Aki Dadan, Ahli Waris Mamaos Cianjuran
Sada gugur di Kapitu
Sada gelap ngadasaran
Sada laut lilintungan
Ka mana ngaitkeun kincir
Ka kalèr ka tojo bulan
Ka mana ngaitkeun pikir
Sugan palèr ku sabulan
Suara Aki Dadan menggetarkan pikiran. Petikan kecapinya menggetarkan hati. Tak ada lagi permasalahan yang terasa berseliweran saat itu, ketenangan dirasakan saat Mamaos Cianjuran terus ia tembangkan. Gurat waktu di wajahnya semakin jelas terlihat, mengikuti gerak mulut yang menembangkan rumpaka (lirik). Meski tangannya keriput, petikannya pada 18 kawat kecapi berhasil membredeli pikiran kalut. Aki Dadan memang sudah sangat tua, 71 tahun. Tapi, kecintaannya pada Mamaos Cianjuran tetap menyala melebihi api unggun.
Ruangan senyap ketika Aki Dadan berhenti nembang. Pertanyaan yang sudah saya siapkan seperti tak lebih penting daripada kembali mendengar Aki Dadan menembang, menghayati setiap nada sunda, da mi na ti la da. Benar saja, Aki Dadan yang justru memulai percakapan, bukan sang wartawan. “Itulah tembang Mamaos pertama yang diciptakan oleh Dalem Pancaniti, sebelum tembang ‘Papatat’, judulnya ‘Layar Putri’,” ia menjelaskan sambil membetulkan nada sumbang di kecapi setelah dimainkan tadi. Rumpaka itu menggambarkan kegelisahan dan kerisauan hati Dalem Pancaniti ketika beliau mendapat ilham untuk melestarikan budaya karuhun sunda. “Sada gugur di Kapitu”, menggambarkan bahwa ada suara yang terdengar dari langit yang sangat jauh, atau “sada laut lilintungan”, menggambarkan hati Dalem Pancaniti seperti laut bergetar hendak Tsunami.
Dalem Pancaniti menceritakan kegelisahannya kepada Eyang Wastiraja, pamannya. Eyang Wastiraja memberi petunjuk, bahwa kegelisahan Dalem Pancaniti itu ialah ilham untuk melestarikan dan mengembangkan budaya karuhun, yaitu yang kini disebut Mamaos Cianjuran. “Eyang Wastiraja menjelaskan pantun dari Majapahit diiringi kecapi yang berjumlah enam senar. Bentuk kecapinya pun masih butut, hanya seperti halu (lesung),” jelas Aki Dadan. Sejak saat itulah Dalem Pancaniti memulai tekadnya untuk melestarikan dan mengembangkan Mamaos Cianjuran. Hingga akhirnya Endu Sulaeman Apandi, atau akrab disapa Mang Endu, ayah dari Aki Dadan sering bergiat dalam Mamaos Cianjuran.
Meskipun Aki Dadan kecil tumbuh dalam keluarga Seniman Mamaos, tetapi sejak usia delapan tahun Aki Dadan malah jatuh cinta pada gitar, alat musik yang sedang memikat generasi muda saat itu. Kandang Sapi, Cimuti, Leles, merupakan daerah yang sering disinggahi oleh Aki Dadan and the band untuk pentas. Kehalusan suara tembang Mamaos yang sering bersangkar di gendang telinga Aki Dadan hampir setiap hari, belum juga mampu menarik minatnya untuk menggeluti dunia Mamaos hingga ia berusia dua belas tahun.
Ternyata, cinta pada wanita memang dapat menjadi kekuatan yang merubah hati, bahkan arah hidup seorang lelaki. Hal itu terjadi pada Aki Dadan. Ketika Aki Dadan mengantar ayahnya, Mang Endu ke Bandung untuk melatih kecapi, di Bandung banyak gadis seumurannya. Saat itulah, Aki Dadan mulai tertarik untuk mempelajari Mamaos Cianjuran. “Saat itu rumah Si Aki di dekat Pendopo Kabupaten. Saat mulai tertarik dengan Mamaos, Si Aki nèrèkèl naik ke Pohon Jambu. Di atas pohon itu Si Aki niup suling sunda. Wah, nikmat pisan pokoknya,” cerita Aki Dadan sambil tertawa mengenang masanya saat mulai tertarik pada wanita.
Sejak saat itu, Aki Dadan yang lahir pada tanggal 24 Mei 1940 semakin serius menekuni Mamaos Cianjuran, karena ia telah merasakan betapa nikmatnya menekuni kesenian yang memiliki kekuatan sebagai tuntunan. Aki Dadan belajar memetik kecapi dari Ayahnya, Mang Endu, serta belajar nembang dari Ibu Anah Ruhanah. Meskipun sudah akrab dengan nada-nada sunda, tapi butuh waktu tiga tahun bagi Aki Dadan untuk benar-benar pandai dalam Mamaos Cianjuran. Sejak umur 16 tahun, Aki Dadan mulai menjelajah ke berbagai daerah di Jawa Barat untuk melatih dan mementaskan Mamaos Cianjuran.
