
Arundhati Roy, Si Pembangkang
Arundhati Roy barangkali hanya butuh satu judul novel untuk membuat dirinya dicatat sebagai salah satu penulis penting dalam sejarah India. Novelnya The God of Small Things (1997) telah meraih kesuksesan yang mungkin tak pernah dibayangkan oleh dirinya sendiri. Penghargaan Booker Prize disabetnya pada 1997 dan karya fiksi pertamanya itu telah diterjemahkan ke lebih dari 50 bahasa di dunia, termasuk ke dalam bahasa Indonesia.
Biografi Singkat Arundhati Roy
Roy lahir dari pasangan Mary dan Rajib Roy dengan nama Suzanna Arundhati Roy di Shillong, Meghalaya, India, pada 24 November 1961. Ibu Roy, Mary, berasal dari komunitas Kristen Suriah di Kerala. Sedangkan ayahnya, Rajib, merupakan seorang manajer perkebunan teh di dekat Shillong dan seorang pecandu alkohol.
Pada saat usia Roy menginjak dua tahun kedua orang tuanya bercerai. Ibunya membawa Roy dan kakak laki-lakinya Lalith, yang lebih tua satu setengah tahun, kembali ke Kerala. Namun, mereka tidak diterima dengan baik oleh keluarga besarnya. Akhirnya mereka menumpang di pondok nenek dari pihak ibu mereka di Ooty (Udhagamandalam), sebuah daerah yang termasuk wilayah negara bagian Tamil Nadu. Ketika beranjak dewasa hubungan Roy dengan ibunya tak akur.
Sebelum sekolah di Corpus Christi (yang kemudian dinamai menjadi Pallikoodam setelah dikelola oleh ibunya), Roy dididik di rumah oleh ibunya. Bagi Roy, saat itu ia seperti kelinci percobaan ibunya sendiri. Setelah berusia 10 tahun, Roy melanjutkan sekolah di Lawrence School, Lovedale, di Nilgiris, Tamil Nadu. Kemudian Roy belajar arsitektur di School of Planning and Architecture, Delhi. Pendidikan terakhirnya ini cukup memberi pengaruh ketika ia mulai menulis novel.
Di kampus tersebut Roy bertemu dengan arsitek Gerard da Cunha. Ketika Roy putus hubungan dengan keluarganya dan tak mampu untuk membayar asrama kampus, bersama Da Cunha ia memilih tinggal di pemukiman kumuh di Delhi dan berpura-pura telah menikah. Selepas lulus kuliah, Roy nekad tinggal bersama Da Cunha di Goa. Petualangannya bersama Da Cunha tak berlangsung lama, mereka akhirnya berpisah.
Roy kembali tinggal di Delhi dan mendapatkan pekerjaan di National Institute of Urban Affairs. Di ibu kota India itulah Roy bertemu dengan Pradip Krishen, seorang sineas independen yang memberinya peran sebagai gembala kambing dalam film Mashiy Sahib (1985), sebuah film dengan latar kolonial India. Film tersebut cukup sukses dengan meraih beberapa penghargaan. Cinta yang bersemi di antara Roy dan Krishen mengantarkan mereka ke altar pernikahan.
Roy pernah mendapatkan beasiswa untuk mempelajari restorasi museum di Italia. Selama di Italia, Roy berkolaborasi dengan Krishen menulis sebuah serial Bargad untuk televisi. Namun serial 24 babak itu tidak jadi tayang meski telah melakukan syuting untuk beberapa episode. Setelahnya, mereka memproduksi dua film lagi, Annie dan Electric Moon. Nasib kedua film itu sama tidak mujurnya dengan serial yang mereka garap sebelumnya, begitu pula dengan pernikahannya.
Selain menulis naskah film, Roy juga kadang-kadang membuka kelas aerobik untuk mengisi waktu luangnya. Meski memiliki ilmu sebagai arsitek namun Roy tidak cocok dengan pekerjaan itu. Ia lebih sering bermasalah dengan bosnya. Roy berpikir ia tidak cocok bekerja di bawah orang lain. Namun begitu, ilmu arsitektur bemanfaat bagi Roy dalam menulis seperti ketika menentukan cetak biru untuk karya fiksinya.
