Bertualang (dalam Islam) Bagian 2: Belajar Langsung dari Ciptaan-Nya
Catatan sebelumnya Bertualang (dalam Islam) Bagian 1
“Tidak ada yang sia-sia dalam mendaki gunung,
karena mencintai dan menghargai ciptaan Tuhan
beserta seisi alamnya adalah sebagian dari ibadah”.
Semesta raya lahir dalam bentuk rupa meditasi yang panjang. Bergulat dengan keresahan dan kreativitas eksistensi guna memerangi krisis identitas. Sebuah terapi dalam melakoni kehidupan yang kabur bagai ilusi optikal. Ada ruang kesadaran nurani diciptakan bagi sosok personal yang ingin tahu tentang jati dirinya.
Berbicara tentang petualangan, pada hakekatnya takkan pernah lepas dengan keberadaan kita sendiri di dunia ini. Dari sejak lahir sampai tutup usia nanti, sebenarnya kita tengah bertualang dalam menempuh hidup ini. Dunia adalah persinggahan sementara, sedangkan akhirat itulah persinggahan abadi. Di sanalah akhir kita dalam bertualang, usai mempertanggungjawabkan perbuatannya masing-masing.
Dalam proses bertualang saat ini, perkembangan Kegiatan di Alam Terbuka (KAT) semakin modern. Grafiknya semakin meningkat dibanding tahun 90-an, ditambah lagi dengan peralatan yang kian mudah didapat, membuat dunia petualangan semakin bergairah. Hal ini juga dipicu dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, di mana berbagai medsos seolah tak memberikan ruang bagi alam semesta untuk dieskpos sehingga masyarakat semakin banyak yang tahu tentang pesona dan keindahan alam semesta.
Bila dikaji lebih dalam, ajaran agama Islam juga ternyata mendorong umatnya untuk bertualang. Sebenarnya positif atau negatifnya aktivitas betualang, itu semua tergantung cara pandang dan niat sang petualang. Kalau memang tujuannya untuk beribadah dan untuk tujuan positif lain tentunya sangat dianjurkan.
Di antara perkara yang dapat melapangkan dada dan meleyapkan awan kesedihan dan kesusahan adalah berjalan menjelajah negeri dan membaca “buku penciptaan” yang terbuka lebar ini guna menyaksikan bagaimana pena-pena kekuasaan-Nya menuliskan tanda-tanda keindahan di atas lembaran-lembaran kehidupan. Betapa tidak, karena kita akan banyak menyaksikan taman, kebun, sawah dan bukit-bukit hijau yang indah mempesona, gunung yang menjulang serta lembah curam. Di situlah, Allah SWT lewat ciptaan-Nya memberikan i’tibar atau pelajaran bagi kita semua.
Berbagai ayat terkait hal ini bisa kita gunakan sebagai hujjah-nya. Diantaranya dalam QS Nuh: 19-20, bahwasannya, “Allah telah menjadikan bumi terhampar luas untukmu, agar kamu dengan bebas meniti jalan-jalan yang terbentang di bumi.” Juga dalam QS An Naazi’aat: 32, “…Gunung-gunungpun Ia pancangkan, untuk kesenanganmu…”.
Bisa kita simak juga dalam QS Al Hijr: 19, yang bunyinya, “Kamilah yang menghamparkan bumi, dan kami pula yang menegakkan gunung-gunung, serta menumbuhkan segalanya dengan imbang.” Atau, dalam QS An Nahl: 81, difirman juga bahwa, “Allah menjadikan sebagian ciptaanNya sebagai tempat bernaung untukmu, dan menjadikan gunung-gunung sebagai tempat berlindung….”
Bahkan yang lebih gamblang lagi, bisa dilihat dalam QS ar Ra’ad: 3. Firman-Nya, “Dialah yang membentangkan bumi dan menciptakan gunung-gunung dan sungai-sungai disana. Dia menjadikan semua jenis buah-buahan, masing-masing berpasangan. Dia pulalah yang menutupkan malam pada siang. Sungguh, dalam semua itu terdapat ayat-ayat kebesaranNya bagi kaum yang mau berpikir.”
