Fb. In. Tw.

Desas-desus tentang Bi Komariah dan Lima Suaminya

“Jangan bicara macam-macam! Membicarakan orang itu sama saja dengan memakan bangkai,” celetuk Bi Romlah, setelah Bi Kadimpen mingkem sehabis mencerocos tentang kemalangan Bi Komariah, si janda baru.

“Desas-desus atau bukan, itulah kata orang. Si Komariah itu adalah penyebab kematian suami-suaminya,” ujar Bi Kadimpen. Ia mengambil langkah di depan kami dan mendadak menoleh, sambil memelankan suara setara dengan desis, “Bi Komariahlah memang tidak ingin berumah tangga lama-lama. Biar cepet ganti suami.”

“Hush! Kalau kamu bicara begitu, bukan cuma desas-desus, malah jadi fitnah,” sambung Bi Romlah.

“Jangan salah paham, Bi. Bukan apa-apa. Bukan aku menuduh Bi Komariah. Cuma aku prihatin dengan hidup dia itu. Dia kelihatan tidak pernah bahagia selama berumah tangga. Melarat saja seumur-umur. Sekarang sudah mau usia lima puluh, apakah dia masih mau berumah tangga lagi? Tapi, kalau dia tidak berumah tangga lagi, bagaimana pula dia belanja sehari-hari? Di mana dia akan tinggal? Satu-satunya anak yang becus kan cuma si Mardi. Tapi, bagaimana mungkin bocah itu bisa kasih uang belanja, kalau hidung saja masih melelerkan ingus. Bagaimana mungkin dia bisa menolong ibunya?”

Bi Romlah cuma menggusah. Enggan berkomentar. Dan aku pun tidak memberikan tanggapan apa-apa.

“Lebih kasihan lagi dengan si Mardi sih. Bocah masih SMP sudah lima kali ditinggal bapak,” lanjut Bi Kadimpen.

Pembicaraan itu menggantung, dan Bi Romlah manggut-manggut. Sebentar saja kulihat bibir Bi Romlah seperti gatal hendak berkata-kata—ada kedut-kedut kecil pada ujung bibirnya yang tak bisa ia tutupi—tetapi, lantas urung sembari menghela napas panjang. Raut seperti itu sering kudapati pada Bi Romlah beberapa kali setiap kami menggunjingkan tetangga.

Pergunjingan tentang Bi Komariah tidak akan terjadi jika saja kami tidak bertemu-sapa dengan Bi Romlah. Di tepi jalan sehabis dari pasar ikan, Bi Kadimpen dan aku terkaget-kaget sebab dicolek punggung dari belakang; adalah Bi Romlah sedang tergopoh-gopoh menjinjing barang belanjaan sekeresek ikan mujair dan seikat kangkung.

Kami bertukar kabar, berkomentar tentang ikan asin bau ketiak si penjual, tentang bapak-bapak genit penjual sotong, sampai bertumbuk membicarakan Bi Komariah. Bi Kadimpen dan aku tidak begitu mengenal Bi Komariah secara pribadi, lantaran rumah kami berjauhan—kami beda RT—tetapi, kukira Bi Romlah kenal baik, sebab, belakangan ini, telingaku mendadak karib dengan nama Bi Komariah karena kabar tentang perempuan itu selalu santer beredar, terutama dari bibir Bi Romlah.

“Eh, kalian tahu tidak, rumah kosong milik Kaji Tursini baru-baru ini dikontrakan ke seorang perempuan muda,” ujar Bi Romlah.

“Siapa?” tanya Bi Kadimpen.

“Janda.”

“Kutanya siapa, malah sampean jawab janda.”

“Mbuh, tapi kulihat-lihat perempuan itu mirip Bi Komariah. Dagunya lancip, jadi kalau bicara terkesan nyinyir. Sudah begitu, dia suka pura-pura tidak melihatku kalau papasan, persis gelagat Bi Komariah,” ujar Bi Romlah, pantang bergeming.

“Masa?”

“Ya, masa aku mengada-ngada.”

“Siapa nama gadis itu?”

“Mbuh, sudah kubilang persis Bi Komariah. Bukan tipikal perempuan nangga gitu lhoo. Kudengar nama dia ada Nur Nur begitu. Entah Nursiti atau Nuriti atau Nuritil. Entahlah.”

Kusenggol-senggol tangan Bi Kadimpen—dan dengan sedikit hentakan—maksudku adalah agar tidak memancing Bi Romlah bicara ngalor-ngidul, kecuali kita sedang tidak terburu-buru. Tapi,, bukan Bi Romlah kalau ia bisa mingkem. Tanpa bisa dihentikan, mencerocoslah ia membicarakan perempuan muda itu, bahwa ia adalah perempuan pendiam—yang menurutnya—tidak cocok hidup bertetangga.

Di persimpangan jalan, Bi Kadimplen dan aku membelok sedangkan Bi Romlah berjalan lurus. Mulut Bi Romlah kemudian terdengar berkomat-kamit sama-samar seiring ia menjauh. Bibirnya yang berdenyut-denyut itu ternyata ibarat penyakit yang menular dengan cepat. Bi Kadimpenlah yang terjangkit. Ia—yang mula-mula terdengar samar-samar itu—menjadi benar saat Bi Kadimpen mengangguk-angguk. Selama sisa perjalan-kakian kami menuju rumah, terpaksalah aku mendengarkan kisah hidup Bi Komariah melalui bibir Bi Kadimpen.

Jadi—sebagaimana kata Bi Kadimpen, sebagaimana juga kata Bi Romlah—Bi Komariah itu tinggal di RT 1. Aku tidak mengenalnya, tapi, kalau cuma tahu saja, maka benar kata Bi Romlah. Dia tidak bisa bertetangga dengan baik. Ah, tapi jangan pedulikan omongan Bi Romlah juga. Di RT 15 sini juga, orang-orang sering tidak bisa menjaga mulut mereka dalam hidup bertetangga kok.

Dulu—kata Bi Kadimpen, sebagaimana kata Bi Romlah—Bi Komariah tinggal dengan suami dan keempat anak mereka di rumah yang cuma ada ruang tamu, satu kamar tidur, dan satu kamar mandi. Kau pikirkan saja di mana mereka menaruh kompor dan menjejerkan keempat anak mereka. Sehari-hari suami Bi Komariah sering tampak jauh lebih tua, lesu, sakit-sakitan, dan payah. Jauh berbeda dengan Bi Komariah yang gesit dan gacor. Tapi, sayang, yang payah bekerja pontang-panting, yang gesit malah leyeh-leyeh.

