Catatan Harian yang Puitik
Membaca tiga buah sajak yang ditulis Choer Afandi dan Zetira Regi Tilafa di halaman Pertemuan Kecil Pikiran Rakyat, 29 Juli 2018, rasanya seperti membaca catatan harian yang puitik. Kedua penulis berupaya merefleksikan apa yang terjadi dalam kesehariannya pada baris-baris kata yang disusun secara puitik. Sebuah upaya menuju puisi.
Tiga sajak dari dua penulis ini terasa sangat personal. Sajak-sajak mereka kurang menarik simpati pembaca. Mereka berkutat dengan persoalan empiris personal yang kurang terkristalisasi. Sehingga pembaca hanya sekadar membaca pengalaman penulis melalui sajak mereka. Tidak memberi kemungkinan pembacaan yang terungkap dalam sajak.
Misal pada dua sajak Choer Afandi, yang berjudul “On The Road (1)” dan “On The Road (2)”. Sebelum masuk ke dalam isi sajaknya, saya cukup tertarik dengan judul dua sajak tersebut. Bagaimana tidak tertarik, judul selalu dicetak lebih tebal dari isi sajak pada tata letak sebuah koran.
Saya tertarik pada judul sajak Choer karena mengingatkan pada sebuah novel karya penulis Amerika Serikat, yakni Jack Kerouac. Novel berjudul On The Road yang ditulis Kerouac pertama kali terbit di Amerika Serikat pada tahun 1957. Pada tahun 2017, kita dapat menikmati novel tersebut dalam terjemahan bahasa Indonesia atas kerja keras Noor Cholis dan Penerbit Banana.
Dalam sejarah kanon sastra Amerika, On The Road merupakan salah satu karya penting. Begitu pula penulisnya, Kerouac merupakan salah satu penulis dari sebuah generasi yang dikenal dengan sebutan Generasi Beat. Teman Kerouac yang juga disebut sebagai bagian dari Generasi Beat adalah penyair Allen Ginsberg.
Kembali pada sajak Choer Afandi. Setelah dibaca, dua sajaknya ternyata tidak ada kaitannya dengan karya Kerouac. Ia hanya memiliki judul yang mirip saja. Sajak Choer mengutarakan pengalaman seorang aku lirik sebagai seorang driver ojek online (ojol) saat on the road (di jalan). Mari kita baca dua sajak Choer selengkapnya.
On The Road (1)
Layar handphone sigap dipantau
Nada dering ditunggu-tunggu
Berbunyi; seperti dentum bom
Sebagai isyarat datangnya order
Tiba-tiba handphone mati
Lupa mengecas sebelum aksi
Kelimpungan; cari baterai pengisi
Waktu berjalan cepat lenyaplah rezeki
Satu poin lampau penyesalan
Tanam kembali harapan panjang
Kelalaian bukan suatu alasan
Pelajaran baik direnungkan
On The Road (2)
Tajam pisau waktu
Mengiris-iris wajahku
Ada yang tersembunyi
Dari sekadar jarak tempuh
Tersimpan dalam hati
Tak perlu ada keluh
Aku bekerja;
Bukan untuk menjadi kaya
Selesaikan tugas
Akhiri dengan ikhlas
Aku duduk;
Berlama-lama di jok motor
Seperti penyair;
Berlama-lama di depan monitor
Atau seperti koruptor;
Berlama-lama di kantor mencari uang kotor
Tiba-tiba aku teringat sebuah buku;
Habis gelap terbitlah terang
Aku tak tahu;
Seterang lilin atau lampu bohlam
Sebab hidupku hanya menumpang
Aku bekerja sebagai driver;
Sedari pagi hingga petang
Dan hanya mampu membeli
Sebotol air mineral
Maka kata patut kuucapkan;
Bersyukur pada tuhan
Kalaupun ada kesamaan dengan On The Road karya Kerouac, barangkali kesamaan itu terletak pada semangat Choer untuk mencatat pengalamannya di jalan. Kerouac juga menulis novel tersebut dari catatan-catatan perjalanannya keliling Amerika.
Pada awalnya saya kira, sajak ini merupakan empati seorang penulis terhadap driver ojol, tetapi setelah bertanya kepada salah seorang teman, rupanya penulis juga memang menekuni profesi ini. Jadilah ini benar-benar salah satu potret driver ojol yang dapat kita lihat dalam sajak.
Perlukah saya merinci kata, larik, atau bait mana saja yang menunjukkan bahwa dalam sajak ini aku lirik dalam sajak ini sebagai driver ojol? Tanpa perlu merincinya sekalipun saya kira pembaca sudah dapat menafsirkannya. Sebab sajak ini sudah menyatakannya sendiri secara verbal.
