Fb. In. Tw.

Berkunjung ke Joglo Jago

Sebelum mengikuti acara pembukaan pameran fotografi “Glamour & Beauty of Jogja” akhir Mei lalu, saya beserta rombongan talent dari Bandung—Adew Habtsa, Gusjur Mahesa, Man Jasad, dan Robby DC—berkesempatan mengunjungi seniman senior Sawung Jabo di Joglo Jago, Jalan Wirosaban Barat No. 3, Yogyakarta.

Joglo Jago sendiri dapat dikatakan sebagai tempat tinggal Sawung Jabo beserta pelukis Gono Sudargono. Namun, lebih dari sekadar tempat tinggal, Joglo Jago juga berperan sebagai ruang kreatif bagi kedua seniman tersebut. “Sekitar 20 tahun lalu saya main Dolanan di sini. Penontonnya masyarakat sekitar, suasana sekitar sini masih area pesawahan. Masih banyak kunang-kunang,” kenang aktor Gusjur Mahesa. Dolanan merupakan lakon teater yang disutradarai Sawung Jabo pada tahun 1995.

Sementara bagi Gono, Joglo Jago juga berfungsi sebagai studio lukisnya. “Itu studio Mas Gono. Pelukis. Ayahnya pelukis juga, Sudarso, seangkatan Affandi,” tambah Gusjur sambil menunjuk satu bangunan di sisi kiri pendopo Joglo Jago.

Di antara kami, Gusjur memang satu-satunya yang memiliki ikatan emosional kuat dengan Sawung Jabo. Keduanya sudah kenal lama, setidaknya sejak sama-sama nyantri dan berproses di Bengkel Teater Rendra pada tahun 90-an.

Di tengah sengatan terik matahari Jogja, Joglo Jago memiliki keteduhannya sendiri. Pohon-pohon besar berdiri mengelilingi area dengan empat bangunan utama tersebut. Sebuah kolam dengan bunga teratai dan ikan-ikan mas koki berenang ke sana ke sini, menambah kesan suasana tenang dan damai.

Joglo-Jago-3

Kolam yang ditumbuhi teratai di Joglo Jago.

Ketenangan dan kedamaian Joglo Jago kian kami rasakan manakala sang tuan rumah, Sawung Jabo, menyambut kami dengan hangat. “Bagaimana kabar balad-balad Bandung?” tanya Jabo ramah, setelah Gus Jur memperkenalkan kami. “Kemarin Mukti dua hari di sini,” tambah Jabo, mengabarkan kedatangan musisi Bandung Mukti-Mukti yang singgah di kediamannya.

Sebagai tempat tinggal sekaligus ruang kreatif, Joglo Jago memang kerap didatangi para seniman dari berbagai daerah. Hal semacam itu cukup wajar bagi para maestro, terlebih bagi mereka yang memiliki ruang serupa, misal Bengkel Teater Rendra di Depok atau Celah-celah Langit (CCL) milik Iman Sholeh di Bandung. Bagi sebagian besar seniman, tempat kediaman adalah juga padepokan. Tempat tinggal berfungsi sebagai tempat mengasah kreatifitas sekaligus ruang silaturahmi dengan publik yang lebih luas.

Saat kami berkunjung ke Joglo Jago, Jabo yang kerap bolak-balik Indonesia-Australia baru selesai melakukan pentas keliling bersama kelompoknya Sirkus Barock. “Capek, tapi kalau tidak mau capek ya jangan berkesenian. Hehehe,” ujar lelaki bernama asli Mochamad Djohansyah ini dengan ringan.

Nama Sawung Jabo kian dikenal manakala bersama Iwan Fals, Setiawan Djody, Jockie Surjoprajogo (God Bless), dan W.S Rendra membentuk grup musik Kantata pada tahun 1990. Sebelum bergabung bersama Kantata, Jabo—juga Iwan dan Jockie—lebih dulu tergabung dalam grup Swami (1989) yang disponsori Setiawan Djody. Namun, baik Swami maupun Kantata, sebagian besar personilnya merupakan anggota Sirkus Barock, band beraliran progresif dan alternatif yang memadukan musik pop, rock, klasik barat, dan musik tradisi Nusantara; didirikan Sawung Jabo di Yogyakarta pada tahun 1976.

(Dari kanan) Robby DC, Gusjur Mahesa, Sawung Jabo, Man Jasad, sayaa, dan Adew Habsta.

(Dari kanan) Robby DC, Gusjur Mahesa, Sawung Jabo, Man Jasad, sayaa, dan Adew Habsta.

Selain ngobrol santai tentang kegiatan Jabo dan fenomena batu akik, juga sedikit tentang kaitan Sangkuriang dan Oedipus—yang ditanggapi Man Jasad dengan uraian filosofis—tak banyak yang kami bicarakan dengan Sawung Jabo. Setelah menyuguhi kami kopi hitam, Jabo pamit untuk mengikuti rapat kecil dengan sejumlah kolega di kediamannya. Kami dibiarkan keliling melihat-lihat area Joglo Jago, momen ini tentu kami tak kami lewatkan tanpa berfoto.

Biarpun pertemuan kami terbilang singkat, namun kesan yang didapat cukup mendalam. Keramahan seniman sebesar Sawung Jabo saat menyambut kami yang berjarak beberapa generasi dengannya, secara alamiah menimbulkan rasa hormat yang besar pula dalam diri kami. “Jabo itu ABG, Angkatan Babe Gue,” ujar Man Jasad.

“Seniman besar itu umumnya santun dan ramah. Justru jika ada seniman bertingkah pongah, kapasitasnya sebagai seniman dipertanyakan,” tambah personel band metal Jasad tersebut.

Di usianya yang ke 64, Jabo masih tampak sehat dan bugar. Meski berkesenian sering membuatnya capek, namun saya kira justru kesenianlah yang membuat lelaki kelahiran Surabaya, 4 Mei 1951 ini masih terlihat bertenaga di usia senjanya. Saat kami pamitan pulang, sambil salaman tak lupa kami sisipkan doa agar pelantun lagu “Lingkaran Aku Cinta Pada-Mu” ini senantiasa diberikan kesehatan oleh Yang Maha Kuasa.

Semoga terus sukses dunia akhirat, Mbah![]

KOMENTAR
Post tags:

Reporter buruan.co. Menulis puisi dan esai. Kumpulan puisi pertamanya "Kartu Pos dari Banda Neira" (Penerbit Gambang, 2017).

You don't have permission to register