Cepat Sembuh, Mas Alwy!
“Kamu kalau belum ke Dermaga Cirebon, belum khafah jadi penyair,” kira-kira seperti itulah ucapan Ahmad Syubbanuddin Alwy dengan logat khas Cirebonnya. Ucapan Mas Alwy itu masih membekas di ingatan saya ketika bertemu dengannya di Dewan Kesenian Cirebon tahun 2007 lalu. Rambutnya yang panjang, kepalanya selalu ditutupi topi bergaya Mongolia, serta tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, membuat orang dengan mudah mengenal Mas Alwy. Terutama, gaya bicaranya yang ceplas-ceplos.
Saya mengenal Ahmad Subhanudin Alwy bukan dari puisinya, melainkan dari esai-esainya yang menurut saya mempunyai karakter yang kuat. Banyak esai-esai budaya, sastra, sosial, bahkan politik yang ditulis olehnya.
Pernah suatu ketika saya menulis esai dan dikritik habis-habisan oleh Mas Alwy, “Ini esai atau tugas kuliah, kalau tugas kuliah jangan dibawa ke saya. Bawa ke dosen kamu. Kirik!” Kemudian saya tertawa dan ia melemparkan buku-buku sastra yang harus saya baca.
Meskipun proses kreatif saya tidak lama bersama Mas Alwy, namun saya menganggap bahwa ia adalah guru yang baik. Ia selalu menyemangati saya degan cara yang lain. Ia menyemangati serta memberikan spirit terhadap anak muda dengan cara yang keras.
Tahun 2010 saya berkesempatan mengikuti Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) IV di Brunei Darussalam. Secara mengejutkan, di Bandara Soekarno Hatta bertemu dengan Mas Alwy. Saya, Yopi Setia Umbara, serta Faisal Syahreza mendatangai beliau. “Tiketku bermasalah, Her,” katanya. Kami pun tertawa.
Bagaimana tidak tertawa, beberapa jam lagi pesawat akan take off, sedangkan Mas Alwy masih mengurus tiket pesawat. Saya tidak tahu siapa yang mengurus tiket pesawatnya, yang jelas nama dalam tiket berbeda dengan nama di KTP. Setelah beberapa saat mengurus tiket, akhirnya kami dapat sama-samadapat berangkat ke Brunei Darussalam.
Kelucuan serta kekonyolan yang kami alami tidak habis di Bandara Soekarno Hatta, tetapi juga terjadi di Bandar Undara Internasional Brunei. Di lorong imigrasi, kami dihadang oleh petugas imigrasi Brunei. Petugas tersebut memberi kami selembar kertas, ia meminta kami menulis alamat lengkap majikan. Mungkin karena dandanan kami seperti Tenaga Kerja Indonesia (TKI), polisi tersebut menganggap kami sebagai TKI.
Kelucuan kembali terjadi di tempat makan peserta PPN IV. Saya masih ingat sekitar pukul 09.30an kami menuju ke tempat makan. Karena saya seorang vegeratian, saya memilih makanan sayuran. Mas Alwy tiba-tiba nyeletuk dengan bahasa Cirebon, kira kira kalau saya artikan dalam bahasa Indonesia begini bunyinya, “Ribet banget hidupmu”.
Setelah selesai makan, Mas Alwy didatangi oleh orang yang sedari tadi menyiapkan ketering. Saya takut karena ucapannya yang ceplas-ceplos menyinggung orang Brunei. Ternyata pegawai ketering yang mendatanginya itu TKI asal Cirebon. Orang itu mendatangi karena tadi Mas Alwy berbicara dengan bahasa Cirebon. Kami kemudian tertawa lagi. Dan, selama kami di Brunei diantar ke mana-masa dengan mobil ketering.
Di mana ada Mas Alwy di situ ada tawa. Selama saya bertemu dengannya, di sana pula kami selalu tertawa. Mas alwy yang humoris, kritis, serta “sok akademis” membuat setiap orang akan merindukannya.
Saya mendapat kabar bahwa Mas Alwy dirawat di Rumah Sakit Sumber Waras, Kabupaten Cirebon, karena pendarahan di otak. Saya beserta Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) dan kru buruan.co belum menengok ke Cirebon. Kami mendoakan untuk kesembuhan Mas Alwy. Semoga Mas Alwy kembali sehat dan menghadirkan gelak tawa lagi dengan gaya khasnya.[]