
Anugerah Kawistara 2014, Upaya Membuat Bangsa Bermartabat
Acara Anugerah Kawistara 2014 Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat (BBPJB) yang digelar di Hotel Horison, Bandung (27/10/2014) diisi oleh forum diskusi mengenai kebahasaan dan kesastraan, terutama mengenai peran sastrawan, media, dan komunitas dalam perkembangan bahasa dan sastra di Jawa Barat.
Acara diskusi yang dimoderatori oleh Ahda Imran (Penyair) ini memandu dua pembicara, yakni Godi Suwarna (Sastrawan Sunda) dan Ahmad Syubbanuddin Alwy (Penyair dan Budayawan Cirebon). Dalam pembukaannya, Ahda menerangkan bahwa peran sastrawan, media, dan komunitas memang penting dalam perkembangan sastra Indonesia dan Daerah. Anugerah yang diberikan BBPJB kepada peraihnya dinilai tepat. Ia pun mengatakan, “Namun, Anugerah Kawistara menjadi tidak penting ketika hanya dilaksanakan tahun ini saja.”
Godi Suwarna dalam penyampaian materinya menilai perkembangan sastra daerah dari segi proses kreatif. Ia menjelaskan perbedaan menulis sastra dengan Basa Sunda dan Bahasa Indonesia. Ia mengatakan, “Bahasa Indonesia adalah bahasa dagang, bahasa transaksi, sedikit sekali nilai rasa di dalam bahasa Indonesia. Béda jeung Basa Sunda, kata ‘melihat’ téh bisa ‘ninggal’, ‘neuteup’, ‘mencrong’, lebih banyak nilai rasanya.” Ia pun menghimbau para sastrawan Jawa Barat untuk menulis juga di dalam basa Sunda, itu yang menyelamatkan Basa dan sastra Sunda ke depan.
Sementara Ahmad Syubbanuddin Alwy yang diminta moderator untuk menjelaskan tentang sastra Indonesia justru banyak berbicara tentang perkembangan sastra Cirebon. Menurutnya, upaya pengembangan sastra Cirebon tidak semulus sastra Sunda. Sastra Cirebon mengalami kesulitan di wilayah pengarang dan media sebagai salah satu ruang eksplorasi sastra. Ia mengatakan, “Jika saya dan teman-teman di komunitas tidak bergerak, mungkin sastra Cirebon hanya bisa ditemukan di lirik lagu musik tarling, itu pun bukan puisi.”
Alwy pun membicarakan bahasa Cirebon yang ia gunakan dalam penulisan karya sastra yakni menggunakan bahasa Cirebon langsung atau sehari-hari. Hal ini memungkinkan sastra Cirebon berkembang dengan baik. Kata sehari-hari semisal umpatan ‘kirik’ yang berarti ‘anjing’ ia gunakan dalam penulisan sastra.
Seorang penanya, yakni guru bahasa Indonesia SMAN 24 Bandung menanggapi, “Karya sastra seperti itu barangkali bisa mengembangkan sastra itu sendiri, namun tidak mungkin bisa masuk ke dalam pembelajaran. Karena tidak mungkin juga saya misalnya memberikan nilai bagus kepada siswa yang di dalam karangannya menulis ‘anjing’ dan ‘kehed’.” Ibu itu pun mengatakan, “Sastrawan pun perlu turun ke sekolah-sekolah untuk pembinaan sastra.”
Alwy menanggapi pernyataan tersebut hingga diskusi beralih dari membicarakan perkembangan sastra di Jawa Barat menjadi pembinaan sastra. Alwy mengatakan, “Sastrawan dengan tanpa gaji tetap seperti guru, telah berupaya mehidupkan sastra. Yang menjadi persoalan justru keseriusan guru di dalam mengajarkan sastra. Saya kira ketika sastrawan difasilitasi, mereka akan sangat bersedia.”
Pada sesi pertanyaan selanjutnya, Acong dari komunitas Cermin Tasikmalaya, berbicara tentang geliat sastra di daerah yang telah sangat militan mengembangkan sastra, namun tidak memperoleh dukungan dari pemerintah. Ia mengatakan, “Kebebasan reformasi, menciptakan kultur berkesenian secara bebas dan di mana saja. Dari sana, di daerah, kesenian dan sastra masih hidup. Fenomena ini alangkah baiknya dilihat juga oleh pihak bakai bahasa.” Ia pun menambahkan, “Barangkali ke depannya Balai Bahasa bisa menyelenggarakan kegiatan semacam ini di daerah, sebagai bentuk apresiasi terhadap perkembangan sastra di daerah.”
Ahda Imran pun menambahkan, “Terlihat pada kompetisi sastra, para juara justru berasal dari daerah seperti Cianjur, Garut, Tasikmalaya. Ini membuktikan, ada pembinaan sastra yang baik di daerah daripada di pusat (Bandung).”
Menanggapi persoalan kerja sama BBPJB dengan komunitas, dalam wawancara usai acara, Kepala BBPJB Drs. Muhammad Abdul Haq, M.Hum. mengatakan, “Banyak sebenarnya yang ingin kami lakukan untuk pengembangan bahasa dan sastra di Jawa Barat. Namun persoalan selalu klasik seperti dana dan lain hal, dan ranah kerja kami pun bukan berada di wilayah itu saja.”
Ketika ditanya apakah kegiatan ini akan dilaksanakan kembali tahun depan, Pak Haq menjawab, “Niat baik ini kami mulai, semoga saja bisa terus dilanjutkan dan lebih baik. Misalnya nominasi penghargaannya bisa berkembang.”
Anugerah Kawistara 2014 memberikan penghargaan pada Nunu Nazarudin Azhar dari nominasi tokoh (sastrawan), Majelis Sastra Bandung (komunitas), dan Tribun Jabar (Media). Mereka dinilai oleh juri telah berkarya, membina, dan memberikan ruang bagi perkembangan sastra di Jawa Barat.
Cecep Burdansyah dalam penganugerahan mengatakan, “Betapa sulit mempertahankan rubrik sastra di media massa karena memang tidak menguntungkan secara finansial. Tapi kami akan tetap mempertahankan, karena cerpen, carpon, dan opini di dalam sebuah media adalah martabat sebuah media massa.”
Barangkali, dari sejumlah catatan di atas dapat ditarik sebuah pernyataan, bahwa melakukan pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah adalah upaya membuat bangsa bermartabat.[]
Sumber foto: Zulfa Nasrulloh