Berbagai ayat di atas jelas menunjukkan bahwa bertualang juga diperintahkan oleh Allah. Tujuannya agar manusia bersyukur dengan kelimpahan rezeki di bumi, dan terutama agar kita mengambil pelajaran dari umat terdahulu. Coba bayangkan jika tidak ada para petualang muslim seperti Ibnu Batutah yang bertualang keliling dunia hingga nusantara, bisa jadi nusantara belum terislamkan seperti sekarang.
Para pedagang muslim memang menyebarkan agama Islam, tapi dengan interaksi terbatas di pesisir dan karena memang fokusnya pada perdagangan. Islam sampai abad 15 pun masih sedikit. Namun semenjak informasi tentang nusantara dari bertualang Ibnu Batutah diterima khalifah, akhirnya usaha Islamisasi nusantara lebih rapi dan teroganisir, hingga mencapai keberhasilannya.
Jika kita merunut jauh ke belakang, mendaki gunung pada awalnya merupakan sebuah kegiatan yang harus dilakukan oleh seseorang untuk sebuah keperluan tertentu, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
Memasuki masa neo klasik, yakni pada masa penjajahan. Kegiatan mendaki gunung memiliki tujuan Tertentu. Seorang ahli geologi berkebangsaan Belanda bernama Clignet (1838) diketahui sebagai orang pertama yang mendaki gunung Semeru (Jawa Timur) dengan tujuan untuk penelitian struktur tanah dan kemudian dilanjutkan oleh ahli botani Junhuhn (1945) yang mendaki gunung Semeru untuk meneliti jenis-jenis tumbuhan berdasarkan ketinggian.
Pada masa yang sama, bangsa Indonesia mendaki gunung untuk keperluan taktik perang. Panglima Jendral Sudirman dan para prajuritnya mendaki gunung dan perbukitan di daerah jawa tengah untuk menjalankan taktik perang gerilya melawan Belanda, demikian pula Pahlawan Supriadi memimpin pasukan gerilya dengan menjelajahi kawasan gunung kelud di sekitar daerah Blitar-jawa timur.
Konon bangsa Belanda juga turut mendaki gunung Argopuro untuk membuat landasan pesawat terbang di lereng gunung Argopuro guna mengangkut hasil pengalengan daging rusa (sekarang Cikasur). Dari sini kita bisa melihat tujuan dari mendaki gunung menjadi semakin beragam.
Berbagai maksud dan tujuan yang menyelinap para petualang, pejalan atau traveller, itu dipulangkan pada niat masing-masing. Intinya, keluarlah dari rumah, lalu perhatikan apa yang ada di sekitar kita, di depan mata dan di belakang kita! Bertualanglah! Pada saat-saat yang demikian itu, kita akan menemukan jiwa ini benar-benar merdeka dan bebas seperti burung yang berkicau melafalkan tasbih di angkasa kebahagiaan.
Keluarlah dari rumah dan tutup lah kedua mata kita dengan kain hitam, kemudian berjalanlah di bumi Allah yang sangat luas ini dengan senantiasa berdzikir dan bertasbih. Karena para pendaki gunung itu adalah orang-orang yang telah berguru pada alam. Guru yang langsung diciptakan oleh Tuhan untuk mengajarkan segala sesuatu kepada kita. Jadi bisa dibilang, orang-orang yang berguru pada alam itu sesungguhnya telah berguru pada sang maha guru. Maha guru yang lebih banyak memberi dan tak pernah meminta.
Karena ilmu tanpa batas itu sumbernya dari Tuhan, maka alam adalah sebagai medianya. Bahkan Nabi Musa saja harus mendaki gunung Sinai ketika akan mendapatkan kitab Taurat. Nabi Muhammad pun mendaki bukit (jabal) dan tinggal di Gua Hiro yang tidak semua orang bisa dengan mudah menggapai tempat tersebut, sebelum akhirnya menerima wahyu yang pertama. Demikian pula para empu yang harus mendaki gunung untuk bertapa sampai pada akhirnya mendapatkan pencerahan berupa ilmu atau pencerahan. Selamat bertualang dan semoga kita terus belajar pada ciptaan-Nya![]