Bi Romlah tidak mengatakan persis usia anak mereka, tapi bisa dibilang usia mereka berdekatan; Maripan, Samsul, Saripah, dan Mardi. Mereka tidak lulus SD. Langsung bekerja serabutan sebagaimana bapak mereka. Nah, si Mardi, si bontot, lahir setelah ketiga bersaudara itu sudah pernah menghebohkan desa Tegalurung dengan ulah mereka masing-masing.

Maripan, misal, tidak jauh-jauh berkutat dengan ban dan roda; mulai dari bekerja sebagai tukang tambal ban, menggelindingkan roda becak sebagai tukang antar penumpang, sampai dengan antar galon ke rumah-rumah. Dia pemuda buruk rupa, pemabuk, juga pemarah. Pipi kanan pemuda itu berkerut-kerut lebih buruk daripada kulit ulat sagu. Kata Bi Kadimpen—sebagaimana kata Bi Romlah—“Dia pernah memperkosa anak gadis lantaran mabuk berat. Pipi ulat sagu itu adalah gara-gara disiram minuman dan disulut oleh bapak si gadis.”

Orang bilang masih untung di muka. Sebab, jika disulut di kemaluan, jadilah ulat sagu betulan. Bi Kadimpen bilang dia dimasukan ke bui entah untuk berapa lama sebab tahun-tahun kemudian pemuda itu ibarat hantu; kadang muncul, kadang menghilang.

Setali tiga uang dengan Maripan, kata Bi Kadimpen lagi, Samsul pun tidak pernah jauh dari becak. Namun, agaknya ia lebih payah ketimbang abangnya dan bapaknya. Ia hanya mengandalkan tenaganya untuk mengayuh becak ke mana-mana. Selain daripada tenaganya, tidak. Sebab otaknya sedikit geser. Ia pernah dipekerjakan oleh Kaji Salam buat menjaga satu dari beberapa pom pertamini di pengkolan RT 1 sana. Pekerjaan itu tidak lama bertahan sebelum Kaji Salam tahu bensin dalam tabung pom itu entah mengalir ke mana tanpa menghasilkan bati, dan ketika Samsul didesak, pemuda itu bilang sesekali ia meminum bensin karena sangat kehausan.

“Jangan heran!” kata Bi Kadimpen yang semakin mirip dengan Bi Romlah, “Sebab otak dia memang geser sedikit.” Justru, keherananku belum lantas terpuaskan, maka kubilang saja tidak percaya dengan cerita itu sampai Bi Kadimpen sendiri geleng-geleng. Bi Kadimpen kadang-kadang melotot kalau aku sangsi. Terus bibirnya—yang berdenyut-denyut akibat ketularan Bi Romlah itu—kadang-kadang membuatku bergidik. “Kata Bi Romlah, dari delapan pom pertamini milik Kaji Salam, satu pernah meledak menghebohkan. Satu pom itu adalah bekas dijaga oleh Samsul.”

“Kenapa kamu terheran-heran begitu? Jangan dipikirkan dalam-dalam. Maklum, cerita Bi Romlah memang begitu. Jangankan soal minum bensin, apakah kakak-beradik itu benar bernama Maripan, Samsul, dan lain-lain itu, aku tidak begitu memusingkan.”

Ya sudah, aku dengarkan saja baik-baik. Jadi, kebakaran itu jelas menghebohkan jagat Tegalurung. Nah, tapi sedikit untung buat Bi Komariah, Saripah—anak perempuan satu-satunya—tidak begitu bikin malu, juga tidak bikin beban. Selagi Maripan dan Samsul bertindak serampangan demi uang receh, Saripah dipinang oleh seorang lelaki dari RT 2. Mbuh siapa lelaki itu. Bu Romlah bilang ia adalah Dadan. Tapi, mbuh juga. Ia mulai ragu. Begitu pula aku. Tidak pernah kudengar nama Dadan.

Bi Romlah memang begitu. Suka ngarang-ngarang. Kata Bi Kadimpen, Mang Irpandi—suami pertama Bi Komariah itu—tanpa diketahui betul, menderita kencing manis. Dan baru diketahui setelah salah satu kaki Mang Irpandi masuk ke gir becak. Lukanya membusuk tak pernah sembuh, dan hanya dibebat dengan kain, dan sesekali diganti dengan kain baru. Dalam hitungan bulan kemudian, sakit Mang Irpandi bertambah; ia kena batuk parah. Juga tak pernah sembuh. Ia cuma diperiksakan sekali ke puskesmas dan dibilang tertular TB. Entah dari siapa, tetapi kata Bi Romlah, Bi Komariahlah biang TB itu.

Bi Kadimpen bisik-bisik mengatakan itu kepadaku.

Menurut Bi Romlah, kalau pun bukan sebab tertular Bi Komariah, tetap saja sumber sakit itu dari dia. Lihat saja rumah hunian mereka sangatlah kumuh. Kata Bi Kadimpen, andaikan saja aku berkunjung, aku akan dapat melihat kembang garam pada dinding-dindingnya yang sompal; andaikan kemudian aku kebelet ke kakus, aku akan senantiasa melihat lumut-lumut dan kerak-kerak pada bilik-biliknya yang menghitam; dan, andaikan nanti aku hendak mencicipi masakannya, aku akan mendapati piring lengket bekas cuci kotor.

Ya, benar, bukan salah Bi Komariah rumah itu kumuh. Kata Bi Kadimpen, dia juga berkata begitu juga ke Bi Romlah. Yang pernah bertamu ke sana kan Bi Romlah. Lama-lama kurasa Bi Kadimpen mirip dengan Bi Romlah.

Memang, bagaimana pun juga perempuan akan dianggap gagal jika kedapatan rumah jorok seperti itu. Jangan dikira semua perempuan itu sama seperti Bi Romlah dan Bi Kadimpen. Lihat saja dapurku! Tapi, kalau suamiku usil ngoceh, aku akan angkat tangan dan membiarkan dapur bobrok seperti pembuangan sampah di ujung desa Tegalurung.

