Bulan Ramadhan Akan Datang
Di rumah kami kini ada televisi. Televisi itu sengaja dibeli dengan niat untuk menyaksikan siaran langsung pertandingan Persib dan Liverpool yang disiarkan oleh televisi lokal. Liga Inggris kini mulai libur, tentu saja Liverpool juga ikut libur. Tinggal Persib yang bisa disaksikan berkompetisi.
Sayangnya, setelah tampil lima kali di Turnamen Sepakbola Indonesia (kurang lebih begitu jika Indonesian Soccer Championship diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) permainan Persib tak kunjung menghibur. Alih-alih menghibur, permainan Pesib malah membuat jengkel dan darah tinggi.
Televisi milik kami tentu saja tak dinyalakan hanya untuk menyaksikan Persib dan Liverpool. Karena tak setiap hari dua tim itu bertanding. Sesekali dipakai juga untuk memutar film.
Namun, memutar film pun tak bisa setiap hari, karena stok film di hard disk dan flash disk kami tak banyak. Jadi, sesekali dibiarkan menayangkan siaran televisi lokal. Meski sejujurnya, hampir seluruh tayangan di televisi lokal tak menarik, kami tetap saja memutarnya. Asal nyala saja.
Yang penting jangan menonton tayangan gosip selebritis, Raffy Ahmad, FTV, sinetron, dan sinetron impor. Yang sedikit lawak-lawak dan musik bolehlah. Itu pun tak boleh acara musik pagi yang dikemas, masyaallah, noraknya. Berita boleh juga, siapa tahu ada kabar penting di negeri ini yang luput.
Namun, pada saat-saat tertentu, ketika televisi lokal menayangkan berita, kami merasa begitu stres. Terutama ketika berita kekerasan seksual yang ditayangkan. Apalagi jika berita itu merupakan kabar kekerasan seksual dengan korban anak-anak di bawah umur.
Betapa kami tak stres. Kami sekarang sedang membesarkan seorang anak. Usianya kini sudah delapan bulan. Melihat tayangan berita kekerasan macam itu terasa seperti teror bagi masa depan anak kami.
Maka, ketika penyiar akan menyampaikan berita kekerasan seksual, istri saya buru-buru memindahkan saluran televisi. Acak saja ia memindahkan, asal tak menyimak berita tersebut. Saya sangat setuju dengan keputusan istri saya. Malah, saya kemudian mengambil alih remote control, lalu mematikan televisi.
Sialnya lagi, berita-berita tersebut biasanya muncul pada jam-jam makan. Ya, sudah pasti merusak selera makan.
Setiap kali berita macam begitu muncul, kami selalu berdoa, agar anak kami senantiasa dijauhkan dari hal-hal mengerikan seperti itu. Kami pun mendoakan supaya anak-anak lainnya, di mana pun mereka berada.
Parahnya, berita-berita macam itu seperti tak terhindarkan. Karena ketika beralih dari televisi lantas berselancar di internet untuk mengakses media-media daring besar, mereka juga sama saja. Berita kekerasan seksual seringkali menjadil headline mereka.
Kadang putus asa mendapati sejumlah media besar menyajikan konten berita semacam itu. Namun, di sisi lain, mereka mencoba menyampaikan fakta dan fenomena yang terjadi di masyarakat kita. Betapa kekerasan seksual menjadi sebuah teror.
Sebentar lagi bulan Ramadhan akan datang, ada harapan rasa putus asa yang hinggap bisa ditepis. Semoga momentum bulan Ramadhan ini sekaligus menjauhkan teror kekerasan seksual yang menakuti kita.
Setidaknya, televisi lokal dan media-media daring punya subjek pemberitaan yang lebih menentramkan hati. Semisal liputan serba-serbi bulan Ramadhan. Serta acara favorit kita semua, adzan Maghrib.
Lebih jauh lagi, semoga tak ada lagi kekerasan seksual yang terjadi.[]