Fb. In. Tw.

Café Oh Kafe

Pada Sebuah Kafe  

Sore itu aku minum kopi panas, kafe masih sepi, lampu belum dinyalakan
Sepasang anak muda berpelukan. Terdengar denting dari arah organ
Entah siapa yang mengirimkan kesedihan itu ke mari, sebuah instrumentalia
Yang sudah lama kujauhkan dari telinga. Sore itu aku menghabiskan
Dua bungkus rokok kretek serta tiga cangkir kopi. Kau belum datang juga
Atau kau memang tak pernah datang sore-sore begini
Malam itu aku memesan bir dingin, tiga bungkus rokok kretek kusiapkan
Untuk melawan bosan. Meja-meja masih kosong, musik belum dimainkan
Organ menjadi makhluk yang menyendiri di sudut, anggun sekaligus terasing
Aku ingin menjadi bunyi yang muncul dari kekosongan, yang melenting sepi
Dari ruang ke ruang tak berhuni. Malam itu aku mereguk empat botol bir
Tiga bungkus rokok kretek kuisap sendirian. Kau belum datang juga
Atau kau memang tak pernah datang malam-malam begini
(Acep Zamzam Noor, Kompas 31 Januari 2010)

Di antara nyanyian yang mengalun, orang-orang tenggelam dalam perbincangan dengan variasi jus di atas meja. Saya duduk dengan sebungkus rokok dan sebuah buku. Di meja lain beberapa orang sedang asyik berselancar di dunia maya dengan laptop. Satu-dua orang di pojok membaca novel di Garden Kafe. Dalam bahasa Prancis, café berarti kopi. Konon, dahulu kerajaan Belanda menghadiahkan biji-biji kopi yang berasal dari Afrika kepada kerajaan Prancis, raja Louis IVX. Pertumbuhan perkebunan café pun bermunculan di Prancis. Café, akhirnya menjadi nama untuk tempat seperti kedai kopi. Di Indonesia café menjadi kafe.

Satu abad lalu, café—tempat di mana variasi kopi diperjualbelikan—pada masa sekarang menjadi tempat untuk rehat, bersantai dengan bermacam minuman yang dapat kita pesan. Tidak hanya kopi, tidak hanya softdrink, bahkan makanan pun tersusun dalam daftar menu. Saya melihat kembali orang-orang yang mengunjungi kafe ini. Sebagian dari mereka berkumpul, lebih dari enam orang membicarakan rangkaian kerja. Mereka menjadikan kafe sebagai tempat rapat. Dalam perkembangannya, kafe, barangkali akan menjadi tempat yang multifungsi. Bukan hanya kopi, tapi juga rapat, dan diskusi.

Saya mencoba mengalihkan pandangan dari negeri yang jauh, Prancis, menuju Indonesia. Lalu ada apa di Indonesia selain situasi politiknya yang ricuh? Orang mungkin akan menjawab; “dulu ada peristiwa 65, ada Orba, ada Petrus.” Namun bila saya harus menjawab pertanyaan di atas, saya akan berkata: “di negeri ini, ada juga kopi Luwak.” Luwak, atau Musang Kelapa, atau careuh bagi orang-orang sunda—memiliki kebiasaan mencari buah-buahan yang cukup baik dan masak, termasuk kopi, melalui indera penciumannya yang tajam.

Ada cerita menarik, terjadi pada masa kolonial dahulu. Lebih tepatnya pada era tanam paksa (cultuurstelsel) sekitar tahun 1830-an. Ketika itu kopi jenis arabika yang didatangkan dari Yaman oleh kerajaan Belanda mulai ditanam di negeri jajahannya, Hindia Belanda. Perkebunan kopi mulai ramai di Jawa dan Sumatera. Tapi pemilik perkebunan melarang pekerja pribumi memetik kopi untuk dibawa pulang.

Keesokan harinya ditemukan luwak yang suka memakan buah-buah kopi. Biji kopi yang keras tidak dapat dihancurkan sistem pencernaan musang. Kotoran musang itulah yang dipungut pekerja pribumi, dicuci lalu disangrai, ditumbuk, dan akhirnya diseduh dengan air panas. Gelas berisi kopi panas, dengan asap kopi mengepul ke udara. Sampai akhirnya kita minum hasil cernaan luwak itu oh… betapa masalah seolah berguguran dari pikiran. Menikmati kopi di sebuah kafe, hmm

 

Tentang Penulis
Irwan Apriansyah. Lahir di Lebak, 17  April 1989. Tengah merampungkan studi di UNY. Beberapa karyanya pernah dimuat di JurnalSajak.

KOMENTAR
Post tags:

Media untuk Berbagi Kajian dan Apresiasi.

You don't have permission to register