Sekarang Bi Romlah semakin mencerocos. Biar enak didengar, aku ambil alih jatah cerita Bi Kadimpen dari sini. Sejak Mang Irpandi sakit parah, Bi Komariah menjajal bekerja ke sana-kemari. Tapi karena ia masih mengasuh si kecil Mardi, paling banter ia berjualan cireng keliling. Itu pun tak seberapa untuk makan sehari-hari dan berobat, sedangkan dua anak lelaki mereka menggelandang ke arah-arah. Sudah bagus tidak digebuki orang-orang.

Setelah Maripan keluar dari bui dan berada di arah-arah entah—kadang muncul kadang hilang—ia dan Samsul seolah-olah menjadi setan kembar. Hilang-tenggelam-muncul-berkumpul. Satu lagi kehebohan di Tegalurung berkat Samsul. Ia hampir dijejalkan sesendok semen untuk menguji apakah ia memiliki usus macam tikus. Untung tidak terjadi. Ia diseret Kaji Salam ke bui. Tapi, begitulah kusampaikan tadi. Tidak jelas berapa lama mereka di bui. Kata Bi Kadimpen sebagaimana kata Bi Romlah, kedua pemuda itu kadang-kadang terlihat begajulan dan bertandang ke sana-kemari bersama para pemuda desa lain.

Menurutku, mending begitu ‘kan, daripada mereka merongrong badan dan pikiran Bi Komariah. Sungguh durjana mereka, bahkan saat bapak mereka meninggal pun, tak sekelebat salah satu dari mereka tampak di pekuburan.

Perihal bagaimana Bi Komariah belanja sehari-hari, ia memungut bekas kaleng, kardus, dan plastik aqua. Lalu ditimbun di belakang rumah sampai menggunung agar dapat memperoleh bati langsung kontan. Kaupikirkan saja sendiri bagaimana rumah kumuh itu akan bertambah kumuh. Tetapi, berkat ketelatenan Bi Komariah sedikit demi sedikit mengumpulkan modal untuk berjualan cireng keliling dan menggelar taplak meja di depan rumah untuk ciki-ciki jajanan bocah, ia bisa bertahan hidup.

Perempuan itu harus mandiri. Bi Komariah itu bukti. Tapi mbuh kenapa Bi Kadimpen tidak suka dengan perkataanku begitu. Ia bilang begini, “Si Komariah mah bukan mandiri. Terpaksa saja dia begitu karena ditinggal suami mati.” Kau tahu sendirilah bagaimana bibirnya berdenyut-denyut. Padahal, kukira, dia juga bukan perempuan mandiri kalau modal buka toko masih dari simpanan mendiang suami. Cih, enak saja dia kalau bicara! Bi Romlah apalagi, ia bilang begini, “Jualan cireng dan ciki mah mana cukup buat ngelap ingus si Mardi.” Entah kenapa ia menganggap Mardi selalu bocah.

Tapi, mbuh, sekali lagi kubilang mbuh. Menurut Bi Kadimpen, nelangsanya Bi Komariah justru bermula dari cireng itu. Setelah diketahui ia dapat memperoleh bati, kadang-kadang pada tengah malam—seperti sekelebatan hantu—sesekali Maripan atau Samsul mengendap-endap minta receh. Memang durjana! Memang! Bi Kadimpen, Bi Romlah, dan aku juga mengumpat begitu. Bi Kadimpen bilang begini, “Kata aku sih sikap buruk kedua anak lanang itu menurun dari Komariah. Perhatikan saja!”

Lha, bagaimana aku bisa tahu?

Tapi, kau percaya atau tidak, ucapan Bi Kadimpen dan Bi Romlah itu selalu kuingat-ingat. Tidak saja tentang Bi Komariah, tetapi juga tentang Maripan dan Samsul. Sebab aku pernah berurusan dengan pemuda bermuka ulat sagu itu. Pernah pada satu malam ia ngebut, melesat cepat sambil mengumpat-umpat—kirik, kirik, kirik—entah sebab aku melajukan motorku lamban-lamban atau ia memang durjana saja. Laju dengan kecepatan setan macam itu sudah patut dibalas umpatan jika bukan aku.

Kuingat, ia memboncengkan seorang bocah lelaki. Dasar pemuda-pemuda setan! Rupanya umpatannya yang renyah mencegahku mengumpat balik, juga mukanya yang—meski tampak sekilas menoleh—tetap tampak kulit ulat sagunya yang mengerikan. Itulah perjumpaanku dengan Maripan. Hingga keesokan harinya, tersiar kabar bahwasanya ada tabrakan maut antara motor dengan tugu batas desa Tegalurung. Orang-orang tentu tidak mengabarkan bagaimana tugu bata-semen itu sompal, melainkan bagaimana kepala seorang bocah pecah seperti semangka jatuh.

Kau tahu sendiri, di Tegalurung, meski seseorang sama sekali tidak berniat mengulik kehidupan orang lain, ada saja kabar ajaib masuk ke telinga kita. Bukan begitu? Entah desas-desus entah betul kejadian. Siapa sangka bocah lanang korban tubrukan dengan tugu batas desa itu adalah bocah lanang Mang Dulgoni. Dan, siapa sangka Mang Dulgoni adalah masih sedulur dengan Bi Kadimpen.

Bi Kadimpen pernah bilang kepada Bi Romlah, sampai Bi Romlah mengatakan kepadaku kira-kira pemuda ulat sagu itu tidak akan dipenjara lagi, sebab ia adalah anak tiri dari Mang Dulgoni, juga sebab hati Mang Dulgoni seputih mega musim nderep. Jadi, aku mulai mengerti mengapa bibir Bi Romlah kerap berkedut-kedut setiap kali membicarakan Bi Komariah. Jadi, suami kedua Bi Komariah adalah sedulur Bi Kadimpen.

Memang betul, aku sudah tahu pernikahan kedua Bi Komariah itu adalah dengan Mang Dulgoni. Tapi, aku baru tahu Mang Dulgoni adalah sedulur Bi Kadimpen itu dari Bi Romlah sendiri. Kapan hari itu, ia bilang, “Tidak pernah ikhlas aku melihat Dulgoni dirusuhi Komariah.” Tebakanku, sampai Mang Dulgoni, eh maksudku mendiang Mang Dulgoni diketahui meninggal sebab batuk parah, Bi Kadimpen sangat membenci Bi Komariah.

