Chapecoense
Lacrimosa dies illa
Qua resurget ex favilla
Judicandus homo reus.
Huic ergo parce, Deus:
Pie Jesu Domine,
Dona eis requiem.
Amen.
(Lacrimosa, Mozart)
Kota Chapecó mengawali Desember dengan duka yang mendalam. Di stadion Arena Condá, penduduk kota melihat peti dan mimpi yang telah mati. Untuk sementara sorak-sorai penduduk kota berganti isak tangis dan suasana haru.
***
Sejujurnya, siapa yang peduli dengan Chapecoense dan final Copa Sudamericana, sebelum tragedi kecelakaan pesawat terjadi? Barangkali segelintir orang, terutama di luar Amerika Selatan.
Chapecoense adalah tim sepak bola yang sedang naik daun dengan anggaran dana terbatas dari kota Chapecó di negara bagian Santa Catarina, Brasil. Chapecoense mengalami kecelakaan pesawat, ketika sedang menempuh perjalanan ke Kolombia untuk berlaga di final leg pertama Copa Sudamericana. Semua hampir tewas. Hanya tiga pemain dari Chapecoense yang selamat. Dongeng berakhir tragis.
Dunia berempati. Doa mengalir melalui ucapan belasungkawa. Beberapa monumen dan stadion di dunia menyalakan lampu hijau—warna kebesaran Chapecoense—sebagai simbol penghormatan. Seluruh pertandingan sepakbola di berbagai dunia mengadakan one minute of silence untuk mendoakan para korban. Tim-tim sepakbola di Brasil siap melepaskan pemainnya dengan status pinjaman. Bahkan Atletico Nacional meminta Conmebol untuk memberikan gelar juara Copa Sudamericana kepada rival mereka di final, dan Conmebol langsung mengiyakan permintaan itu. Kemanusiaan adalah gelar yang tak terkalahkan.
Itulah Chapecoense yang berhasil mencuri waktu setiap orang di tengah kesibukan memenuhi kantong saku yang kosong untuk merenungi kembali sebuah nilai primitif bernama kemanusiaan.
Kemanusiaan yang perlahan terkikis di zaman yang semakin menimbulkan rasa ngeri, Di lain hal, persaingan di berbagai bidang terus memanas. Persaingan yang hanya menghasilkan perang dan kejahatan. Ada chapecoense-chapocoense lain di dunia ini. Anak-anak di perang timur-tengah, pembantaian kaum muslim di Rohingya, penggusuran lahan di Indonesia, atau bahkan kriminalitas dan virus zika di Brasil sendiri. Maka, momen Chapoecoense ini seperti oase di tengah zaman yang semakin gersang karena perang dan kejahatan.
Dunia membutuhkan kemanusiaan yang lebih berarti. Seperti tragedi Chapecoense, kita tidak mengenal siapa mereka sebelumnya, tidak peduli mereka berasal dari mana atau pandangan politik mereka seperti apa. Satu hal yang jelas, kita merasa sedih ketika mendengar ajal menjemput mereka, saat mereka sedang berjuang demi orang-orang yang mereka sayangi. Entah itu penduduk kota Chapecó, pendukung tim Chapecoense atau bahkan keluarga mereka sendiri.
Chapecoense membuat kita belajar, ajal lebih kecil dari titik putih lapangan sepak bola dan datangnya tidak bisa ditebak seperti gol-gol dalam pertandingan sepak bola. Perjuangan mesti ditempuh hingga detik akhir kehidupan dan hidup sangat berharga daripada mengulur waktu.
***
Kota dibalut awan kelabu. Pada hari haru pemakaman Chapecoense, deras hujan mengiringi langkah penduduk kota berdatangan ke stadion Arena Condá, markas Chapocoense. Mereka membawa doa dan airmata yang tak mampu dihapus air hujan. Saya teringat larik-larik sajak Goenawan Mohamad dalam “Lacrimosa” “Mungkin cerita/memang tak bisa berhenti”.
Barangkali penduduk kota Chapecó—atau bahkan kita—membayangkan Chapecoense sedang asyik bermain sepak bola di surga. Melanjutkan mimpi yang terhenti di dunia.
Duka di awal Desember ini, tak akan kekal bagi yang bisa mengambil hikmah dari tragedi itu. Terutama tentang kemanusiaan, semoga tidak tertutup awan kelabu.
Tuhan kasihanilah Chapecoense dan dunia ini.[]