Fb. In. Tw.

“Berlin Proposal” dan Medianya

Perkembangan teknologi seharusnya memengaruhi perkembangan sastra saat ini. Pada awal dekade 2000-an kita mengenal puisi cyber yang digagas oleh Yayasan Multimedia Sastra yang kemudian melahirkan kumpulan puisi Graffiti Gratitude. Kumpulan puisi tersebut kemudian melahirkan berbagai kontroversi lebih-lebih dalam persoalan estetika dan media.

Saut Situmorang dalam esainya “Dicari Kritik(us) Sastra Indonesia” ([Sic], 2009) berbicara keras soal ini. Ia melihat adanya sentimen negatif dari para kritikus sastra kala itu, terutama mengenai estetika puisi yang cenderung tidak berkualitas. Kurang-lebih Saut melihat itu sebagai politik hegemoni sastra koran dan representasi dari kritik sastra Indonesia yang sudah semakin parah.

Apa yang dibicarakan dalam diskusi “Puisi, Bahasa, dan Teknologi Media” (Kamis, 14/4) di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia agaknya berlainan dengan apa yang dipaparkan di atas. Diskusi tersebut lebih membicarakan bagaimana media atau teknologi saat ini dapat menciptakan kemungkinan baru dalam penciptaan karya sastra.

Diskusi ini mendedahkan media yang digunakan Afrizal Malna dalam menulis Berlin Proposal (Nuansa Cendikia, 2015). Menurut Afrizal, apa yang ditulisnya dalam kumpulan puisi tersebut tidak lagi menggunakan program Microsoft Word, melainkan program Indesign dan Photoshop. Ini memperlihatkan bahwa pengerjaan puisi tidak semata-mata berurusan dengan teknologi bahasa, melainkan teknologi media. Hal ini membuka kemungkinan terciptanya esetika yang tak terduga.

Diskusi yang dimoderatori Ahda Imran menghadirkan dua orang pembicara, yakni Ari Jogaiswara Adipurwawidjana dari Univeristas Padjajaran dan Dymussaga Mira dari Universitas Indonesia.

Dengan mengutip Walter J. Ong, Dymussaga Mira mengungkapkan bahwa bahasa atau kata mulanya adalah suara yang digunakan untuk merujuk benda atau suatu hal. Kemudian, bahasa beralih ke bentuk visual seperti yang tertulis di dinding-dinding goa pada masa purba. Peralihan itu tentu saja beriringan dengan perkembangan teknologi yang ada pada masa purba. Selanjutnya, gambar-gambar itu disimplifikasi ke dalam bentuk huruf. Ia menerangkan bagaimana bahasa Tiongkok menggunakan huruf/simbol/gambar yang disebut hanzi untuk membentuk kata atau frasa dan menyampaikan makna. Ia juga mengungkapkan bahwa sebenarnya huruf adalah gambar juga.

“Kita mengenal huruf-huruf sebagai huruf-huruf, bukan sebagai gambar,” demikian tukasnya.

Dymussaga melihat bahwa sesungguhnya manusia terkungkung dengan keberaksaraan latin. Itulah yang menyebabkan manusia akan merasa asing ketika melihat bentuk bahasa atau aksara yang sama sekali asing, misalnya puisi “Kotak Sembilan” Danarto. Padahal itu merupakan usaha untuk mengembalikan bahasa dalam bentuk visual, dalam bentuk sebermulanya.

Tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan Dymussaga Mira, Ari Jogaiswara Adipurwawidjana mengungkapkan bahwa pada mulanya bahasa adalah suara atau gelombang yang menggunakan medium-medium tertentu, misalnya udara atau benda keras. Kemudian bahasa berkembang dari media satu ke media lainnya, yakni lembaran papirus, kertas di mesin ketik, hingga layar LCD. Media-media itu lahir dari kesadaran manusia atas bahasa. Manusia menyadari bahwa ada yang hilang ketika bahasa hanya dilisankan saja.

“Pada saat itu (baca: pada saat manusia mengucapkan kata) manusia menyadari kefanaanya dan pada saat itu manusia menyadari pula bahwa dia berkesadaran bahwa karena dia sadar bahwa ‘Barusan yang saya katakan ke mana?’,” ujar Ari.

Puisi-puisi Afrizal Malna dalam Berlin Proposal lahir dalam dunia yang telah memiliki kekayaan media dan ruang. Dymussaga melihat inilah yang dimanfaatkan Afrizal dalam menulis karya-karyanya karena ada latar dan kencenderungan lain dalam Berlin Proposal dibanding karya-karya sebelumnya.