“Insyaallah, selama Si Aki masih bisa bernafas, akan tetap melestarikan Mamaos Cianjuran,” tekad Aki Dadan setelah menceritakan pengalaman panjangnya dalam melestarikan kesenian yang kini menjadi salah satu daya tarik utama kesenian Sunda. Hampir genap 60 tahun Aki Dadan menggeluti Mamaos Cianjuran. Berbagai prestasi tak perlu ditanya lagi. Aki Dadan pernah keliling Eropa, mendapatkan penghargaan dari pejabat, dan banyak prestasi lainnya. Tapi yang paling ia yakini dalam mempertahankan seni tradisi ini bukan dengan banyak prestasi yang didapatkan, tapi kewajiban dalam regenerasi. “Si Aki sudah punya kemampuan. Barang siapa yang mempunyai kemampuan, maka wajib baginya untuk menyampaikan.”
Mamaos Cianjuran tidak sebatas kesenian, ia merupakan bagian integral dari sistem hidup manusia. Dilihat dari tiga pilar budaya Cianjur, Maos merupakan jalan manusia untuk mengkaji ayat-ayat Al-Quran (tersurat), Mamaos merupakan jalan untuk mengkaji ayat-ayat semesta (tersirat), dan Maenpo merupakan cara bagi manusia untuk menjaga dirinya agar dapat melakukan nilai-nilai dasar tersebut.
“Kekuatan Mamaos itu banyak. Si Aki pernah tiba-tiba didatangi seorang Nona dari Belanda, seorang pemain flute. Tetapi, Si Nona itu datang ke Cianjur malah untuk mempelajari dan meneliti suling Sunda. Sebelum jauh dia meneliti, Si Aki tanya, dari mana dia tahu bahwa suling itu berasal dari sunda, dan mengapa datang ke Cianjur? Ternyata Si None itu menjawab bahwa ia mendengar suara suling itu di salah satu museum di Belanda, dan yang didengarnya itu mampu menusuk hati, melebih flute yang sering membawanya keliling dunia.
“Si Aki jadi ingat, pada usia 16 tahun dulu, pernah direkam oleh Belanda untuk main suling. Tengah malam waktu itu tèh, menyatu sama suara bangkong, gaang, dan gemericik air. Kabayang, dinginnya kaya gimana tah, Saat Aki mainkan lagu yang saat itu direkam orang Belanda, Si None itu kegirangan dan menyatakan bahwa itulah lagu yang didengarkannya di museum dan membuat hatinya sèsèrèdètan,” cerita Aki Dadan penuh semangat. Ia ingin banyak yang tahu, bahwa Mamaos Cianjuran itu memiliki nilai di luar ukuran dangkal mengenai kesenian.
Sayangnya, berbagai nilai luhur dalam Mamaos Cianjuran ini malah jarang diminati generasi sekarang. Aki Dadan menyampaikan kegelisahannya, bahwa banyak yang tidak mengerti bahasa rasa, yang banyak dikonsumsi hanya hiburan semata. Padahal bahasa rasa pada Mamaos Cianjuran itu kuat sekali dalam mengolah hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.
Dengan kondisi minat terhadap Mamaos Cianjuran yang cukup mencemaskan, Aki Dadan tetap bertahan untuk mewariskan. Ia berharap lewat lembaga Padepokan Pancaniti, Lembaga Kebudayaan Cianjur, Paguyuban Pasundan, dan Pemerintah Cianjur melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisatanya dapat bersama-sama bekerja untuk mengembangkan mamaos Cianjuran dan kebudayaan lainnya.
Tubuh Aki Dadan semakin tua, tapi hatinya kian bercahaya dalam muramnya konsep kebudayaan manusia modern. Kini ia hidup di ruangan sederhana di gedung Lembaga Kebudayaan Cianjur. Untuk makan, ia sering berhutang hingga mendapatkan upah dari menembang. Jika kita bayangkan, hidupnya diduga menyedihkan. Tapi tidak. Aki Dadan memegang prinsip bahwa konsep kesejahteraan ada tiga, harta (harta), harti (ilmu yang tinggi), dan hatè (kebijksanaan hati).
Memang, pada akhirnya ketika kesenian tradisi diselami, ia tak hanya memberikan hiburan murahan, tapi nilai-nilai kehidupan. Seni tradisi melatih kelembutan nurani, kejernihan pikiran insani. Tentu, Aki Dadan telah mendapatkan saripati konsep nilai dari seni tradisi. Tembangnya akan terus menggaung di gedung-gedung, menjalar ke lorong-lorong pasar, berpantulan di gedung perkantoran atau macetnya jalanan dan berbagai kerancuan pembangunan atasnama kemajuan. Tembangnya akan menjadi penawar, saat rasa hidup kian hambar, tujuan hidup kian samar.[]
Sorry, the comment form is closed at this time.
peryoga sampurna
murid smansa yang pandai puisi tempo dulu..alus brad cianjur masih harus pertahankan ngaos mamaos maen po