Darurat Literasi, Darurat Dunia Pendidikan
Bulan Mei menjadi bulan yang memiliki arti bagi dunia pendidikan Indonesia. Pasalnya, pada bulan ini bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) dan Hari Buku Nasional (17 Mei). Namun ironi terjadi kembali, kasus pemberangusan buku dan pelarangan diskusi menjadi ancaman bagi dunia pendidikan disaat minat literasi Indonesia sangat rendah.
Menurut survei Vivanews tentang minat literasi, Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara. Momentum inilah yang digunakan Unit Pers Mahasiswa (UPM) Universitas Pendidkan Indonesia (UPI) kembali menyelenggarakan Bincang Isola edisi ke-6 dengan mengusung tema “Pelarangan Buku dan Ancaman Dunia Pendidikan”.
Diskusi kali ini kembali digelar di Teater Terbuka Museum Pendidikan UPI, Jum’at (27/6/2016) dengan mengundang beberapa narasumber antara lain Muhidin M Dahlan (Aktivis Literasi Jogjakarta, Penulis), Anton Kurnia (Penulis, Aktivis Literasi Jakarta), Ahda Imran (Penulis, Aktivis Literasi Bandung), Rama Prambudhi Dikimara (Direktur Dewantara Institut), Zen RS (Penulis, Founder Panditfootbal.com) dan Deny (Praktisi Pendidian UPI).
Acara dimulai dengan dendangan lagu dari Orkes Keroncong Badami yang mengggantikan Wanggi Hoed (Pantomime) karena berhalangan hadir. Lalu, dilanjut dengan diskusi yang dimoderatori oleh Melanie Agustin.
Dimulai dari sikap pemerintah dan aparat yang menjadi sorotan karena dalam kasus ini aparat bergerak sendiri tanpa ada sidang terlebih dahulu dari Mahkamah Konstitusi (MK). “Pelarangan buku dapat dilakukan lewat sidang MK, namun yang terjadi dilapangan, aparat bergerak sendiri dan tidak terkontrol, sehingga buku-buku yang diberanguspun tidak tepat sasaran.” ujar Rama Prambudhi membuka diskusi.
Sikap pemerintah inilah yang mendorong Gus Muh, sapaan akrab Muhidin M Dahlan, bergerak dengan mengajak170 elemen literasi untuk melawan pemberangusan buku yang sebenarnya sudah terjadi sejak lama.
“Tahun 2001 buku saya diberedel. 2009 juga negara melakukan pelarangan. Jangan-jangan pelarangan ini semacam festival. Ajeg dan laten. Ini bukan karena IPT Den Haag dan Simposium. Tapi karena TAP MPR No.15 tahun 1966 yang dipakai untuk melegitimasi pemberangusan buku. Untuk melakukan rekonsiliasi TAP ini harus dicabut walaupun sudah ada TAP MPR 2003 tentang sapu jagad.” jelas Gus Muh.
Anton Kurnia juga menjelaskan bahwa pola yang dipakai untuk pemberangusan buku dan pembubaran diskusi ialah pola yang ada di roman “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer. Segeilncir ormas (organisasi masyarakat) militer dan polisi memperkuat pemberedelan yang ada sedangkan pembubaran diskusi di kampus adalah salah kaprah. Mengingat kampus merupakan mimbar bebas untuk mencari ilmu pengetahuan. “Seharusnya pemerintah mendukung buku dan diskusi ditengah kondisi minat literasi masyarakat Indonesia yang rendah, bukannya malah kontraproduktif,” tutur Anton Kurnia.
Diskusi semain hangat ketika moderator melontarkan pertanyaan bolehkah mempelajari marxis di UPI ke salah satu narasumber, Deny.
“Kita harus melihat dari tiga perspektif, perspektif ideologi, perspetif bisnis dan penerbit. Secara perspektif tersebut pelarangan tidak bisa diterima,” jawab Deny.
Ahda Imran turut menganggapi, dengan pengadaian sebuah taman. “Di taman semua berbagai macam tumbuhan punya hak untuk ada dan hidup. Bayangkan jika taman parterre hanya ada bunga mawar saja. Begitu pula pemikiran dan buku. Persoalannya pendidikan tidak akan hadir jika di taman hanya tumbuh satu macam tumbuhan,” ucap Ahda Imran.
Sisi historis dihadirkan oleh Zen RSdengan melihat bahwa persoalan ini sudah ada sejak tahun 1965. “Watak politik Indonesia berubah drastis ketika setelah peristiwa 1965 dan era orba (Orde Baru). Kaum intelektual, mahasiswa, dosen dan seniman punah. Buku diberangus. Puluhan kampus ditutup karena dianggap berbau komunis yang pada akhirnya juga mengubah wajah pendidikan Indonesia,” tegas Zen.
Anton Kurnia memberikan closing statment untuk diskusi kali ini dengan menyatakan bahwa pemerintah mesti sadar dengan darurat literasi kali ini. “Dalam keadaan dilarang ataupun tidak buk susah sekali untuk didapat dan mestinya pemerintah mendukung literasi bukan melakukan pemberedalan atau kontraproduktif yang membuat dunia pendidikan semakin terpuruk.”[]