Menurutku jelas kebencian itu lantaran pertalian saudara di antara mereka. Tapi mbuh sekarang ia masih benci atau tidak. Tebakanku, Bi Kadimpen pasti senang melihat Bi Komariah ditinggal mati lagi oleh suami ketiga ini. Siapa nama suami ketiga Bi Komariah tadi kausebut?

Ya, Mang Jebod.

Aku tidak pasti dengan nama itu. Tapi, anggaplah demikian. Bi Kadimpen dan Bi Romlah juga menceletukkan nama asal-asalan saja.

Desas-desus mengatakan bahwa rumah tangga Bi Komariah dengan Mang Dulgoni itu bahkan tidak genap setengah tahun. Semingggu sebelum bulan puasa ke KUA, eh semingu setelah lebaran haji ia sudah meninggal. Waktu Bi Romlah cerita, aku memikirkan bagaimana Bi Komariah dan Mardi mendorong-dorong becak untuk memindahkan perkakas-perkakas dapur dari rumah lumutan itu ke rumah Mang Dulgoni. Terus harus terpaksa dipindahkan lagi ke rumah lumutan sepeninggal Mang Dulgoni. Inalillahi. Mereka gotong-gotong pasti dilihat para tetangga kan. Tapi, mbuh, itu cuma dugaanku saja.

Yang jelas kudengar sih cerita dari Bi Romlah ketika mereka pindah ke rumah Mang Jebod. Mereka betulan gotong-gotong perkakas dapur, bolak-balik, oper-mengoper antara Bi Komariah-Mang Jebod-Mardi, dengan menggunakan karung, sebab becak mereka terpaksa dijual murah demi modal berjualan ciki. Tapi, kukira, dijual cepat itu sebab mau dirampas oleh dua durjana Maripan dan Samsul.

Sampai di sini, aku kasihan juga dengan Bi Komariah, kok bisa mendapatkan jodoh selalu dengan lelaki melarat. Kalau sudah begitu, bukan memudahkan hidup, malah mempersulit. Duh, Gusti, semoga hidupku tidak seperti itu!

Ini bukan kata Bi Romlah, setahuku Mang Jebod itu tidak miskin-miskin amat. Sebelum dengan Bi Komariah, ia duda ditinggal mati istri. Rumah satu, anak dua—sudah menikah semua—dan cucu-cucu berserakan. Tapi itulah, usia Bi Komariah dan Mang Jebod itu sudah seperti anak dan bapak. Jadi, kau bisa lihat kalau cucu-cucu Mang Jebod itu seumuran dengan dua durjana Maripan dan Samsul.

Ngomong-ngomong soal rumah, rumah Mang Jebod itu kemudian dipugar pelan-pelan berkat bantuan dari pemdes. Barangkali juga berkat pengabdian Mang Jebod dulu sebagai satpam di balai desa selama bertahun-tahun lalu. Jadi, benar, dia tidak miskin-miskin amat. Rumah tangga mereka juga agak membaik. Tapi itu cuma tampak, sekali lagi kubilang, cuma ‘tampak’ di mata tetangga saja. Eh, padahal …. Bi Romlah dan Bi Kadimpen tidak tahu kalau anak-cucu Mang Jebod itu tidak pernah suka dengan pernikahan mereka.

Lantaran apa? Coba kau tebak?

Lantaran Mang Jebod sudah pasti sebentar lagi mampus. Dua anak Mang Jebod itu sangat benci dengan Bi Komariah. Jadi, pada saat Mang Jebod meninggal, Bi Komariah tidak akan mendapatkan apa-apa. Termasuk rumah peninggalan lelaki itu. Begitu. Dan kau harus tahu, usia rumah tangga dengan Mang Jebod pun bisa dibandingkan dengan usia rumah tangga dengan Mang Dulgoni. Kalau kau sempat mendengar Mang Jebod meninggal sebab batuk parah, aku tidak begitu heran. Usia juga tidak bisa berbohong kan?

Setelah menggotong-gotong lagi perkakas mereka, terakhir kudengar Bi Komariah kini menikah siri dengan Mang Nur. Suami keempat. Ah, aku lupa nama lelaki itu. Tapi, betul kuingat ada itu Nur-Nur begitu. Nur siapa lupa. Nuriman, atau siapa itu. Dulu semasa muda dia pernah bekerja menjadi penebang pohon kelapa. Yang kalau malam bulan puasa selalu menabuh genjring. Siapa tuh, lupa aku. Ah, kamu juga mana mungkin tahu. Tapi, kamu mungkin mendengar ada lelaki penabuh genjring atau dalang depok meninggal sebab TB. Dia itulah suami Bi Komariah keempat.

Kau jangan mesem-mesem begitu. Memang belum keempat suami Bi Komariah itu meninggal sebab TB. Mau dikata bagaimana lagi coba. Bi Kadimpen bilang begitu. Bi Romlah juga bilang begitu. Kau pasti akan mengira aku mengada-ngada kalau aku bilang sekarang Bi Komariah sudah menikah siri dengan seorang lelaki dari RT 1, padahal kembang di kuburan Mang Nur itu belum mengering. Ya kan?

Tapi, aku bisa mengerti mengapa Bi Komariah mau berumahtangga lagi. Sekarang jaman sedang serbasulit. Pemerintah melarang kita pergi ke mana-mana; kita tidak boleh keluar rumah tanpa masker. Kerja tidak boleh, tapi makan harus. Mau bagaimana itu PPKM tahi kucing?! Justru aku jadi curiga jangan-jangan Mang Nur itu meninggal sebab korona ini. Kerjaan suamimu sendiri bagaimana? Baik-baik saja? Lagipula kenapa kamu musti pindah ke rumah kontrakan Kaji Tursini kalau masih ada kamar kosong di rumah mertua?

Perempuan muda yang kuajak bicara sedari tadi ini lebih banyak diam dan mesem-mesem saja. Aku pun terhanyut bercerita ke sana-kemari, sampai-sampai lupa menanyakan namanya. Tadi sih dia sempat bilang, siapa itu, Nur juga. Nur siapa, ada Nur-Nur begitu. Seperti Nuriti, Nursiti, atau Nuritil, begitu. Apa jangan-jangan?!

