Fb. In. Tw.

Bob Dylan dan Nobel Sastra 2016

Kurang lebih sebulan lalu, di warung bandrek BP di Sukabumi, penyair muda berbakat Sukabumi Khoer Jurzani meminjamkan cakram padat Song of Bob Dylan All Blues’d Up! sebuah album rekaman musik band lain sebagai tahniah untuk Bob Dylan yang ia beli di Kuala Lumpur. Peristiwa ini saat itu saya anggap peristiwa biasa saja, tanpa ada pretensi apa pun.

Namun hal tersebut menjadi semacam kejutan manakala kemarin (Kamis, 13/10/2016) ada fakta bahwa Bob Dylan meraih hadiah Nobel bidang Sastra 2016. Hal ini agak mengejutkan mengingat biasanya pemenang Nobel Sastra itu kalau tidak penyair, cerpenis, novelis, atau dramawan. Walaupun ada juga sedikit kekecualian ketika Winston Churchill yang jago pidato pernah meraih Nobel Sastra. Namun tetap saja pemberian Nobel Sastra kepada seorang pemusik adalah sesuatu yang baru kali ini terjadi.

Pada tahun 1961, Bob Dylan adalah seorang anak muda berkemeja lengan panjang bermotif kotak, menyandang gitar dan lehernya dikalungi harmonika, sebuah stand up michrophone di depannya, di sebelahnya ada Pete Seeger. Itulah potret momen seorang Dylan yang saya ingat terdapat dalam sebuah buku biografi yang secara tak sengaja saya baca dari perpustakaan kampus pada akhir 90-an.

Seturut pendapat sastrawan dan penerjemah cerpen dan novel asing, Anton Kurnia, “banyak orang terkejut dengan kemenangan Bob Dylan sebagai kampiun Nobel Sastra tahun ini. Sebagian sinis. Sebagian lagi bahkan berkomentar sarkastis.”

Tiga belas tahun silam, Anton, alumnus Geologi ITB yang juga cerpenis handal ini, sudah menulis bahwa Bob Dylan layak meraih Hadiah Nobel Sastra. Tulisan itu ia jadikan bahan diskusi tentang Bob Dylan dan pengaruhnya dalam musik, sastra, dan sinema di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, awal 2002. Saat itu sudah setahun dua nama Bob masuk dalam bursa taruhan sebagai kandidat Nobelis Sastra.

Bagi Anton,  pemenang Hadiah Pulitzer dan pengagum penyair Dylan Thomas ini pantas mendapatkannya. Sebagai penggemar lagu-lagunya sejak lama, ia mengaku ikut senang. “Dia tak sekadar pemusik. Bob adalah penyair yang bernyanyi,” imbuhnya.

Tulisan Robbie Robertson di majalah Rolling Stone edisi Juni 2005 juga pernah menyoroti secara khusus perihal Bob Dylan yang mendobrak aturan-aturan tradisional dalam pembuatan lagu. Aturan yang didobrak itu seputar durasi dan imajinasi dalam bercerita.  Menurut Robbie, Dylan adalah penyanyi yang powerful dan aktor musikal yang hebat, dengan banyak tokoh dalam suaranya. Lagu-lagu Dylan periode awal  bernuansa politik, bertenaga dan penuh makna. Dylan adalah simbol perlawanan yang membawa kemurnian musik folk tanpa basa-basi.

Dari mana dan bagaimana Bob Dylan menuliskan lirik-lirik lagunya tentu menarik, mengingat teman sepergaulan Dylan bukan pemusik, melainkan penyair seperti Allen Ginsberg. Tentulah sedikit banyak ada nuansa ala penyair generasi Beat ini. “Mr. Tambourine Man” seolah olah telah menjadi national anthem bagi para penggemar musik folk sederhana dengan lirik puitik juara, walaupun hanya diiringi gitar dan harmonika dengan vokal yang kadang fals, kadang terdengar seperti orang yang berseru daripada sedang bernyanyi.

Lebih lanjut tentang proses kreatif Dylan dalam membuat lagu, Robbie Robertson menyaksikan bahwa cara menulis lagu Dylan juga unik. Misalnya dalam proses penggarapan “Blonde on Blonde” di Nashville pada tahun 1966, manakala Dylan menulis lirik lagu pada mesin ketik yang dia ketik dengan sangat cepat.

Barangkali Nobel Sastra yang ia terima kini memang adalah buah dari konsistensi berkelanjutan pada jalurnya sebagai penulis lagu yang baik, seperti yang dicitacitakannya. Fakta bahwa karyanya mempengaruhi budaya dan masyarakat, itu adalah hal lain yang sebenarnya Dylan sendiri tak membayangkannya.

Pada akhirnya kemenangan Nobel Sastra yang diraih Dylan ini seolah menandai berakhirnya anggapan sebagian kalangan mengenai adanya disparitas antara puisi dan lirik lagu selama ini. Lirik lagu puitik yang sebetulnya bisa juga dilacak pada era Jesse Fuller, Pink Floyd, Jim Morrison, atau Neil Young.

Mengakhiri tulisan ini saya ingin mengutip “puisi” Dylan yang cukup naratif dan rimatis sekaligus ini. Bait-bait dari “Just Like A Woman” yang menempati peringkat 232 dari 500 lagu sepanjang masa versi majalah Rolling Stone ini:

Nobody feels any pain
Tonight as I stand inside the rain
Everybody knows
That Baby’s got new clothes
But lately I see her ribbons and her bows
Have fallen from her curls

She takes just like a woman, yes she does
She makes love just like a woman, yes she does
And she aches just like a woman
But she breaks just like a little girl.

Queen Mary, she’s my friend
Yes, I believe I’ll go see her again
Nobody has to guess
That Baby can’t be blessed
Till she finally sees that she’s like all the rest
With her fog, her amphetamine and her pearls

She takes just like a woman, yes she does
She makes love just like a woman, yes she does
And she aches just like a woman
But she breaks just like a little girl.

It’s was raining from the first
And I was dying there of thirst
So I came in here
And your long-time curse hurts
But what’s worseIs this pain in here
I can’t stay in here
Ain’t it clear that.

I just can’t fit
Yes, I believe it’s time for us to quit
When we meet again
Introduced as friends
Please don’t let on that you knew me when
I was hungry and it was your world

Ah, you fake just like a woman, yes you do
You make love just like a woman, yes you do
Then you ache just like a woman
But you break just like a little girl.

KOMENTAR
Post tags:

Penyuka sastra dan musik folk. Buku puisi tunggalnya "Aligator Merangkak Sajak" diterbitkan asasupi pada bulan Oktober 2016.

You don't have permission to register