Dymussaga menjelaskan bahwa ketika berada di Jerman Afrizal berada dalam ruang antara bahasa. Karena ia tidak menguasai bahasa Jerman, ia menangkap informasi yang masuk  dalam bahasa visual. Hal ini membuat bahasa visual Afrizal nampak nyata dalam beberapa puisinya dalam Berlin Proposal. Pengalaman berada dalam ruang antara itulah yang membuat Afrizal memiliki pengalaman berpuisi yang baru dan lebih luas. Semua informasi berupa audio dan visual dapat menjadi puisi. Hal ini membuat puisi-puisi Afrizal cenderung berbeda dari karya-karya sebelumnya. Teknologi indesign dan photoshop mampu menampilkan perbedaan itu sekaligus membuka kemungkinan baru dalam karyanya.

Demikian pula dengan apa yang diungkapkan oleh Ari Jogaiswara, penggunaan teknologi tersebut mendobrak keterkungkungan puisi dari “penjara” bahasa bahkan halaman—yang berkaitan dengan layout. Dalam puisi puisi “Tektonik Digital”, misalnya, Afrizal mendobrak ruang halaman. Puisi yang biasanya terbatas dalam ruang halaman, kini tidak demikian lagi. Dalam pada itu, puisi bisa menjadi hal yang lain ketika medianya berbeda.

Dalam Berlin Proposal, ada romantisme bahasa gambar seperti zaman purba namun tentu saja tidak ditulis di dinding goa tetapi ditulis dengan media dan teknologi yang jauh lebih maju. Dalam pada itu, Afrizal mencoba keluar dari berbagai macam keterkungkungan, baik bahasa maupun media. Ia mengasingkan dan melepaskan manusia pada jeratan bahasa konvensional. Ia juga mencoba menarik manusia pada kesadaran visual yang purba dan pada pengalaman-pengalaman manusia itu sendiri.

Demikianlah, sampai hari ini puisi menggunakan bahasa konvensional sebagai mediumnya. Padahal, teknologi semakin berkembang dan ruang (media) telah berubah. Dengan demikian, seharusnya puisi turut melaju bersama zaman. Bisa jadi, bahasa dalam puisi yang akan datang bukan lagi bahasa dalam puisi yang kita nikmati sehari-hari. Mungkin akan berubah ke bahasa komputer, 0101110101, atau ÉÍÄÍÍÍÍÄÍ»         ÉÄËÄÄËÄÄÄËÍÄÄÄÍËÍÄÄÄÍËÄÄÄËÄÄËÄ»         ÉÍÄÍÍÍÍÄÍ»

ÈΠ      ÈÍÄÍÍÍÍÍÄͼÍÊÍÍÊÍÍÍÊÍÍÍÍÍÊÍÍÍÍÍÊÍÍÍÊÍÍÊÍÈÍÄÍÍÍÍÍÄͼ       μ

º Shared By ChingLiu   BE HAPPY !                                 º

º                                                                 º

º                            ° ° ²²°±                             º

º                      ²ÛÛÛ ±°± ±°  ²±Û±                          º

º                     ÛÛÛÛÛ² °  °Û°° °°°ÛÛ   °±                   º

º                    ±ÛÛÛ²±° ° ²  ±     °²Û±±²±Û±                 º

º                    ÛÛÛ±°°±  ±±     °± °ÛÛ±° ²²Û                 º

º                   ±±Û± ±± ° ²   °°±  ° ²Û    ±Û                 º

º                 ÛÛ²ÛÛ± ° °° ±    ±     °Û± °°°Û²                º

º               Û±Û²ÛÛÛ   ±  °±    °  °   ² °°°² ±±±              º

º              ÛÛ²²ÛÛ²ÛÛ±°±°±±°     ±° ° ±Û   ±  ±±Û              º

º              ÛÛ±²Û±²ÛÛ° ±Û²ÛÛ   °ÛÛÛ±± ÛÛ±°   ± °Û              º

º              ÛÛÛÛÛÛ²ÛÛ± Û°ÛÛÛ    ÛÛ±±°ÛÛ±   ±  °°Û              º

º               ÛÛÛÛ±Û²ÛÛ±°ÛÛ       °Û±°Û±   ± ± °Û               º

º               °ÛÛÛ±²²ÛÛ°             ÛÛ °°   ± ÛÛ               º

º                ÛÛÛÛÛ²Û±   °ÛÛÛÛÛÛ     Û  ±² °±±Û                º

º                 Û±ÛÛÛÛ   ÛÛÛÛÛÛÛÛÛ    Û °    ²Û±                º

º                  ÛÛÛ Û      ÛÛÛ²       Û °  ±Û                  º

º                      ±       Û°        Û   ±Û                   º

º                      °       Û       °  ÛÛÛÛ²                   º

º                       ²°   °°Û±°°  ±±     ÛÛÛ°                  º

º                       °Û    ² °            ÛÛ                   º

º                      Û                     ÛÛ±                  º

º                                                                 º[]

KOMENTAR

Penulis renungan Jumat.

You don't have permission to register