Fb. In. Tw.

Dari 1984 sampai Hal yang Terjadi Belakangan

Sekira dua hari lalu, saya memutuskan untuk meng-uninstall aplikasi Twitter di telepon pintar, karena tidak kuat melihat berita tentang sikap Negara dalam memperlakukan orang-orang yang mengkritiknya. Namun hal itu ternyata percuma, sejauh apapun saya mencoba untuk merasa baik-baik saja, berita-berita terkait sikap Negara akhirnya sampai juga lewat banyak cara. Dan beginilah saya sekarang, kecewa terhadap diri sendiri karena tidak bisa memberikan andil bagi perlawanan.

Sebab bagaimana bisa saya tetap menjalani hari-hari seperti biasanya, membaca buku dengan tenang atau menulis puisi, sedangkan di luar sana terjadi kenyataan yang lebih mengerikan dari buku-buku fiksi. Wiji pernah mengatakan dalam sebuah wawancara yang dicatat dalam buku Seri Buku Tempo tentang dirinya, sastra adalah salah satu alat perjuangan. Namun agak berlebihan bila kita mengharapkan sastra akan membawa perubahan sosial.

Pada akhirnya saya meng-install lagi Twitter di telepon pintar. Seketika berita-berita tentang tindakan represif Negara berseliweran di jagat maya. Sebut saja 50 mahasiswa yang hilang pasca demonstrasi di DPR, dua orang mahasiswa yang meninggal pasca demonstrasi, penangkapan seorang aktivis yang getol menyuarakan HAM di Papua, dan yang baru saja terjadi adalah seorang musisi sekaligus jurnalis ditangkap karena mengorganisir dana bantuan kepada para demonstran.

Ketika membaca berita-berita tersebut, saya menyadari betapa Negara benar-benar ada di hadapan dan bisa menyentuh kita kapan pun ia mau. Terlintas di kepala saya tentang Winston Smith yang kejar-kejaran dengan Bung Besar dalam novel 1984 karangan George Orwell. Begitupun di Indonesia saat ini, Negara juga ternyata memiliki teleskrin dan Polisi Pikiran-nya sendiri, mereka terus memantau gerak-gerik kita dan siap menangkap orang yang tidak sepemahaman dengannya.

Selain itu, dapat kita lihat betapa Negara ini butuh sesosok musuh, seperti Bung Besar membutuhkan Emmanuel Goldstein. Negara mencoba membuat kita percaya bahwa KPK adalah lembaga yang mengancam demokrasi dan menghambat investasi, tanah Papua telah disusupi ISIS, demonstrasi mahasiswa yang ditunggangi oleh kepentingan politik, dan lain sebagainya. Emmanuel Goldstein versi Negara ini harus kita percaya, sebab jika tidak, kita adalah salah seorang yang ikut bersekongkol sebagai musuh Negara.

Lewat media sosial, buzzerbuzzer pro-Negara membagikan narasi untuk mengonter orang-orang yang mengkritik Negara. Satu contoh yang baru-baru ini tersebar adalah sebuah narasi bahwa mobil ambulans─yang disiapkan untuk mengantisipasi korban demonstran─merupakan penyuplai batu untuk digunakan sebagai senjata para demonstran. Bukankah tujuan dari narasi yang dibuat dan disebar oleh buzzerbuzzer ini tidak jauh berbeda dengan program Dua Menit Benci yang dilakukan oleh Bung Besar?

Sebagai orang yang bukan siapa-siapa, saya merasa begitu gelisah dan tak berdaya. Namun saya yakin bukan cuma saya, banyak orang merasakan hal yang sama. Terlebih Negara telah menyebarkan rasa takut kepada masyarakat. Dengan kata lain, Negara coba meyakinkan kita bahwa 2+2=5.

Ini soal ‘chilling effect’.

Bila saya dan @Dandhy_Laksono berhenti memberitakan soal Papua, maka yang lain juga akan surut dan pembungkaman mereka berhasil.

Bila @anandabadudu dan #MahasiswaBergerak #STMBergerak berhenti, maka pembungkaman mereka berhasil.

Mari menolak tobat!

Kicau Veronica Koman lewat akun Twitter @VeronicaKoman. Rasa takut itu telah disebarkan, satu persatu orang yang melawan secara terang-terangan ditangkap dan dijadikan tersangka. Seperti novel 1984, orang yang melawan akan dimasukkan ke kamar 101 dalam Kementerian Cinta Kasih.

Namun apa yang bisa dilakukan sekarang?

Berbuat! Berbuat! Orang akan tetap gelisah bila tidak berbuat. Begitulah suara Midah dari novel Midah, Simanis Bergigi Emas karangan Pramoedya, terngiang di kepala saya. Berbuat, bahkan sekecil apapun. Bukankah andil nol koma nol sekian persen juga merupakan upaya?

Kembali pada hari ketika saya menulis catatan ini, setelah saya kembali meng-install Twitter lalu mulai mengusap-usap layar telepon pintar. Saya kira saya sedang membaca fiksi, tapi ternyata tidak, saya sedang membaca beranda Twitter tentang apa yang memang terjadi. Dan dengan catatan pendek ini, saya mencoba mengingat kembali bahwa 2+2=4, jawabannya mesti tetap 4.[]

KOMENTAR
Post tags:

Adhimas Prasetyo, penulis dan pembaca. Buku puisi pertamanya berjudul Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung (2020).

You don't have permission to register