Nama : Minanto

No. Telp : 083820073819

FB/IG : Minanto/@minantoo

Desas-desus tentang Bi Komariah dan Lima Suaminya

“Jangan bicara macam-macam! Membicarakan orang itu sama saja dengan memakan bangkai,” celetuk Bi Romlah, setelah Bi Kadimpen mingkem sehabis mencerocos tentang kemalangan Bi Komariah, si janda baru.

“Desas-desus atau bukan, itulah kata orang. Si Komariah itu adalah penyebab kematian suami-suaminya,” ujar Bi Kadimpen. Ia mengambil langkah di depan kami dan mendadak menoleh, sambil memelankan suara setara dengan desis, “Bi Komariahlah memang tidak ingin berumah tangga lama-lama. Biar cepet ganti suami.”

“Hush! Kalau kamu bicara begitu, bukan cuma desas-desus, malah jadi fitnah,” sambung Bi Romlah.

“Jangan salah paham, Bi. Bukan apa-apa. Bukan aku menuduh Bi Komariah. Cuma aku prihatin dengan hidup dia itu. Dia kelihatan tidak pernah bahagia selama berumah tangga. Melarat saja seumur-umur. Sekarang sudah mau usia lima puluh, apakah dia masih mau berumah tangga lagi? Tapi, kalau dia tidak berumah tangga lagi, bagaimana pula dia belanja sehari-hari? Di mana dia akan tinggal? Satu-satunya anak yang becus kan cuma si Mardi. Tapi, bagaimana mungkin bocah itu bisa kasih uang belanja, kalau hidung saja masih melelerkan ingus. Bagaimana mungkin dia bisa menolong ibunya?”

Bi Romlah cuma menggusah. Enggan berkomentar. Dan aku pun tidak memberikan tanggapan apa-apa.

“Lebih kasihan lagi dengan si Mardi sih. Bocah masih SMP sudah lima kali ditinggal bapak,” lanjut Bi Kadimpen.

Pembicaraan itu menggantung, dan Bi Romlah manggut-manggut. Sebentar saja kulihat bibir Bi Romlah seperti gatal hendak berkata-kata—ada kedut-kedut kecil pada ujung bibirnya yang tak bisa ia tutupi—tetapi, lantas urung sembari menghela napas panjang. Raut seperti itu sering kudapati pada Bi Romlah beberapa kali setiap kami menggunjingkan tetangga.

Pergunjingan tentang Bi Komariah tidak akan terjadi jika saja kami tidak bertemu-sapa dengan Bi Romlah. Di tepi jalan sehabis dari pasar ikan, Bi Kadimpen dan aku terkaget-kaget sebab dicolek punggung dari belakang; adalah Bi Romlah sedang tergopoh-gopoh menjinjing barang belanjaan sekeresek ikan mujair dan seikat kangkung.

Kami bertukar kabar, berkomentar tentang ikan asin bau ketiak si penjual, tentang bapak-bapak genit penjual sotong, sampai bertumbuk membicarakan Bi Komariah. Bi Kadimpen dan aku tidak begitu mengenal Bi Komariah secara pribadi, lantaran rumah kami berjauhan—kami beda RT—tetapi, kukira Bi Romlah kenal baik, sebab, belakangan ini, telingaku mendadak karib dengan nama Bi Komariah karena kabar tentang perempuan itu selalu santer beredar, terutama dari bibir Bi Romlah.

“Eh, kalian tahu tidak, rumah kosong milik Kaji Tursini baru-baru ini dikontrakan ke seorang perempuan muda,” ujar Bi Romlah.

“Siapa?” tanya Bi Kadimpen.

“Janda.”

“Kutanya siapa, malah sampean jawab janda.”

“Mbuh, tapi kulihat-lihat perempuan itu mirip Bi Komariah. Dagunya lancip, jadi kalau bicara terkesan nyinyir. Sudah begitu, dia suka pura-pura tidak melihatku kalau papasan, persis gelagat Bi Komariah,” ujar Bi Romlah, pantang bergeming.

“Masa?”

“Ya, masa aku mengada-ngada.”

“Siapa nama gadis itu?”

“Mbuh, sudah kubilang persis Bi Komariah. Bukan tipikal perempuan nangga gitu lhoo. Kudengar nama dia ada Nur Nur begitu. Entah Nursiti atau Nuriti atau Nuritil. Entahlah.”

Kusenggol-senggol tangan Bi Kadimpen—dan dengan sedikit hentakan—maksudku adalah agar tidak memancing Bi Romlah bicara ngalor-ngidul, kecuali kita sedang tidak terburu-buru. Tapi,, bukan Bi Romlah kalau ia bisa mingkem. Tanpa bisa dihentikan, mencerocoslah ia membicarakan perempuan muda itu, bahwa ia adalah perempuan pendiam—yang menurutnya—tidak cocok hidup bertetangga.

Di persimpangan jalan, Bi Kadimplen dan aku membelok sedangkan Bi Romlah berjalan lurus. Mulut Bi Romlah kemudian terdengar berkomat-kamit sama-samar seiring ia menjauh. Bibirnya yang berdenyut-denyut itu ternyata ibarat penyakit yang menular dengan cepat. Bi Kadimpenlah yang terjangkit. Ia—yang mula-mula terdengar samar-samar itu—menjadi benar saat Bi Kadimpen mengangguk-angguk. Selama sisa perjalan-kakian kami menuju rumah, terpaksalah aku mendengarkan kisah hidup Bi Komariah melalui bibir Bi Kadimpen.

Jadi—sebagaimana kata Bi Kadimpen, sebagaimana juga kata Bi Romlah—Bi Komariah itu tinggal di RT 1. Aku tidak mengenalnya, tapi, kalau cuma tahu saja, maka benar kata Bi Romlah. Dia tidak bisa bertetangga dengan baik. Ah, tapi jangan pedulikan omongan Bi Romlah juga. Di RT 15 sini juga, orang-orang sering tidak bisa menjaga mulut mereka dalam hidup bertetangga kok.

Dulu—kata Bi Kadimpen, sebagaimana kata Bi Romlah—Bi Komariah tinggal dengan suami dan keempat anak mereka di rumah yang cuma ada ruang tamu, satu kamar tidur, dan satu kamar mandi. Kau pikirkan saja di mana mereka menaruh kompor dan menjejerkan keempat anak mereka. Sehari-hari suami Bi Komariah sering tampak jauh lebih tua, lesu, sakit-sakitan, dan payah. Jauh berbeda dengan Bi Komariah yang gesit dan gacor. Tapi, sayang, yang payah bekerja pontang-panting, yang gesit malah leyeh-leyeh.

