
“Di Hiji Tempat nu Biasa” dan Tempat Kelahirannya
Selasa malam (15/12/2015), Gedung Kesenia Tasikmalaya dipenuhi cahaya serupa kunang-kunang. Pementasan Teater Dongkrak hasil sutradara Wit Jabo Dongkrak (Jabo) yang menggarap naskah “Di Hiji Tempat nu Biasa” karya Nazarudin Azhar, yang akrab disapa Kang Nunu, menjadi pementasan sangat berisi.
Sebuah garapan yang sukses, tidak serta merta seperti merebus mie instan. Namun butuh keseriusan selama proses. Proses tidak akan pernah mendustai setiap keringat yang menetes, dan harus kita imani itu. Meski prosesnya sama direbus, Dongkrak butuh waktu lama untuk kematangan. Meski semua tahu, masalah jam terbang Teater Dongkrak tak usah dipertanyakan lagi. Teater ini begitu produktif dan penuh spirit. Hasil yang memuaskan bisa menghapus segala kesusahan yang selama ini Dongkrak hadapi.
Garapan Wit Jabo Dongkrak kali ini memiliki keunikan (ini yang menjadikan pementasan Teater Dongkrak menjadi pementasan favorit se-Jawa Barat saat lomba pementasan naskah sunda di Bandung) yaitu pementasan yang tidak menggunakan lighting panggung. Pencahayaan dilakukan menggunakan senter yang dioperasikan hampir sepuluh orang lebih.
Sebagai pembukaan, senter-senter itu menari di atas panggung menunjukan variasi-variasi yang menyegarkan bagi energi apresiator malam itu. Kemudian senter-senter itu memiliki posnya masing-masing untuk menerangi aktor-aktor saat pentas. Selama pementasan berlangsung, senter-senter itu tetap dijadikan sesuatu oleh sang sutradara, di antaranya dijadikan gerimis, jalan, lalu kunang-kunang, atau jadi lampu disko. Kemahiran Jabo dalam hal ini memang tidak bisa diduga-duga. Banyak sekali kejutan yang diselipkan, di antaranya lagi ceplosan-ceplosan yang disesuaikan dengan geografis kota Tasikmalaya.
Selain konsep senter, ada lagi yang luar biasa pada pementasan kali ini. Ialah dekorasi artistik. Di atas panggung, ada sebuah tempat berukuran kurang lebih tiga kali tiga meter, di tengahnya ada sebuah kursi. Tempat itu digantung dengan rantai dua meter dari level panggung. Ini membuat aktor harus benar-benar menguras keringat untuk mengisi ruang yang luas. Hebatnya, aktor-aktor tersebut sangat merasa nyaman dengan ruang yang digunakan.
Naskah yang lahir dari tangan orang Tasikmalaya ini, diolah dengan rapi oleh Jabo. Memang, dua orang anak bersaudara tak jarang memiliki sisi karakter yang sama. Begitu juga naskah “Di Hiji Tempat nu Biasa” dengan Teater Dongkrak. Ini bukan merupakan masalah yang sulit untuk disenadakan.
Pementasan ini mendapat apresiasi hangat dari pemerintaham setempat. Tasikmalaya bukan kota yang diciptakan ketika Tuhan tertidur. Tasikmalaya ialah kesungguhan yang menghargai karya-karya yang harus dilestarikan dan digunakan sebaik mungkin. Bila tak percaya, maka berkunjunglah kemari. Maka akan Anda temukan keajaiban di sini.[]