Fb. In. Tw.

Dibalas Nikmat Berlipat

Seperti sudah kita maklumi bersama, tugas kita dalam kehidupan di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah. Dan ibadah yang diembankan Allah kepada kita sesungguhnya adalah untuk menguji kita, sejauh manakah kesyukuran kita kepada-Nya. Mengapa? Karena ibadah manusia kepada Allah merupakan bentuk syukur kepada-Nya. Semakin besar syukur makin baik ibadahnya. Dengan kata lain, orang yang tinggi rasa kesyukurannya makin baik pula ibadahnya kepada Allah. Itulah firman Allah Swt, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS al-Mulk: 2)

Sebaliknya, orang yang kurang bersyukur akan kurang pula ibadahnya. Terlebih lagi jika ia kufur kepada Allah maka ia pun enggan beribadah kepada-Nya. Bahkan tidak sedikit juga mereka yang menafikan keberadaan-Nya.

Inilah dua jalan yang ditawarkan Allah kepada kita. Apakah kita akan menjadi orang yang bersyukur atau orang yang kufur. Dan masing-masing jalan yang kita tempuh ada konsekuensinya. Allah berfirman, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. (QS Ibrahim: 7)

Hendaklah kita memilih jalan syukur, karena begitu banyak nikmat yang dianugerahkan Allah kepada kita. Kalau kita memilih untuk menjadi orang yang bersyukur maka hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada-Nya, karena hanya dengan ibadahlah kita dapat mewujudkan kesyukuran kita kepada-Nya.

Saking banyaknya nikmat Allah, kita tidak mampu menghitungnya: wa in ta’uddû ni’matallâhi lâ tuhshûhâ (dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu akan menghinggakannya)—QS Ibrahim: 4. Saking banyaknya nikmat Allah, kita lupa bahwa nikmat itu adalah nikmat. Kita akan mengganggap anugerah Allah sebagai nikmat ketika nikmat itu jarang kita dapatkan, dan umumnya kita menganggap nikmat itu berupa limpahan materi.

Misalnya, ketika kita mendapatkan uang dalam jumlah besar yang tidak disangka-sangka maka kita akan menganggap itu adalah nikmat dan karenanya kita bersyukur. Padahal banyak nikmat Allah yang jauh lebih besar diberikan kepada kita. Namun karena nikmat itu diberikan Allah setiap saat dalam sepanjang umur kita maka kita lupa menghitungnya sebagai nikmat. Namun ketika nikmat itu tiba-tiba dihentikan Allah dari kita, barulah kita menyadari keberadaannya sebagai nikmat.

Ketika kita lahir secara normal, lengkap dengan pancaindera, maka kita secara bertahap bisa melihat, mendengar, mengecap, mencium, dan meraba. Kelima kemampuan itu dianugerahkan Allah kepada kita terus-menerus sepanjang umur kita, terutama pada masa keemasan umur kita, yaitu antara umur 15-an hingga 40-an tahun. Karena kemampuan itu kita miliki dan kita rasakan sejak kecil, maka kita tidak menganggapnya sebagai kenikmatan. Namun, tatkala salah satu kemampuan itu dicabut oleh Allah Swt, kita baru menyadari betapa tak terhingga nilainya. Ketika tiba-tiba kita menderita sakit mata, misalnya, apalagi bila sampai menyebabkan kebutaan, barulah kita sadar betapa besar nikmat penglihatan itu.  Ketika tiba-tiba fungsi telinga kita terganggu atau bahkan menyebabkan ketulian maka saat itulah kita sadar betapa anugerah pendengaran tak bisa tergantikan dengan materi apa pun. Demikian seterusnya dengan nikmat-nikmat yang lainnya.

