Fb. In. Tw.

Bandung dalam Kacamata Remy Sylado

Catatan Mudris Amin

 

Bandung masa kini adalah realitas metropolitan. Predikat metropolitan ini merupakan predikat resmi negara di mana kota ini bukan sebatas Kota Besar.

Metropolitan adalah sebuah fenomena khas yang selain karena memiliki kekuatan industri, keragaman kehidupan, tingkat mobilitas sosial dan budaya yang tinggi. Dengan itu pula Bandung memiliki daya tarik dari banyak hal.

Di luar kenyataan industrialisasi itu, Bandung memang patut untuk selalu diapresiasi karena daya tariknya dari sisi sejarah kebangsaan Indonesia.

Berjalan-jalan di Ibukota Provinsi Jawa Barat ini, mungkin sekian banyak hal akan bisa ditulis. Tetapi kali ini saya ingin menulis Bandung dengan tidak langsung mengangkat fakta yang saya alami, melainkan dari sebuah potret literatur karya Remy Sylado, seniman yang punya nama asli Yapi Tambayong.

Remy, selain menguasai sejarah secara detail, juga pernah tinggal di Bandung di era tahun 1960-hingga 1970an. Bahkan di kota ini, Remy Sylado punya sejarah besar dengan kiprahnya mengawal majalah musik Aktuil yang telah melegenda di kalangan pemusik dan pecinta seni Indonesia.

Di novelnya yang fenomenal Parijs van Java tahun 2004 lalu,  Remy bahkan secara khusus mengapresi kehidupan sejarah Bandung di zaman Hindia Belanda. Novel itu dikenal sangat bermutu dan bahkan harus dijadikan bacaan penting bangsa Indonesia, khususnya urang-urang Bandung.

Novel  Parijs van Java adalah fiksi-sejarah yang memuat kisah-kisah kehidupan tentang warga pribumi Bandung, kisah Soekarno selama di kota kembang, kehidupan kaum Indo, mentalitas pribumi, etnik Tionghoa dan lain sebagainya begitu memikat untuk diserap sebagai sumber pengetahuan masa kini.

Nah, sekarang, ada buku-buku lain dari Remy Sylado yang berkisah tentang kehidupan kota Bandung ini.  Yang terbaru adalah Novel Perempuan Bernama Arjuna 2: Sinologi dalam Fiksi dan buku lain adalah Kamus Isme-isme, yang memuat sejumlah entri lokal dari tanah pasundan.

Mari satu persatu kita telaah pandangan Remy Sylado dari kedua buku tersebut:

Bandung Sebagai Mooi Indie
Dalam benak Remy, Bandung adalah kota yang menyediakan lanskap pemanja mata. Bagi Remy, agaknya, Bandung adalah bagian dari mooi indie (Hindia Molek). Hasil pencitraan para pebisnis wisata terhadap eksotisme Hindia:

“…Punclut, di mana sebagian besar pemandangan kota Bandung di bawah sana tampak permai dari atas sini.”

“Di jalan panjang bagian utara Bandung banyak rumah yang dibuat restoran dengan menu pilihan Barat dan Timur, tapi tidak ada yang benar-benar masakan Cina seperti di selatan kota. Padahal Jean-Claudevan Damme ingin masakan Cina yang benar asli. Maka, akhirnya kami ke bawah, ke Jl. Raya Barat, atau resminya sekarang Jl. Jendral Sudirman.”

“…di restoran di gedung Mall Citylink di Jl. Terusan Otto Iskandardinata, duduk di bagian paling atas yang terbuka dan dari sini terlihat bagian utara Bandung, penuh lampu-lampu, membuat pemandangannya permai di malam begini.”

“Bandung memang kota yang romantis nian untuk memadu cinta-kasih-sayang tersebut. Ini sudah dikatakan oma-opa sejak zaman baheula, zamannya kuda gigit besi. Dan, setahu saya pula, dari bacaan lama, pernah dikatakan oleh seorang pengembara, lupa namanya, bahwa pada zaman kolonial dulu, ada nyanyian dalam bahasa kereseh-peseh yang khas seleranya serdadu-serdadu Belanda pribumi tentang eloknya Bandung bagi pengantin baru.

Bandoeng is goed
voor pas getrouwde paar

Terjemahannya/Bandung cocok/ untuk pengantin baru.”

Bayangan yang demikian timbul ketika Remy memposisikan diri sebagai turis, sebagai pungunjung, sebagai penikmat. Ia melihat dan merasakan lanskap Bandung sebagai sesuatu yang eksotis, yang menentramkan hati, sekaligus menghibur. Karena itu ketika penikmat itu kehilangan kenimatannya ia akan mengumpat.

“….di Bandung, kelakuan pengendara-pengendara motor itu memang ugal-ugalan: kayak monyet-monyet dikasi baju”

”…Sekarang kami sedang menuju ke Lembang, dan macet.”

Turis selalu membayangkan segala sesuatunya berjalan nyaman, tak ada gangguan:

“Lumayan, pada malam begini Bandung tidak dibikin terosol oleh-pengendara-pengendara motor yang menyelap-nyelip ugal-ugalan.”

Pembayangan tentang keindahan dan eksotisme itu sebenarnya khas Barat. Pada mulanya di jaman kolonial, pembayangan itu timbul karena sebuah pencitraan media; lukisan, fotografi, dan kartu pos. orang-orang Barat melihat Timur dengan lanskap dan penghuni-penghuninya sebagai sesuatu yang eksotik, berbeda, dan unik—yang tak dijumpai di negeri asalnya.

Dengan memaparkan Bandung yang molek seperti itu, Remy dengan demikian, sedang memposisikan sebagai turis yang egoistik pada keindahan semata. Ia tidak mau tahu dengan segala persolan-persoalan yang ada di balik keindahan tersebut. Sebagai turis ia tak akan tinggal lama dalam keindahan itu. Ia harus mengambil jarak untuk kembali bisa menemukan kerinduan pada keindahan yang dibayangkan.

Sebagaimana turis, ia tak bisa menjadi bagian keindahan itu sendiri. Ia hanya jadi penonton. Ia hanya akan memadatkan kenangan pada keindahan-keindahan itu dalam selembar foto dan sehalaman cerita. Ia tak bisa menjadi pemeran keindahan itu sebab dengan demikian ia akan kehilangan dirinya sebagai penikmat….bersambung ke sini

Sumber foto: Facebook/Remy Sylado

KOMENTAR

Media untuk Berbagi Kajian dan Apresiasi.

You don't have permission to register