Bi Romlah tidak mengatakan persis usia anak mereka, tapi bisa dibilang usia mereka berdekatan; Maripan, Samsul, Saripah, dan Mardi. Mereka tidak lulus SD. Langsung bekerja serabutan sebagaimana bapak mereka. Nah, si Mardi, si bontot, lahir setelah ketiga bersaudara itu sudah pernah menghebohkan desa Tegalurung dengan ulah mereka masing-masing.

Maripan, misal, tidak jauh-jauh berkutat dengan ban dan roda; mulai dari bekerja sebagai tukang tambal ban, menggelindingkan roda becak sebagai tukang antar penumpang, sampai dengan antar galon ke rumah-rumah. Dia pemuda buruk rupa, pemabuk, juga pemarah. Pipi kanan pemuda itu berkerut-kerut lebih buruk daripada kulit ulat sagu. Kata Bi Kadimpen—sebagaimana kata Bi Romlah—“Dia pernah memperkosa anak gadis lantaran mabuk berat. Pipi ulat sagu itu adalah gara-gara disiram minuman dan disulut oleh bapak si gadis.”

Orang bilang masih untung di muka. Sebab, jika disulut di kemaluan, jadilah ulat sagu betulan. Bi Kadimpen bilang dia dimasukan ke bui entah untuk berapa lama sebab tahun-tahun kemudian pemuda itu ibarat hantu; kadang muncul, kadang menghilang.

Setali tiga uang dengan Maripan, kata Bi Kadimpen lagi, Samsul pun tidak pernah jauh dari becak. Namun, agaknya ia lebih payah ketimbang abangnya dan bapaknya. Ia hanya mengandalkan tenaganya untuk mengayuh becak ke mana-mana. Selain daripada tenaganya, tidak. Sebab otaknya sedikit geser. Ia pernah dipekerjakan oleh Kaji Salam buat menjaga satu dari beberapa pom pertamini di pengkolan RT 1 sana. Pekerjaan itu tidak lama bertahan sebelum Kaji Salam tahu bensin dalam tabung pom itu entah mengalir ke mana tanpa menghasilkan bati, dan ketika Samsul didesak, pemuda itu bilang sesekali ia meminum bensin karena sangat kehausan.

“Jangan heran!” kata Bi Kadimpen yang semakin mirip dengan Bi Romlah, “Sebab otak dia memang geser sedikit.” Justru, keherananku belum lantas terpuaskan, maka kubilang saja tidak percaya dengan cerita itu sampai Bi Kadimpen sendiri geleng-geleng. Bi Kadimpen kadang-kadang melotot kalau aku sangsi. Terus bibirnya—yang berdenyut-denyut akibat ketularan Bi Romlah itu—kadang-kadang membuatku bergidik. “Kata Bi Romlah, dari delapan pom pertamini milik Kaji Salam, satu pernah meledak menghebohkan. Satu pom itu adalah bekas dijaga oleh Samsul.”

“Kenapa kamu terheran-heran begitu? Jangan dipikirkan dalam-dalam. Maklum, cerita Bi Romlah memang begitu. Jangankan soal minum bensin, apakah kakak-beradik itu benar bernama Maripan, Samsul, dan lain-lain itu, aku tidak begitu memusingkan.”

Ya sudah, aku dengarkan saja baik-baik. Jadi, kebakaran itu jelas menghebohkan jagat Tegalurung. Nah, tapi sedikit untung buat Bi Komariah, Saripah—anak perempuan satu-satunya—tidak begitu bikin malu, juga tidak bikin beban. Selagi Maripan dan Samsul bertindak serampangan demi uang receh, Saripah dipinang oleh seorang lelaki dari RT 2. Mbuh siapa lelaki itu. Bu Romlah bilang ia adalah Dadan. Tapi, mbuh juga. Ia mulai ragu. Begitu pula aku. Tidak pernah kudengar nama Dadan.

Bi Romlah memang begitu. Suka ngarang-ngarang. Kata Bi Kadimpen, Mang Irpandi—suami pertama Bi Komariah itu—tanpa diketahui betul, menderita kencing manis. Dan baru diketahui setelah salah satu kaki Mang Irpandi masuk ke gir becak. Lukanya membusuk tak pernah sembuh, dan hanya dibebat dengan kain, dan sesekali diganti dengan kain baru. Dalam hitungan bulan kemudian, sakit Mang Irpandi bertambah; ia kena batuk parah. Juga tak pernah sembuh. Ia cuma diperiksakan sekali ke puskesmas dan dibilang tertular TB. Entah dari siapa, tetapi kata Bi Romlah, Bi Komariahlah biang TB itu.

Bi Kadimpen bisik-bisik mengatakan itu kepadaku.

Menurut Bi Romlah, kalau pun bukan sebab tertular Bi Komariah, tetap saja sumber sakit itu dari dia. Lihat saja rumah hunian mereka sangatlah kumuh. Kata Bi Kadimpen, andaikan saja aku berkunjung, aku akan dapat melihat kembang garam pada dinding-dindingnya yang sompal; andaikan kemudian aku kebelet ke kakus, aku akan senantiasa melihat lumut-lumut dan kerak-kerak pada bilik-biliknya yang menghitam; dan, andaikan nanti aku hendak mencicipi masakannya, aku akan mendapati piring lengket bekas cuci kotor.

Ya, benar, bukan salah Bi Komariah rumah itu kumuh. Kata Bi Kadimpen, dia juga berkata begitu juga ke Bi Romlah. Yang pernah bertamu ke sana kan Bi Romlah. Lama-lama kurasa Bi Kadimpen mirip dengan Bi Romlah.

Memang, bagaimana pun juga perempuan akan dianggap gagal jika kedapatan rumah jorok seperti itu. Jangan dikira semua perempuan itu sama seperti Bi Romlah dan Bi Kadimpen. Lihat saja dapurku! Tapi, kalau suamiku usil ngoceh, aku akan angkat tangan dan membiarkan dapur bobrok seperti pembuangan sampah di ujung desa Tegalurung.

