Cerita dan Potensi Jonggol
Barangkali Anda sering mendengar kutipan, “Bapak mana, Bapak mana? Di Jonggol.”
Ya, kutipan tersebut hari ini begitu populer dan menjadi icon sebuah sinetron di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Kutipan yang terucap dari seorang bocah bernama Sony ‘Wakwaw’, yang nama aslinya adalah Sony Kurniawan.
Jonggol pada kutipan tersebut merujuk pada sebuah kecamatan di bagian timur Kabupaten Bogor. Kecamatan ini memiliki cerita tersendiri sebagai wilayah penyangga ibu kota. Selain terkenal melalui kutipan tersebut, Jonggol juga sempat terseret dalam kasus korupsi terkait konversi hutan di Kabupaten Bogor. Kasus ini bahkan menyeret Bupati Bogor dan Direktur Utama Sentul City menjadi tersangka.
Namun, di balik cerita tersebut, Jonggol juga memiliki cerita bersejarah dan pesona alam luar biasa yang belum semua orang tahu. Pada tahun era 90-an menjelang lengsernya Presiden kedua RI, Soeharto, Jonggol sempat digadang-gadang sebagai kota terpadu dan kota alternatif untuk memindahkan pusat pemerintahan RI dari Jakarta. Dengan rencana tersebut, maka mulai gencarlah pembangunan di wilayah Jonggol dan sekitarnya.
Untuk membuka akses menuju Jonggol, pemerintah kala itu mulai membuka jalur alternatif Cianjur-Jakarta melalui Jonggol. Setelah membuka jalur alternatif, mulai juga pembangunan pemukiman berupa perumahan elit di sekitar Cibubur hingga Jonggol. Tidak hanya itu, bahkan pada era Soeharto sempat pula dibangun Graha Garuda Tiara Indonesia (GGTI). Sebuah bangunan megah berbentuk burung Garuda. Namun sayang, kini bangunan megah ini telah diratakan dan dialih fungsikan oleh pemerintah.
Hingga kini pembangunan di Jonggol dan sekitarnya tidak berhenti. Jonggol menjadi salah satu target proyek pengembangan wilayah timur Kabupaten Bogor sebagai kawasan strategis provinsi (KSP) bersama Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur). Proyek ini sebetulnya kelanjutan proyek pada era Soeharto. Pengembangan dilakukan dengan menghubungkan Jonggol, Sentul, Cianjur, Puncak, dan Kota Bogor.
Dengan mulai berkembangnya pembangunan di Jonggol, maka potensi-potensi yang dimiliki Jonggol mulai dikembangkan, salah satunya dalam bidang pertanian dan perkebunan. Sebagai daerah agraris, Jonggol memiliki hasil pertanian dan perkebunan yang luar biasa.
Bahkan, kini Jonggol menjadi salah satu kota penghasil durian lokal. Nah, jika Anda penikmat durian, maka berkunjunglah ke Jonggol pada bulan Februari dan Maret, karena pada bulan-bulan inilah durian lokal dari Jonggol membanjir. Tidak hanya durian, manggis dan rambutan pun dapat kita jumpai, bahkan harga rambutan di Jonggol jika sedang panen bisa mencapai Rp3000/kg. Untuk harga durian lokal mulai dari Rp15.000-40.000/buah, tergantung ukurannya, sedangkan manggis Rp1000/buah. Murah bukan?
Selain mulai mengembangkan potensi bidang pertanian, pemerintah pun tengah mempromosikan kebudayaan dan kesenian asal Jonggol, seperti Tanjidor, Tari Topeng, Jaipong, dan Sandiwara. Serta tentu saja mengembangkan potensi pariwisata alam di Jonggol.
Dengan kondisi sekarang, Jonggol telah berevolusi dari daerah agraris terpencil menjadi daerah agraris terpadu dan maju. Bukan tidak mungkin wacana memindahkan pusat pemerintahan ke Jonggol kembali terlontar. Karena perkembangannya yang luar biasa ini, bahkan saya menyebutnya sebagai “Djonggol Land”.[]
Foto: Anri Rachman