Sesuatu yang unik dari kedua sajak ini, yang saya rasakan sebagai sebuah catatan harian, adalah sajak-sajak ini penuh dengan semangat memberi petuah. Macam ustaz kepada kepada umat. Coba kita simak baris-baris pada sajak pertama ini: Satu poin lampau penyesalan/Tanam kembali harapan panjang/Kelalaian bukan suatu alasan/Pelajaran baik direnungkan. Atau, pada sajak kedua: Aku bekerja;/Bukan untuk menjadi kaya/Selesaikan tugas/Akhiri dengan ikhlas. Atau, Maka kata patut kuucapkan;/Bersyukur pada tuhan.
Baris-baris tersebut barangkali merupakan hikmah dalam catatan aku lirik sebagai seorang driver ojol. Namun, dalam sajak, baris-baris seperti itu sebaiknya dihindari. Sebab pembaca sajak umumnya tidak senang diceramahi. Pembaca sajak lebih senang menyelami hikmah dari baris-baris kata yang ilustratif.
Lalu mari kita baca satu sajak karya Zetira Regi Tilafa. Sebuah sajak yang berupaya menggambarkan kecamuk batin seorang aku lirik.
Senjaku di Matamu
Matamu; senjaku terbenam di situ
Setiap kali hari ingin berganti
Rinduku terbit dari arah mana-mana
Air mata berkata kau telah jauh
Dan aku semakin jatuh
Kututup jendela tapi hatiku selalu terbuka menunggu yang datang
menanti yang diam-diam hilang
aku tahu meski kau kembali
rumahmu bukan pelukan-pelukan dariku
Maka saat kau berniat pulang
Kubiarkan langit menganyam bintang
Agar malam selalu jadi tempat paling tenang bagi langkah-langkahmu mendarat
Di setiap perjalanan yang kau lalui
Selalulah selamat
Sebab telah kutitipkan senja di dua lembar matamu
aku ingin berkata tentang cinta sebagai penutup tapi bagi yang mencintai sendirian
Rasanya tidak cukup pantas
Berbahagialah…
Sebelum bait-bait puisi jadi kalimat kutukan yang akan diucapkan semesta
Hal mencolok yang dapat saya lihat dari sajak ini adalah tipografinya. Tipografi sajak ini kurang elok. Enjambemen atau pemenggalan larik sajak ini tak sedap dipandang. Walaupun soal enjambemen ini otoritas penulis, tapi sebagai pembaca, saya terganggu dengan sajak yang seakan tidak ditata dengan apik ini.
Bayangkan jika sajak ini sepiring mi goreng. Sementara mi yang lain berkumpul di tengah, sebagian lainnya awur-awuran keluar dari lingkaran piring. Lalu mi goreng tersebut disajikan kepada kita. Apakah kita tidak mengerutkan dahi saat menghadapi sajian seperti itu?
Oleh karena itu, hal-hal mendasar mengenai enjambemen ini mesti dikuasai betul oleh Regi. Padahal judul sajaknya cukup menarik, “Senjaku di Matamu”. Judulnya cukup membuat penasaran. Akan seimajinatif apakah tuturan aku lirik dalam sajaknya.
Baca juga:
– Dua Upaya Mengolah Kemurungan
– Renungan Penulis dan Harapan Pembaca
Membaca baris-baris sajak Regi, saya diajak untuk melihat upaya aku lirik mengilustrasikan batin. Imaji Rindu terbit dari mana-mana, Air mata berkata kau telah jauh, Kubiarkan langit menganyam bintang, atau Sebab telah kutitipkan senja di dua lembar matamu, merupakan baris-baris yang lumayan menarik dari sajak Regi. Pada baris-baris tersebut tampak kemampuan Regi mengajak pembaca ke dalam sebuah pengalaman membaca larik dengan mengulik gaya bahasa.
Namun secara keseluruhan, sajak ini tidak cukup menjalin ikatan membaca yang kuat antara sajak dan pembaca. Tidak sekuat rasa cinta aku lirik pada sosok yang ia sebut dengan ‘mu’ atau ‘kau’ dalam sajak ini. Selain enjambemen yang mengganggu ikatan sajak Regi dengan pembaca, hal lainnya adalah terbatasnya tafsir cinta dalam sajak ini. Sebab, ‘mu’ atau ‘kau’ dalam sajak ini kemungkinan besar adalah representasi seseorang yang hanya dikenal oleh aku lirik. Ia tidak ilustrasi perasaan cinta yang lebih bisa ditafsir secara luas. Perasaan cinta kepada sesuatu zat yang lebih transendental misalnya.
Oleh karena itu, cara ungkap aku lirik dalam sajak ini, terlalu mewakili persepsi personal. Ia tak mengajak pembaca merasakan kecamuk batin yang sama seperti yang tersaji dalam sajak. Gejolak batin itu hanya tampak di mata, tidak sampai hanyut ke hati. Maka, alangkah eloknya, jika sajak yang berupaya menyampaikan ungkapan batin seperti ini mampu menghanyutkan perasaan pembaca seperti yang dialami aku lirik.[]