan diarahkan tak hanya kepada Putu, tapi juga kepada tokoh-tokoh lainnya, benda-benda, lanskap, bahkan pikiran-pikiran. Pembaca diberi kesempatan untuk merangkai semesta cerita. Ini bersambut-tangkap dengan upaya pembaca menyusun benang merah, kesempatan demikian dapatlah menyajikan pengalaman membaca yang menyenangkan sekaligus menantang.

Berbeda dari Putu belia, si Putu dewasa seperti dibuat hadir lebih dekat dengan pembaca melalui sudut pandang orang kedua. Kita, pembaca, tak lagi begitu bebas menatap  ke sana kemari, kita masuk ke dalam cerita selayaknya teman perjalanan si Putu dewasa. Ya, Putu dewasa yang akhirnya pulang ke kampung halaman setelah sekian tahun meniti karir sebagai seniman bebas selepas kabur dari Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), tempatnya menimba ilmu seni secara formal di Bali. Sepanjang perjalanan pulang, sejumlah kenangan dalam pikirannya—semasa mengembara jauh—bakal luncur sedikit demi sedikit.

Kenangan Putu dewasa terhadap periode kembara tersebut banyak menghadirkan konteks gerakan dan situasi kesenian di beberapa tempat, diperkuat pula dengan kemunculan tokoh-tokoh di dalamnya. Karena latar tempat novel ini, sedari awal, telah terang menyebutkan Bali, maka pembaca mau tak mau akan merujuk ke tempat senyatanya.

Sepanjang cerita, gambaran lanskap Bali periode 1970-an terbentuk seperti suasana kelabu kerlap-kerlip dalam pikiran saya. Kelabu kerlap-kerlip yang melankolis, magis, serta menebar rasa percaya sekaligus kecurigaan. Gambaran tersebut, seluruhnya, secara subjektif terbentuk karena pengalaman empiris juga. Novel ini seperti membangunkan sejumlah ingatan terhadap peristiwa-peristiwa masa kecil, sebab saya lahir dan sempat tumbuh di tanah Bali. Oleh sebab itu, adalah mungkin bahwa lanskap yang digambarkan penulis akan memunculkan warna dan nuansa berbeda dalam imaji pembaca lainnya.

Tak berhenti sampai di Bali, rujukan dalam novel pun meluas ke tempat-tempat lain di Indonesia. Tengoklah penggalan novel ini:

“Coba, coba, Bung yang budiman lihat gelagat mereka. Itu, yang di depan, pastilah senior mereka. Apa yang dia lakukan? Hanya marah-marah, mengkritik, tapi tak memperbaiki apa pun,” jelasnya. “Dia cuma ikut apa yang dia punya selera. Bukan pendalaman puisi yang dibawakan. Mereka Berlatih, Bung, tapi berlatih yang keliru…”

(hal.106)

… Pemberian dari Bung…ah, namanya siapa?”

“Putu,” jawabmu seraya mengikutinya bangkit berdiri.

“Sedangkan saya,” dia menjabat tanganmu, agak formal tapi terkesan hangat, “panggil saja Umbu.”

(hal.107)

Sebagian kita, yang bergelut erat dengan dunia seni, pastilah dapat menebak—atau menduga—perihal apa, di mana, bagaimana, dan siapa yang jadi rujukan dalam novel ini. Meski begitu, jarak antara rujukan dan cerita mestilah kita perhatikan; bahwa itu semua bukanlah hal yang sama persis, melainkan inspirasi belaka.

Dalam novel ini, memanglah konteks dunia kesenian, dan kondisi politik Indonesia di era tersebut, hadir sebagai latar peristiwa yang kental. Meski demikian, trauma si tokoh Putu sendiri merupakan poros. Bila kita merenungi dialog, arah pikiran, dan motivasi Putu—baik yang belia ataupun yang dewasa—akan tampak seborok trauma dalam dirinya yang menuntut untuk disembuhkan. Sayangnya, proses penyembuhan ini tak pernah singkat, mudah, apalagi menyenangkan; dan, penulis mengemasnya secara samar melalui permainan sudut pandang serta lapisan-lapisan peristiwa kontekstual. Dalam menyusuri kisah Putu sebagai representasi manusia yang berusaha sembuh dari traumanya, pembaca akan kerap diminta memandang dan menuntunnya sepanjang perjalanan menyembuhkan diri.

 

IDENTITAS BUKU 

Judul buku: Yang Menari dalam Bayangan Inang Mati
Pengarang: Ni Made Purnama Sari
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan: Cetakan pertama, Oktober 2022
Tebal: iv + 172 halaman; 13,5 x 20 cm
ISBN: 978-602-481-921-7 

KOMENTAR

Menulis puisi, fiksi, dan non-fiksi. Telah menerbitkan sejumlah buku puisi, antara lain, “Eulogi” (PBP, 2018) dan “Binatang Kesepian dalam Tubuhmu” (GPU, 2020). Aktif berkegiatan di Komunitas Akarpohon Mataram, dan sehari-hari mengajar bahasa Inggris dan BIPA di Mataram Lingua Franca Institute (MaLFI).

You don't have permission to register