Sekarang Bi Romlah semakin mencerocos. Biar enak didengar, aku ambil alih jatah cerita Bi Kadimpen dari sini. Sejak Mang Irpandi sakit parah, Bi Komariah menjajal bekerja ke sana-kemari. Tapi karena ia masih mengasuh si kecil Mardi, paling banter ia berjualan cireng keliling. Itu pun tak seberapa untuk makan sehari-hari dan berobat, sedangkan dua anak lelaki mereka menggelandang ke arah-arah. Sudah bagus tidak digebuki orang-orang.

Setelah Maripan keluar dari bui dan berada di arah-arah entah—kadang muncul kadang hilang—ia dan Samsul seolah-olah menjadi setan kembar. Hilang-tenggelam-muncul-berkumpul. Satu lagi kehebohan di Tegalurung berkat Samsul. Ia hampir dijejalkan sesendok semen untuk menguji apakah ia memiliki usus macam tikus. Untung tidak terjadi. Ia diseret Kaji Salam ke bui. Tapi, begitulah kusampaikan tadi. Tidak jelas berapa lama mereka di bui. Kata Bi Kadimpen sebagaimana kata Bi Romlah, kedua pemuda itu kadang-kadang terlihat begajulan dan bertandang ke sana-kemari bersama para pemuda desa lain.

Menurutku, mending begitu ‘kan, daripada mereka merongrong badan dan pikiran Bi Komariah. Sungguh durjana mereka, bahkan saat bapak mereka meninggal pun, tak sekelebat salah satu dari mereka tampak di pekuburan.

Perihal bagaimana Bi Komariah belanja sehari-hari, ia memungut bekas kaleng, kardus, dan plastik aqua. Lalu ditimbun di belakang rumah sampai menggunung agar dapat memperoleh bati langsung kontan. Kaupikirkan saja sendiri bagaimana rumah kumuh itu akan bertambah kumuh. Tetapi, berkat ketelatenan Bi Komariah sedikit demi sedikit mengumpulkan modal untuk berjualan cireng keliling dan menggelar taplak meja di depan rumah untuk ciki-ciki jajanan bocah, ia bisa bertahan hidup.

Perempuan itu harus mandiri. Bi Komariah itu bukti. Tapi mbuh kenapa Bi Kadimpen tidak suka dengan perkataanku begitu. Ia bilang begini, “Si Komariah mah bukan mandiri. Terpaksa saja dia begitu karena ditinggal suami mati.” Kau tahu sendirilah bagaimana bibirnya berdenyut-denyut. Padahal, kukira, dia juga bukan perempuan mandiri kalau modal buka toko masih dari simpanan mendiang suami. Cih, enak saja dia kalau bicara! Bi Romlah apalagi, ia bilang begini, “Jualan cireng dan ciki mah mana cukup buat ngelap ingus si Mardi.” Entah kenapa ia menganggap Mardi selalu bocah.

Tapi, mbuh, sekali lagi kubilang mbuh. Menurut Bi Kadimpen, nelangsanya Bi Komariah justru bermula dari cireng itu. Setelah diketahui ia dapat memperoleh bati, kadang-kadang pada tengah malam—seperti sekelebatan hantu—sesekali Maripan atau Samsul mengendap-endap minta receh. Memang durjana! Memang! Bi Kadimpen, Bi Romlah, dan aku juga mengumpat begitu. Bi Kadimpen bilang begini, “Kata aku sih sikap buruk kedua anak lanang itu menurun dari Komariah. Perhatikan saja!”

Lha, bagaimana aku bisa tahu?

Tapi, kau percaya atau tidak, ucapan Bi Kadimpen dan Bi Romlah itu selalu kuingat-ingat. Tidak saja tentang Bi Komariah, tetapi juga tentang Maripan dan Samsul. Sebab aku pernah berurusan dengan pemuda bermuka ulat sagu itu. Pernah pada satu malam ia ngebut, melesat cepat sambil mengumpat-umpat—kirik, kirik, kirik—entah sebab aku melajukan motorku lamban-lamban atau ia memang durjana saja. Laju dengan kecepatan setan macam itu sudah patut dibalas umpatan jika bukan aku.

Kuingat, ia memboncengkan seorang bocah lelaki. Dasar pemuda-pemuda setan! Rupanya umpatannya yang renyah mencegahku mengumpat balik, juga mukanya yang—meski tampak sekilas menoleh—tetap tampak kulit ulat sagunya yang mengerikan. Itulah perjumpaanku dengan Maripan. Hingga keesokan harinya, tersiar kabar bahwasanya ada tabrakan maut antara motor dengan tugu batas desa Tegalurung. Orang-orang tentu tidak mengabarkan bagaimana tugu bata-semen itu sompal, melainkan bagaimana kepala seorang bocah pecah seperti semangka jatuh.

Kau tahu sendiri, di Tegalurung, meski seseorang sama sekali tidak berniat mengulik kehidupan orang lain, ada saja kabar ajaib masuk ke telinga kita. Bukan begitu? Entah desas-desus entah betul kejadian. Siapa sangka bocah lanang korban tubrukan dengan tugu batas desa itu adalah bocah lanang Mang Dulgoni. Dan, siapa sangka Mang Dulgoni adalah masih sedulur dengan Bi Kadimpen.

Bi Kadimpen pernah bilang kepada Bi Romlah, sampai Bi Romlah mengatakan kepadaku kira-kira pemuda ulat sagu itu tidak akan dipenjara lagi, sebab ia adalah anak tiri dari Mang Dulgoni, juga sebab hati Mang Dulgoni seputih mega musim nderep. Jadi, aku mulai mengerti mengapa bibir Bi Romlah kerap berkedut-kedut setiap kali membicarakan Bi Komariah. Jadi, suami kedua Bi Komariah adalah sedulur Bi Kadimpen.

Memang betul, aku sudah tahu pernikahan kedua Bi Komariah itu adalah dengan Mang Dulgoni. Tapi, aku baru tahu Mang Dulgoni adalah sedulur Bi Kadimpen itu dari Bi Romlah sendiri. Kapan hari itu, ia bilang, “Tidak pernah ikhlas aku melihat Dulgoni dirusuhi Komariah.” Tebakanku, sampai Mang Dulgoni, eh maksudku mendiang Mang Dulgoni diketahui meninggal sebab batuk parah, Bi Kadimpen sangat membenci Bi Komariah.

