Bandung dalam Kacamata Remy Sylado (3)
Catatan Mudris Amin
Bandung Sebagai Kreativitas
Sebagai orang yang berdinamika di Bandung, Remy mencatat secara khusus hal ihwal kreativitas para seniman di kota ini. Dalam catatan Remy, pengaruh Altruisme di Indonesia paling kuat di Bandung. Pada 1970an para seniman lukis penganut Hippies mengekspresikan seni merekan melalui grafiti-grafiti yang menyolok di tembok-tembok pinggir jalan kota.
Para seniman ini adalah penganut Hippies ini di Amerika pelakunya dikaitkan dengan paham Altrurisme, perhatian yang bersifat suka dan senang untuk mempeduli kepentingan orang lain, lawan dari egoisme.
Di Amerika penganut aliran ini dikaitkan dengan kebiasaan mengonsumsi ganja, marijuana, dan sejenisnya. Tapi di sisi lain mereka kritis tehadap kebijakan politik negara. Salah satu kritikan para seniman itu adalah slogan “make love not war” terkait dengan campur tangan Amerika di Perang Vietnam.
Selain kreatfitas seni lukis, Remy juga mencatat dirinya sendiri sebagai salah satu penggerak dunia music di Bandung. Ketika dirinya di aktuil bahkan muncul istilah Bandungsentrisme. Menurut catatan Remy, istilah kritis tersebut muncul pada 1970-an terhadap kebiasan Aktuil memuat berita kelompok-kelompok musik rock yang ada di Bandung.
Istilah lain yang muncul adalah “cuapisme, istilah pop yang lahir dari latar lisan di kalangan anak muda di Bandung 1960-70an untuk menunjuk bobot percakapan yang sekedar ikut-ikutan dan tidak penting”. Istilah ini kemudian diangkat dan dipopulerkan di majalah music Aktuil dengan kolom bernama “Seksi Cuap” yang diasuh oleh Remy.
Dalam catatan Remy, dinamika musik di Bandung juga diwarnai dengan hal-hal rancu. Seperti yang terjadi pada pertengahan tahun 1970an ketika anak muda Bandung menyebut music rock yang keras dan ritmik dengan kata gron. Kata ini sebenarnya berasal dari kata ‘gound’, maksudnya ‘underground’.
Bahkan, banyak lagu yang sebenarnya bukan bergenre underground disebut ‘gron’ asal dimainkan di panggung dengan amplifier besar. Fenomena ini, dalam ingatan Remy, melahirkan istilah Gronisme.
Istilah lain yang diungkap Remy adalah “Tigajurusisme”. Istilah ini muncul sebagai reaksi atas musik-musik harmoni “tiga jurus”, yaitu pasangan grip-grip atau akord-akord macam C-F-G7, G-C-D7, D-G-A7, dst.
Belakangan kelompok band Metal Hidrolik (maksudnya, musik metal yang dapat dikolaborasikan dengan aliran musik apa pun, seperti cara kerja hidrolik yang naik-turun) asal Bandung, Kuburan Band menciptakan lagu Lupa yang salah satu lirik reffreinnya mirip dengan tigajuriisme itu, “
Tulisan Remy dalam Kamus Isme-isme yang memuat entri-entri lokal, menunjukan betapa Remy masuk ke dalam dinamika kreatifitas Bandung. Entri-entri itu menjadi pengingat sekaligus sumber pengetahuan bahwa apa yang tersedia di Bandung saat ini punya akar di masa lalunya.
Dalam ingatan Remy, Bandung telah melahirkan tokoh-tokoh penting Indonesia. Soekarno yang mencetuskan Marhaenisme adalah produk Bandung. Bahkan kata ‘marhaen’, sebagaimana diketahui, berasal dari nama Marhaen petani miskin di sekitar Bandung.
Menurut Remy, kata ‘marhaen’ itu merupakan pemadatan atas dua timbangan ideologis versi Soekarno yakni: sosio-nasionalisme dan sosio–demokrasi. Sukarno menemukan pijakan ideologisnya di kota Bandung, selain juga pijakan asmara bersama Inggit Garnasih.
Demikian pula dengan seorang poliglot bumiputera Sosrokartono, kakak RA Kartini adalah produk Bandung. Dalam catatan Remy, Sosrokartono yang menguasai dengan aktif 37 bahasa, yaitu 17 bahasa Eropa, 9 bahasa Timur, dan 11 bahasa daerah Indonesia itu dulu tinggal di Jl. Pungkur, pas di depan Mal Kebon Kelapa Bandung sekarang.
Di Bandung pula nama Remy Sylado harus dicatat. Ia yang menyebarkan virus mbelingisme dengan puisi mbelingnya di majalah Aktuil. Puisi yang masih seksi dibaca hingga hari ini. Seseksi Bandung di benaknya.[]
Sumber foto: Youtube.com