Roy dan novelnya
Roy memulai menulis novel The God of Small Things dari tahun 1992. Pada tahun 1994 Roy menarik perhatian publik ketika mengkritik habis-habisan film Bandit Queen dalam esai berjudul “The Great Indian Rape Trick”. Film garapan Shekhar Kapur itu diproduksi tanpa ijin dari Pholan Devi, sumber karakter utama film yang dieksploitasi secara vulgar, terutama ketika mengangkat kasus perkosaan yang terjadi kepada Devi.
Empat tahun kemudian novel pertamanya selesai ditulis. Sembilan penerbit Inggris lantas memperebutkan hak penerbitan novel tersebut. Penerbit HarperCollins memenangkan perebutan naskah Roy dengan nilai yang cukup tinggi yaitu 150 juta poundsterling dan dijual ke 17 negara. Karya tentang Yang Maha Kecil itu lantas menghasilkan kekayaan yang maha besar bagi Roy. Di India, 5000 eksemplar cetakan pertama novel itu laku hanya dalam enam hari.
Novel berlatar sosial-budaya Kerala ini mengungkap hal-hal kecil yang memengaruhi perilaku dan kehidupan manusia. Melani Budianta mengatakan, novel ini disampaikan dengan alur yang berputar spiral. Lebih lanjut, daya tarik novel ini bukan pada ketegangan tentang apa yang terjadi, tetapi pada kelengkapan mosaik yang makin lama makin memperkaya gambaran yang sejak awal sudah disuguhkan.
Roy tidak terbuai dengan keberhasilan The God of Small Things. Roy tidak tertarik menjadi seperti para penulis lain yang hanya mengejar kesuksesan dengan menulis judul lain secara cepat. Roy tidak ingin terbelenggu popularitas yang dapat membekukan kreativitas dan kebebasannya.
20 tahun kemudian Roy baru memublikasikan novel keduanya, The Ministry of Utmost Happiness (2017). Novel ini digarap Roy selama kurang lebih tujuh tahun. Untuk novel keduanya, Roy memilih menunggu karakter-karakternya datang sendiri dan menjalin kepercayaan dan persahabatan dengannya. Salah satu yang memaksanya untuk menerbitkan novel ini adalah kemenangan politisi sayap kanan Narendra Modi pada pemilihan perdana menteri India pada bulan Mei 2014.
Novel keduanya ini menceritakan tentang orang-orang menentukan episode paling gelap dan kejam dalam sejarah India modern, mulai dari reformasi tanah hingga pemberontakan Kashmir. Karya fiksinya ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman pribadi Roy. Seperti tokoh yang pernah belajar arsitektur dan mengampanyekan kemerdekaan Kashmir.
Esais dan aktivis
Selain dikenal publik sebagai novelis, Roy juga merupakan seorang aktivis sosial dan lingkungan. Roy lebih banyak menerbitkan buku non fiksi daripada karya fiksinya. Yang terakhir diterbitkannya adalah kumpulan sejumlah esainya yang sampai 1000 halaman dalam buku My Seditious Heart: Collected Non-Fiction (2019).
Suaranya yang lantang, terutama melalui esai-esai non fiksinya, selalu memekakkan telinga setiap Perdana Menteri yang memimpin India. Pada tahun 2002. Roy pernah dihukum penjara sehari plus denda 2500 rupee karena aksi protesnya terhadap pembangunan Dam Narmada.
Namun hukuman yang pernah Roy terima dari pihak berwenang India tak lantas membuatnya bungkam. Pada tahun 2010 Roy kembali menghadapi ancaman penangkapan karena mengampanyekan kemerdekaan Kashmir. Maka tak heran, jika Roy dicap sebagai pembangkang.
Roy bukan hanya menuliskan argumennya mengenai persoalan dalam negeri India, tapi juga persoalan global. Salah satu esai Roy yang paling populer adalah “The Algebra of Infinite Justice”. Esai itu merupakan pandangannya mengenai invasi Amerika Serikat di Afganistan. Bagi Roy, pemboman Afghanistan bukan balas dendam untuk New York dan Washington. Melainkan tindakan teror terhadap orang-orang di dunia.
Selain berjuang melalui esai yang ditulis dengan laptop di ruang kerja atau di dapurnya, Roy juga sering turun ke jalan untuk melakukan aksi langsung. Beberapa kali Roy tertangkap kamera sedang berorasi atau berada dalam barisan demonstran.
Bagi Arundhati Roy fiksi adalah alam semesta, sedangkan nonfiksi adalah argumen.[]