Menurutku jelas kebencian itu lantaran pertalian saudara di antara mereka. Tapi mbuh sekarang ia masih benci atau tidak. Tebakanku, Bi Kadimpen pasti senang melihat Bi Komariah ditinggal mati lagi oleh suami ketiga ini. Siapa nama suami ketiga Bi Komariah tadi kausebut?

Ya, Mang Jebod.

Aku tidak pasti dengan nama itu. Tapi, anggaplah demikian. Bi Kadimpen dan Bi Romlah juga menceletukkan nama asal-asalan saja.

Desas-desus mengatakan bahwa rumah tangga Bi Komariah dengan Mang Dulgoni itu bahkan tidak genap setengah tahun. Semingggu sebelum bulan puasa ke KUA, eh semingu setelah lebaran haji ia sudah meninggal. Waktu Bi Romlah cerita, aku memikirkan bagaimana Bi Komariah dan Mardi mendorong-dorong becak untuk memindahkan perkakas-perkakas dapur dari rumah lumutan itu ke rumah Mang Dulgoni. Terus harus terpaksa dipindahkan lagi ke rumah lumutan sepeninggal Mang Dulgoni. Inalillahi. Mereka gotong-gotong pasti dilihat para tetangga kan. Tapi, mbuh, itu cuma dugaanku saja.

Yang jelas kudengar sih cerita dari Bi Romlah ketika mereka pindah ke rumah Mang Jebod. Mereka betulan gotong-gotong perkakas dapur, bolak-balik, oper-mengoper antara Bi Komariah-Mang Jebod-Mardi, dengan menggunakan karung, sebab becak mereka terpaksa dijual murah demi modal berjualan ciki. Tapi, kukira, dijual cepat itu sebab mau dirampas oleh dua durjana Maripan dan Samsul.

Sampai di sini, aku kasihan juga dengan Bi Komariah, kok bisa mendapatkan jodoh selalu dengan lelaki melarat. Kalau sudah begitu, bukan memudahkan hidup, malah mempersulit. Duh, Gusti, semoga hidupku tidak seperti itu!

Ini bukan kata Bi Romlah, setahuku Mang Jebod itu tidak miskin-miskin amat. Sebelum dengan Bi Komariah, ia duda ditinggal mati istri. Rumah satu, anak dua—sudah menikah semua—dan cucu-cucu berserakan. Tapi itulah, usia Bi Komariah dan Mang Jebod itu sudah seperti anak dan bapak. Jadi, kau bisa lihat kalau cucu-cucu Mang Jebod itu seumuran dengan dua durjana Maripan dan Samsul.

Ngomong-ngomong soal rumah, rumah Mang Jebod itu kemudian dipugar pelan-pelan berkat bantuan dari pemdes. Barangkali juga berkat pengabdian Mang Jebod dulu sebagai satpam di balai desa selama bertahun-tahun lalu. Jadi, benar, dia tidak miskin-miskin amat. Rumah tangga mereka juga agak membaik. Tapi itu cuma tampak, sekali lagi kubilang, cuma ‘tampak’ di mata tetangga saja. Eh, padahal …. Bi Romlah dan Bi Kadimpen tidak tahu kalau anak-cucu Mang Jebod itu tidak pernah suka dengan pernikahan mereka.

Lantaran apa? Coba kau tebak?

Lantaran Mang Jebod sudah pasti sebentar lagi mampus. Dua anak Mang Jebod itu sangat benci dengan Bi Komariah. Jadi, pada saat Mang Jebod meninggal, Bi Komariah tidak akan mendapatkan apa-apa. Termasuk rumah peninggalan lelaki itu. Begitu. Dan kau harus tahu, usia rumah tangga dengan Mang Jebod pun bisa dibandingkan dengan usia rumah tangga dengan Mang Dulgoni. Kalau kau sempat mendengar Mang Jebod meninggal sebab batuk parah, aku tidak begitu heran. Usia juga tidak bisa berbohong kan?

Setelah menggotong-gotong lagi perkakas mereka, terakhir kudengar Bi Komariah kini menikah siri dengan Mang Nur. Suami keempat. Ah, aku lupa nama lelaki itu. Tapi, betul kuingat ada itu Nur-Nur begitu. Nur siapa lupa. Nuriman, atau siapa itu. Dulu semasa muda dia pernah bekerja menjadi penebang pohon kelapa. Yang kalau malam bulan puasa selalu menabuh genjring. Siapa tuh, lupa aku. Ah, kamu juga mana mungkin tahu. Tapi, kamu mungkin mendengar ada lelaki penabuh genjring atau dalang depok meninggal sebab TB. Dia itulah suami Bi Komariah keempat.

Kau jangan mesem-mesem begitu. Memang belum keempat suami Bi Komariah itu meninggal sebab TB. Mau dikata bagaimana lagi coba. Bi Kadimpen bilang begitu. Bi Romlah juga bilang begitu. Kau pasti akan mengira aku mengada-ngada kalau aku bilang sekarang Bi Komariah sudah menikah siri dengan seorang lelaki dari RT 1, padahal kembang di kuburan Mang Nur itu belum mengering. Ya kan?

Tapi, aku bisa mengerti mengapa Bi Komariah mau berumahtangga lagi. Sekarang jaman sedang serbasulit. Pemerintah melarang kita pergi ke mana-mana; kita tidak boleh keluar rumah tanpa masker. Kerja tidak boleh, tapi makan harus. Mau bagaimana itu PPKM tahi kucing?! Justru aku jadi curiga jangan-jangan Mang Nur itu meninggal sebab korona ini. Kerjaan suamimu sendiri bagaimana? Baik-baik saja? Lagipula kenapa kamu musti pindah ke rumah kontrakan Kaji Tursini kalau masih ada kamar kosong di rumah mertua?

Perempuan muda yang kuajak bicara sedari tadi ini lebih banyak diam dan mesem-mesem saja. Aku pun terhanyut bercerita ke sana-kemari, sampai-sampai lupa menanyakan namanya. Tadi sih dia sempat bilang, siapa itu, Nur juga. Nur siapa, ada Nur-Nur begitu. Seperti Nuriti, Nursiti, atau Nuritil, begitu. Apa jangan-jangan?!

KOMENTAR

Telah menerbitkan Aib dan Nasib (2020) dan Kemelut Rondasih dan Dua Anaknya (2024).

You don't have permission to register