
Apabila Esok Kiamat, akan ke Manakah Kau Sore Nanti?
A. Perpustakaan
Kau mendatangi perpustakaan: tempat yang sepi, baik esok kiamat ataupun tidak. Perempuan tua yang menjaga tetap di sana, baik esok kiamat atau tidak. Dengan ramah, ia bertanya kepadamu: Mau baca buku apa, Nona? Dan kau pun menjawab bahwa ingin membaca semua drama tragedi yang ada. Maka kau pun membaca, dan menanti hari genap berganti. Penjaga perpustakaan yang tua itu pun juga membaca, membaca buku hariannya yang ditulisnya sejak remaja.
B. Gereja
Amatlah banyak manusia yang memenuhi gereja, tua dan muda; dan saling berjejal berebut memanjatkan doa-doa. Kau hendak masuk ke sana, juga hendak memanjatkan semacam doa; tetapi begitu sulitnya. Dan, di dekat sana, kau pun memilih mendekati perempuan tua yang tengah menjaga warung.
Rokok ngecer, Bu, ucapmu lembut, sama kopi satu.
Perempuan itu mengambil kopi saset dan membuatnya: memasukan ke gelas kaca, menambah sesendok gula, dan menuangkan air panas dari teremos tua—
Rokoknya ambil di sana saja, Mbak, ucapnya sambil mengaduk kopi pesananmu.
Rokok sudah menyala, asap sudah terbawa angin menuju semacam sana, dan segelas kopi pun sudah tiba.
Tidak masuk dan berdoa, Bu?
Sudah sering, Mbak, jawabnya. Kemarin, dan kemarinnya, juga kemarinnya lagi. Daripada sepi itu gereja, ya saya doa saja di sana—waktu tidak ada orang berdoa.
Kau menyeruput kopimu.
Mbaknya?
Saya mau doa juga, seperti yang lainnya; tapi karena ramai, jadi tidak usah saja. Gereja lain pasti ramai juga…
Oiya, Mbak, kalau Mbak mau bayar saya terima, tapi kalau tidak juga tidak apa-apa.
Karena besok kiamat?
Perempuan tua itu pun mengiyakan—
Saya bayar, Bu, kemarin lusa, cerpen saya dimuat koran nasional; dan honornya lumayan. Utang-utang saya juga sudah saya bayar.
Kalau begitu saya terima, Mbak. Tapi santai saja. Tidak tergesa, kan?
Kau pun mengiyakannya; dan kalian bercerita tentang banyak hal sembari menanti hari jadi malam—
C. Pantai
Sebuah pantai yang sepi di selatan kota, dan di sana kau mendapati perempuan yang tengah merokok sambil melihat pantai. Di sampingnya kau duduk, dan berupaya menyalakan rokok juga—tapi tak bisa.
Kemarilah, Nona, ucapnya. Berbagi bara saja dengan saya . . . Angin di pantai ini kencang soalnya.
Dan kau mendekat, kau dekatkan rokokmu ke rokoknya, ke bara api rokoknya. Dan kau ucapkan terima kasih berulang.
Indah, ya, Nona?
Kau pun mengiyakan.
Apa pelacur sepertiku bisa masuk surga?
Kau ingat sajak Rendra, teringat pula kisah tunasusila yang memberi minum seekor anjing dan masuk surga. Namun, kau putuskan untuk diam saja dan memasang telinga.
Apa Nona ingin masuk ke surga?
Saya lebih ingin masuk ke Rumah, Kak.
Ah, mungkin, aku lebih betah di situ dibanding di surga, ucap perempuan itu. Kalau Nona berkenan, apa saya bisa masuk ke sana juga?
Tentu. Kita bisa berbagi rokok, saya kira . . .
D. Perkuburan
Perkuburan yang sepi, dan di sana ada seorang lelaki tua dan seorang pemuda yang sedang menggali lubang perkuburan. Kau pun bertanya kepada mereka: untuk apa. Dan lelaki tua itu pun berkata:
Kami hanya ingin menggali lubang—sebab itu yang kami bisa. Kami tak dapat menutup dan menambal lubang di dada manusia, Nona.
Kau pun tersenyum. Kau meminta mereka untuk istirahat: sebab kau membawa ubi dan kopi, serta rokok kretek yang dibeli dari honor cerpenmu yang termuat kemarin lusa pada sebuah koran nasional.
Aku baca cerpenmu, Nona, dan aku mesti berkata bahwa karya itu mempesona, ucap lelaki tua yang dulunya profesor di fakultas sastra sebuah kampus ternama.
Jika masih ada waktu, aku ingin mementaskannya jadi drama, sahut si pemuda yang adalah lulusan terbaik kampusnya dan mahasiwa teladan salah seorang profesor di fakultas sastra.
Jika di Sana ada panggung atau semacamnya, ucapmu sambil mengembuskan asap rokok, kurasa akan menarik.
Tapi apa di Sana akan berguna kritik seni? sahut di pemuda, bergurau
Dan kalian semua pun tertawa.
(2022—2023)