Atas semua nikmat itu, Allah tidak menghendaki balasan dan imbalan apapun. Apa sih yang kita miliki untuk membalas nikmat-nikmat-Nya kepada kita? Sekiranya kita bisa membalas pun, Allah tidak membutuhkannya, karena Dia Mahakaya dan tidak membutuhkan apa pun dari segala ciptaan-Nya. Maka ketika Dia menyuruh kita bersyukur dan beribadah kepada-Nya, itu bukan untuk kepentingan-Nya. Itu semua untuk kita juga. Kebaikan-kebaikan yang kita lakukan sebagai wujud syukur dan ibadah kita kepada Allah adalah untuk kita sendiri, karena kebaikan-kebaikan itu akan kembali lagi kepada kita.

Kita semua tentu menginginkan kebaikan dalam segala urusan. Kita senang jika diperlakukan baik oleh orang lain. Kita juga senang jika dihargai, dimuliakan dan dihormati oleh orang lain. Namun mesti kita ingat, tidak mungkin kita akan mendapatkan kebaikan dari orang lain kalau tidak mau berbuat baik kepada orang lain. Karena itu, orang sering mengatakan, “Hargailah orang lain kalau kamu ingin dihargai. Hormatilah orang lain kalau kamu ingin dihormati.” Dalam kehidupan kita sesama manusia selalu ada imbal-balik. Jika imbal-balik ini terjadi dalam kebaikan maka akan tercipta ketenangan dan kedamaian.

Demikian pula, imbal-balik terjadi antara manusia dengan Allah Swt. Di satu sisi, Allah melimpahkan kebaikan dan kenikmatan kepada manusia. Dan sebagai imbal-baliknya, Allah menuntut kita agar bersyukur kepada-Nya. Tapi hebatnya, Allah Yang Maha membalas kebaikan (Asy-Syakûr) akan membalas lagi kesyukuran kita kepada-Nya. Setiap kesyukuran kita akan dibalas oleh Allah dengan tambahan limpahan nikmat-Nya, seperti ditegaskan dalam firman-Nya: la azîdannakum (sungguh Aku akan menambah nikmat untuk kalian)—QS Ibrahim: 7.

Di sisi lain, Allah melihat niat dan itikad baik kita kepada-Nya: ana ‘inda zhanni ‘abdî bî (Aku menurut prasangka baik hamba-Ku kepada-Ku). Jika kita berprasangka baik kepada Allah maka Dia pun akan memberikan kebaikan kepada kita. Demikian pula, dalam beberapa ayat Al-Quran, Allah menyatakan bahwa sikap-Nya kepada manusia disesuaikan dengan sikap manusia kepada-Nya. Allah berfirman: in tanshurûllâha yanshurkum (jika kamu menolong Allah niscaya Dia menolongmu)—QS Muhammad: 7;  fadzkurûnî adzkurkum (Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat kepadamu)—QS al-Baqarah: 157.

Ini karena hidup kita adalah ujian dari Allah, seperti disebutkan dalam surah al-Mulk: 2 di atas. Namun, setiap itikad dan perbuatan baik yang kita lakukan untuk mendapatkan ridha Allah akan diberi balasan yang lebih baik dan lebih banyak. Keterangan tentang hal ini dapat kita temukan dalam banyak ayat dan hadis. Salah satunya adalah firman-Nya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. (QS al-Baqarah: 261). Atau dalam hadis qudsi disebutkan bahwa Allah berfirman, “Jika hamba-Ku mendekat pada-Ku sejengkal, Aku mendekat padanya sehasta; jika hamba-Ku mendekat pada-Ku sehasta, Aku mendekat padanya sedepa. Jika ia mengingat-Ku dalam kesendirian, Aku mengingatnya di tengah keramaian.”

Karena itu, pantaslah bila Allah selalu mempertanyakan kepada kita, nikmat-Nya yang mana yang akan kita dustakan dan ingkari: fa bi ayyi âlâ’i rabbikuma tukadzdzibân (Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan)? Ayat ini diulang-ulang sebanyak 31 kali di antara 78 ayat surah ar-Rahman. Wallâhu a’lam.[]

KOMENTAR

Ketua DKM Al-Muhajirin Permata Biru, Cinunuk, Cileunyi, Bandung.

You don't have permission to register